Deadline Berakhir, Status DPO Veronica Koman Diumumkan Langsung Kapolda Jatim Senin Depan

Aktivis asal Medan yang menjadi tersangka dugaan provokasi kerusuhan di Papua, Veronica Koman, mangkir lagi dari panggilan penyidik Polda Jawa Timur.

Editor: Juang Naibaho
twitter.com/papua_satu
Veronica Koman 

Deadline Berakhir, Status DPO Veronica Koman Diumumkan Langsung Kapolda Jatim Senin Depan

TRIBUN MEDAN.com - Aktivis asal Medan yang menjadi tersangka dugaan provokasi kerusuhan di Papua, Veronica Koman, mangkir lagi dari panggilan penyidik Polda Jawa Timur, Rabu (18/9/2019).

Padahal, itu merupakan panggilan terakhir bagi Veronica Koman untuk menjalani proses hukum sesuai ketentuan.

Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan, tenggat waktu memenuhi panggilan penyidik sudah berakhir.

"(Veronica) Tidak (hadir). Sudah habis deadline-nya (kemarin pukul 18.00 WIB)," ujar Frans, ketika dikonfirmasi, Kamis (19/9/2019).

Frans pun memastikan kepolisian akan mengumumkan nama Veronica Koman masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO).

Menurutnya, pengumuman DPO itu akan dilakukan oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan pada pekan depan.

"Nanti Kapolda Jatim akan umumkan (DPO terhadap Veronica Koman). Kemungkinan Senin atau Selasa (pekan depan)," katanya.

Baca: Sebelum Disergap TNI, Gerombolan KKB Papua Rampas 7 Motor Warga dan Lukai Pendeta, Kronologinya

Baca: Bergema di Twitter Tagar Jokowi Mundur Versus Tagar Tetap Dipimpin Jokowi

Sebelumnya, Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan sudah memberikan ultimatum kepada Veronica Koman supaya bersikap kooperatif dalam proses hukum ujaran provokatif terkait konflik Papua.

Pada pekan lalu, Luki mengatakan penyidik sudah mengirimkan surat pemanggilan ulang kepada Veronica yang dikirimkan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri melalui KBRI di Australia, dimana Veronica Koman tinggal saat ini bersama suaminya.

Polda Jatim memberikan toleransi satu pekan. Jikalau tetap mangkir, Luki menegaskan akan memasukkan nama Veronica Koman dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

"Kalau DPO setelah itu ada tahapan yang berikutnya, yaitu red notice. Nah, ini bisa berat kalau sudah red notice," katanya di depan Lobby Gedung Tri Brata Mapolda Jatim, Selasa (10/9/2019).

Pasalnya, Red Notice itu dipastikan membuat Veronica Koman di-blacklist di 190 negara yang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Otomatis hal itu akan membuat karier Veronica Koman sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) pupus.

Sementara itu, pemerintah Australia memberi opsi kemungkinan menyerahkan Veronica Koman, yang kini diperkirakan berada di Sydney, jika ada permintaan dari Pemerintah Indonesia.

Prosedur ini bisa terjadi jika Indonesia menerbitkan red notice ke Interpol.

Baca: Kabut Asap Kembali Selimuti Danau Toba, Pesawat Gagal Mendarat di Bandara Sisingamangaraja XII

Baca: Polemik Revisi UU KPK Dibawa ke PBB, Laode Beber Tangisan Para Pegawai KPK

Media The Guardian, Rabu (18/9/2019) melaporkan bahwa pihak berwajib Australia tampaknya menolak untuk mengesampingkan penyerahan Veronica Koman.

Veronica Koman merupakan pengacara HAM asal Indonesia yang kini tinggal di Australia, dan sedang diburu oleh Polri.

Polisi menyebut informasi yang disebar Veronica sebagai hoaks serta menuduhnya menerima aliran dana untuk memprovokasi kasus Papua.

Pasal-pasal pidana yang dituduhkan polisi ke Veronica mengandung ancaman hukuman penjara hingga enam tahun jika dinyatakan bersalah di pengadilan.

Pihak Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) yang dihubungi secara terpisah menyatakan persoalan ini bukan di wilayah mereka.

Juru bicara DFAT mengatakan masalah ini ada di ranah Kepolisian Federal Australia (AFP).

Baca: Beredar Video Tak Senonoh Wanita Berkerudung Pakai Seragam PNS Pemprov Jabar, Polda Turun Tangan

Respons Veronica Koman
Dalam rilis yang disampaikan beberapa waktu lalu, Veronica Koman mengatakan adanya kampanye pemerintah Indonesia yang ingin membungkam dirinya.

Dia menyebut adanya intimidasi polisi terhadap keluarganya di Jakarta serta ancaman untuk mencabut paspor dan memblokir rekening banknya.

“Sistem "red notice" Interpol sering disalahgunakan oleh rezim otoriter untuk mengejar para pembangkang atau lawan politik pemerintah yang telah meninggalkan negara itu. Padahal sistem ini seharusnya digunakan untuk mencari dan menangkap orang-orang yang dicari yang akan dituntut atau menjalani hukuman,” ujarnya.

Menurut catatan saat ini ada sekitar 58.000 red notice di seluruh dunia, dan hanya sekitar 7.000 yang dipublikasikan.

Pasal 3 konstitusi Interpol jelas-jelas melarang lembaga itu melakukan segala intervensi atau kegiatan yang bersifat politik, militer, agama atau ras.

Sebelumnya Indonesia pernah mengeluarkan red notice untuk pemimpin gerakan Papua merdeka Benny Wenda pada 2011 namun terpaksa mencabutnya pada tahun 2012 karena terbukti bermotivasi politik, dan tidak berdasarkan pertimbangan pelanggaran kriminal.

Sementara itu, kelompok Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) mengatakan akan melanjutkan perjuangan mereka untuk merdeka dengan membawanya ke tingkat PBB.

Baca: Bak Aksi Koboi, Tiga Oknum Polisi Hujani Tembakan Saat Berlangsung Acara Adat di Lampung

Baca: VIRAL Kehadiran Mantan Pacar Picu Baku Hantam di Pesta Nikah hingga Kursi Beterbangan

Permintaan PBB
Sementara itu, para ahli Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.

"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).

"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.

Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.

Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.

Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.

Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.

"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.

"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.

Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.

Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi kasus tersebut.

"Begini ya, konstitusi dibuat dari kedaulatan Republik Indonesia. Sehingga tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi," ujar Frans, ketika dikonfirmasi, Rabu (18/9/2019).

"Kalau ada yang memberikan masukan akan didengarkan Republik Indonesia ini, tapi tidak untuk mengintervensi," imbuhnya.(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pekan Depan Kapolda Jatim Akan Umumkan DPO Veronica Koman

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved