Keramba Menjamur di Danau Toba, tapi Kepala Daerah Diam, Luhut:Jangan karena Dikasih Duit, Kita Diam

“Jangan karena dikasih duit, maaf ya, sama perusahaan itu kita diam. Tak waktunya lagi itu, kita harus bangga jadi orang Indonesia,” ucapnya.

Editor: Tariden Turnip
Tribun Medan/Tommy Simatupang
Keramba Menjamur di Danau Toba, tapi Kepala Daerah Diam, Luhut:Jangan karena Dikasih Duit, Kita Diam. Pengunjung sedang memandang Danau Toba yang diselimuti keramba jaring apung di Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun, Rabu (20/3/2019). 

“Jangan karena dikasih duit, maaf ya, sama perusahaan itu kita diam.

Tak waktunya lagi itu, kita harus bangga jadi orang Indonesia,” ucapnya.

Kepada Gubernur Edy, Luhut mengatakan bahwa Sumut punya potensi pariwisata yang sangat baik.

Jika pariwisata baik maka ekonomi masyarakatnya juga akan meningkat.

“Konsentrasi buat Sumut lebih bagus lagi. Pak Gubernur, ini golden opportunity untuk Anda, saya dukung sepenuhnya apa yang Anda kerjakan,” ujar Luhut.

Tak hanya kepada Edy, Luhut juga minta kepala daerah lainnya untuk membenahi kawasan wisata di daerah mereka.

Sebelumnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara mengakui butuh waktu lama untuk dapat mengembalikan kualitas air Danau Toba, setelah tercemari oleh Keramba Jaring Apung (KJA). 

Kepala DLH Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang mengatakan, butuh waktu sampai 70 tahun untuk bisa mengembalikan kualitas air Danau Toba karena sudah tercemari.

"Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin karena perlu waktu.

Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan," kata Binsar Situmorang kepada Tribun Medan, Kamis (4/4/2019).

Binsar juga mengatakan, saat ini ada beberapa titik di Danau Toba sudah sangat tercemari akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.

"Haranggaol, Pakat, Tiga Ras dan Salbe. Di sana pencemaran dari mulai dari sedang dan sampai terparah memang ada di sana lah," ujarnya.

Menurut penelitian atau pengawasan yang dilakukan oleh timnya menemukan, masyarakat terbanyak memiliki KJA ini.

Karena masyarakat dengan keterbatasan pengetahuannya mengenai pencemaran lingkungan, kata dia, itu yang membuat tidak terkendali.

"Dan KJA milik masyarakat yang terbanyak bukan milik perusahaan. Jadi masyarakat dengan keterbatasan informasi atau pengetahuan tentang KJA itu, inilah membuat kita memang tidak terkendali," ujarnya.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved