Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad

Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad

Editor: Salomo Tarigan
YouTube/Inews
Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad 

Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad

TRIBUN-MEDAN.com - Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad.

//

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2013 Mohammad Mahfud MD mempermasalahkan Revisi Undang-undang KPK yang dibahas oleh DPR RI.

Baca: Inilah Alasan Tersangka Supriyanto Pura-pura Kesurupan Usai Beber Cara Bakar Jasad Pupung dan Dana

Mohammad Mahfud MD permasalahkan Revisi UU KPK karena terkesan diburu-buru.

Pakar hukum tata negara itu menjelaskan jika secara hukum memang DPR RI memiliki wewenang untuk memutuskan revisi UU KPK.

Tetapi menurutnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap memiliki kehendak untuk membatalkan jadwal dari pembahasan RUU tersebut.

“Tapi sesuai Pasal 20 UUD 1945 Presiden bisa menolak substansi maupun schedulenya,” jelas Mahfud di akun twitternya @mohmahfudmd pada Jumat (6/9/2019).

Mahfud menyarankan Presiden Jokowi untuk membantukm Tim Kajian dan Daftar Invertarisasi Masalah (DIM) Pendahuluan sebelum membuat Surat Presiden (Supres) pembahasan ke DPR RI.

“Dalam prosedur normal menurut UU No.12 Tahun 2011 setiap RUU yang akan dibahas dimasukkan dulu dalam Prolegnas,” kata Mahfud.

Padahal kata Mahfud dalam waktu dekat ini, pemerintah dan DPR RI yang baru akan menetapkan Prolegnas.

Ia pun heran mengapa tiba-tiba saja Revisi UU KPK justru dibahas terkesan terburu-buru oleh anggota DPR RI periode saat ini.  

“Mengapa pembahasan Revisi UU KPK tak menunggu DPR baru yang hanya 3 minggu lagi akan dilantik?” tandasnya.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya DPR RI mengesahkan RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) melalui rapat paripurna, Kamis (5/9/2019).

Sebelum dibahas, RUU KPK akan dikirim ke presiden untuk ditanggapi. 

"Tadi baru disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR. DPR mengirim RUU tersebut kepada presiden untuk direspons dalam bentuk dikeluarkannya surat presiden beserta DIM-nya (daftar inventarisasi masalah)," kata anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno saat dihubungi, Kamis (5/9/2019).

Hendrawan belum bisa memastikan apakah saat ini RUU KPK sudah dikirim ke presiden atau belum.

Ia hanya menyebut, tidak perlu waktu lama untuk mengirimkan RUU itu setelah rapat paripurna.

"Biasanya langsung ditindaklanjuti dengan cepat," kata dia. 

Baca: Sidang Putusan Gugatan Karyawan PT Inalum Ditunda, Kuasa Hukum Ungkap PHK Mengada-ada

Setelah presiden mengeluarkan surat presiden dan DIM, RUU ini akan masuk ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR, untuk dilanjutkan lagi ke komisi terkait, Badan Legislasi (Baleg), atau panitia khusus (pansus).

"Baru kemudian dilakukan pembahasan tingkat satu di panja atau pansus," ujar Hendrawan.

Hendrawan menyebut, jika dilakukan dengan cepat, revisi Undang-Undang KPK ini akan menghasilkan progres yang signifikan minggu depan dan selesai akhir September.

"Bila dilakukan secara cepat, bisa diselesaikan pada masa sidang I 2019/2020 ini yang akan berakhir 30 September 2019," kata dia.

Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.

Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.

Baca: Luhut Panjaitan Resmikan Grab Toba untuk Menjawab Kebutuhan Pariwisata Danau Toba

Abraham Samad Angkat Bicara terkait Revisi UU KPK, Pertanyakan Urgensi Dewan Pengawas, DPR Ngotot

TRIBUN-MEDAN.COM - Abraham Samad Angkat Bicara terkait Revisi UU KPK, Pertanyakan Urgensi Dewan Pengawas, DPR Ngotot

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Abraham Samad mempertanyakan urgensi unsur Dewan Pengawas dalam draf revisi Undang-undang tentang KPK.

Baca: Iuran BPJS Naik, LAPK : Akan Menambah Beban Kehidupan Rakyat

Dalam UU KPK yang berlaku saat ini, sama sekali tidak memuat ketentuan adanya Dewan Pengawas.

Sebaliknya, unsur Dewan Pengawas diatur dalam sejumlah pasal di draf revisi UU KPK.

Yaitu, dalam Pasal 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, 37G dan 69A.

"Apa urgensi membentuk badan pengawas saat KPK sudah memiliki dewan penasihat? Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, siapa yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan?" kata Abraham dalam keterangan tertulis, Jumat (6/9/2019).

Baca: Viral Kisah Heroik Nenek Berusia 82 Tahun Melawan Perampok dengan Menggunakan Tongkatnya

Abraham menegaskan, KPK sudah memiliki sistem pengawasan internal melalui Direktorat Pengawasan Internal (PI).

Direktorat ini memiliki sistem prosedur untuk mendeteksi dan menindak dugaan pelanggaran di internal KPK.

"Pengawas Internal (PI) menerapkan standar SOP zero tolerance kepada semua terperiksa, tidak terkecuali Pimpinan. Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," kata dia.

Baca: Menpora Malaysia Terkurung di SUGBK Saat Suporter Mengamuk, Curhat Insiden Rusuh di Medsos

Ia juga menilai keberadaan Dewan Pengawas ini bisa melumpuhkan sistem kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan.

Khususnya menyangkut upaya penyadapan yang harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

"Tampaknya perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK.

Sebelum dilakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja, kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima Pimpinan.

Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu," ungkap dia.

Baca: Suami Kalap Bunuh Istri Akibat Sering Minta Pulang ke Rumah Ortu, Jenazah Terkapar di Kasur

Baca: KRONOLOGI Gadis Baduy Dibunuh, Mayatnya Diperkosa Tiga Pria, Pelaku Utama Diciduk di OKU Selatan

Sehingga, ia menilai Dewan Pengawas tidak perlu ada di dalam KPK karena semakin memperpanjang alur kerja.

"Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," papar Abraham.

Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis siang.

Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.

PAKAR HUKUM Ungkap Kabar Buruk jika DPR dan Pemerintah Revisi UU KPK, Respons Jokowi dan Anggota DPR

TRIBUN-MEDAN.COM - PAKAR HUKUM Ungkap Kabar Buruk jika DPR dan Pemerintah Revisi UU KPK, Respons Jokowi dan Anggota DPR.

//

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, suatu kabar buruk jika DPR dan pemerintah benar-benar merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca: KABAR TERBARU Nunung Srimulat dan Suami Bakal Disidangkan, Penjelasan Polda Metro Jaya

Sebab, ada sejumlah poin yang bakal diganti dan ditambahkan yang diprediksi bakal melemahkan KPK. 

Jika revisi dilakukan, menurut Bivitri, pemerintah seolah tengah membunuh KPK.

"Kalau itu terjadi, pemerintahan yang sekarang seperti membunuh KPK. Karena KPK jadi enggak ada fungsinya lagi," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/9/2019).

Bivitri mengatakan, sebenarnya, masih ada kesempatan supaya uu ini tak direvisi.

Kondisi demikian terjadi jika presiden tidak menerbitkan surat presiden untuk DPR supaya melakukan pembahasan revisi undang-undang.

Saat ini, revisi UU KPK baru menjadi RUU inisiatif DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna.

Artinya, masih perlu respons presiden untuk membahas revisi RUU tersebut.

"Menurut Pasal 20 UU kita kan sebenarnya kalau Pak Jokowi enggak mengeluarkan surat presiden, UU ini tidak akan dibahas," ujar Bivitri.

Namun demikian, jika presiden menerbitkan surat dan RUU benar-benar dibahas, kata Bivitri, bukan tidak mungkin KPK bakal diintervensi oleh pemerintah dalam penyidikan.

