Demi Mencegah Covid-19 Meluas, Keluarga Sastrawan Sapardi Meminta Kerabat tak Hadir ke Pemakaman
Pihak keluarga Sapardi Djoko Damono memohon doa kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mendoakan almarhum.
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang penyair.
Dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006) karya Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo pada, 20 Maret 1940 tepatnya di daerah Kratonan.
Ia merupakan anak pertama pasangan Sadyoko dan Sapariah. Ayahnya merupakan seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang mempunyai keahlian menatah wayang kulit.
Sejak kecil Sapardi, suka kluyuran seperti ayahnya dengan pergi atau main ke berbagai tempat.
Namun, setelah pindah rumah dari Ngadijayan yang merupakan rumah eyang (kakek) Sapardi ke daerah Komplang daerah Solo bagian utara.
Ia lebih banyak tinggal di rumah. Karena daerah yang ditempat tidak ramai seperti di tempat tinggal sebelumnya dan belum ada listrik. Penerangan dilakukan menggunakan senthir atau teplok.
Akan tetapi, keputusannnya banyak di rumah dan menikmati kesendirian itu tidak menghentikan untuk kluyuran. Namun, kluyurannnya bukan dalam arti fisik di dunia nyata melainkan di dunia batinnya.
Dengan kata lain, Sapardi terus menerus pengembaraan. Jelasnya, dengan masuk ke dalam telinganya sendiri, Sapardi menyusup ke dalam sanubarinya.
Sambil membongkar pasang kata, untuk mendengarkan secara lebih jelas dan terang bisikan yang diucapkan kepadanya.
Menulis Puisi
Pada tahun kepindahan dari Ngadijayan ke Kampung Komplang, Sapardi mulai menulis puisi.
Ia belajar menulis pada November 1957.
Ia menulis apa saja, pokoknya tidak mengutip maupun menerjemahkan. Satu bulan setelah belajar menulis, karya yang berupa sajak dimuat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang.
Namun, ia lupa judul sajak yang ditulis dan majalah yang memuat hasil karyanya.
Tahun berikutnya, sajak-sajaknya mulai bermunculan di ruang-runag kebudayaan diberbagai penerbitan seperti penerbitan yang diasuh oleh H.B Jassin.