"Jadi ibaratnya nanti dia mau OTT (operasi tangkap tangan) segala macam itu bisa diintervensi nantinya. Pejabat mana yang mau disidik, pejabat mana yang mau dituntut secara hukum, itu nanti bisa diintervensi," ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Baca: KABAR TERBARU Nunung Srimulat dan Suami Bakal Disidangkan, Penjelasan Polda Metro Jaya

Baca: KISAH JENDERAL WANITA Pertama Brigjen Pol.Purn Jeanne Mandagi, Kerja Keras Polwan hingga Suka Dansa

DPR telah menyusun rancangan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Salah satu poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.

Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.

Sekretaris Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa optimis Presiden Joko Widodo akan menyetujui revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Sebab, ia menilai selama ini Jokowi juga kerap berbicara mengenai perbaikan sistem pemberantasan korupsi yang tidak hanya bergantung pada operasi tangkap tangan.

Salah satunya saat Jokowi berpidato dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus lalu.

"Ya saya optimis karena (revisi) ini membangun sistem. Karena kemarin beliau bangun sistem omongannya," kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Wakil Ketua Komisi III DPR ini pun menegaskan bahwa revisi ini tidak berniat melemahkan KPK.

DPR justru ingin agar KPK menjadi lebih baik dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Misalnya penyadapan harus seizin dewan pengawas agar KPK tidak sewenang-wenang.

Lalu wewenang SP3 diberikan agar tak ada tersangka yang terkatung-katung nasibnya.

Oleh karena itu lah, Fraksi Gerindra turut mendukung revisi yang diusulkan badan legislasi DPR ini.

Ia yakin pemerintah termasuk Presiden akan mendukung penguatan KPK ini.

"Pak Jokowi ada mengkritik KPK tentang penahanan, OTT itu, itu harus dievaluasi lagi," kata Desmond.

Presiden Jokowi Belum Tahu

Sementara itu, Presiden Jokowi menegaskan revisi itu adalah usul DPR dan ia belum tahu poin apa saja yang diusulkan untuk direvisi.

"Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya," kata Jokowi saat ditanya wartawan disela kunjungan kerja di Pontianak, Kamis (5/9/2019).

Presiden Jokowi mengatakan, KPK selama ini bekerja dengan baik.

Namun ia belum bisa berkomentar apakah revisi UU ini diperlukan atau tidak.

"Saya belum tahu, jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa," kata Jokowi.

Revisi UU KPK yang diajukan Badan Legislasi DPR sudah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna Kamis (5/9/2019) siang kemarin.

Setelah itu, RUU ini akan dibahas bersama pemerintah.

Anggota Baleg Hendrawan Supratikno mengatakan, Baleg akan mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.

Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK.

Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.

Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik

Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berharap Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait revisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tiba-tiba saja disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna hari ini, Kamis (5/9/2019).

Diketahui, berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setelah diputuskan adanya RUU Usul Inisiatif ini, DPR akan meminta Presiden untuk mulai membahas.

Kemudian, Presiden selanjutnya akan mengeluarkan Surpres untuk mulai membahas RUU KPK dan menunjuk kementerian/lembaga yang ditugaskan membahas RUU bersama dengan DPR.

"Presiden harusnya tidak mengeluarkan Surpres karena RUU KPK menyalahi prosedur karena tidak pernah dibahas sebelumnya dengan pemerintah dan juga tidak pernah dibahas terbuka," ujar Bivitri kepada Kompas.com, Kamis (5/9/2019).

Kemudian, lanjutnya, jika dilibat dari substansinya, RUU KPK ini akan sangat melemahkan komisi antirasuah tersebut secara kelembagaan.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jantera Indonesia ini menyebutkan, jika Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Surpres, maka pembahasan RUU KPK tidak akan bisa dimulai.

"Merujuk Pasal 20 UUD 1945, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Bila Presiden tidak mengeluarkan Surpres, maka RUU ini tidak bisa dibahas," jelasnya.

Ia mendorong Presiden Jokowi peka terhadap manuver yang dilakukan DPR.

Hal itu mengingat KPK kini makin efektif melakukan penindakan, termasuk ke politisi.

"Semua RUU harus terbuka dan mengundang publik untuk berpartisipasi. Ini KPK saja tidak tahu. Jangan sampai Presiden Jokowi tercatat dalam sejarah sebagai Presiden yang melemahkan KPK," pungkas Bivitri.

Tanggapan Istana Terkait 10 Capim KPK

Presiden Joko Widodo tidak mengutak-utik 10 nama calon pimpinan KPK hasil seleksi Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK.

Semuanya langsung diserahkan ke DPR RI untuk dilanjutkan dengan fit and proper test.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Adita Irawati mengatakan, Presiden tidak merubah nama-nama capim KPK karena percaya sepenuhnya kepada Pansel.

"Presiden sudah melihat Pansel dipilih untuk bisa bekerja independen mencari orang terbaik. Di situ lah prosesnya sudah berjalan. Nama-nama ini sudah hasil dari proses itu," kata Adita di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Meski demikian, Presiden bukannya tidak campur tangan sama sekali dalam seleksi capim KPK.

Adita memastikan, Presiden mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum memutuskan mengirimkan 10 nama itu ke DPR RI.

"Pastinya Presiden sudah mendengar masukan berbagai pihak. Pasti ada yang kontra ada yang pro. Jadi pada dasarnya ini juga sudah mendengar banyak pihak dan Presiden sudah melihat di antara 20 calon, inilah yang terbaik," kata dia.

Ketika ditanya soal pegawai KPK dan koalisi masyarakat sipil yang menolak Irjen (Pol) Firli Bahuri menjadi pimpinan KPK, Adita mengatakan, Presiden memiliki pertimbangan sendiri mengapa tidak mencoret nama Firli dari daftar.

"Ada pertimbangan dari Presiden, banyak hal pastinya. Makanya, ini Presiden pasti punya pertimbangan tersendiri," kata dia.

Sebelumnya, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK telah menyerahkan 10 nama yang telah lolos seleksi ke Presiden Jokowi.

Namun, sejumlah aktivis antikorupsi mendesak agar Presiden Jokowi mengevaluasi kembali 10 nama itu.

Koalisi Kawal Capim Koalisi Pemberantasan Korupsi berpandangan Presiden perlu mempertimbangkan masukan dari para tokoh dan masyarakat terkait integritas para capim KPK.

Namun, Presiden Jokowi memutuskan tak merubah 10 nama itu dan langsung mengirimkannya ke DPR.

Berikut nama 10 capim yang lolos seleksi sebagaimana diungkapkan Ketua Pansel Yenti Garnasih:

1. Alexander Marwata, Komisioner KPK,

2. Firli Bahuri, Anggota Polri,

3. I Nyoman Wara, Auditor BPK,

4. Johanis Tanak, Jaksa,

5. Lili Pintauli Siregar, Advokat,

6. Luthfi Jayadi Kurnaiwan, Dosen,

7. Nawawi Pomolango, Hakim,

8. Nurul Ghufron, Dosen,

9. Roby Arya Brata, PNS Sekretariat Kabinet,

10. Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan.

Baca: KABAR TERBARU Nunung Srimulat dan Suami Bakal Disidangkan, Penjelasan Polda Metro Jaya

Baca: PONSEL TERBARU - Bocoran Realme Q, Setelah Realme 5 & Realme Pro Diluncurkan, Spesifikasi & Harga

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Alasan Jokowi Tak Utak-utik 10 Capim KPK dari Pansel"  dan Kalau UU KPK . . . dan Samad: siapa yang . . .  wartakota.tribunnews.com

Baca: Inilah Alasan Tersangka Supriyanto Pura-pura Kesurupan Usai Beber Cara Bakar Jasad Pupung dan Dana

Saran Mahfud MD pada Jokowi, DPR Ngotot Revisi UU KPK, Respons Mantan Ketua KPK Abraham Samad

Sumber: Warta kota
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved