Apa Itu Unrealized Loss/Penurunan Aset Investasi BPJamsostek Rp 43 Triliun? Ini Penjelasan Ekonom

Apa Itu Unrealized Loss/Penurunan Aset Investasi BPJamsostek Rp 43 Triliun? Ini Penjelasan Pengamat

Editor: Tariden Turnip
TRIBUN MEDAN/INDRA
Apa Itu Unrealized Loss/Penurunan Aset Investasi BPJamsostek Rp 43 Triliun? Ini Penjelasan Ekonom. WARGA mendatangi kantor BPJS Kesehatan Cabang Lubukpakam untuk melakukan pengurusan kepesertaan, Kamis (26/11/2020). 

TRIBUN-MEDAN.COM - Apa Itu Unrealized Loss/Penurunan Aset Investasi BPJamsostek Rp 43 Triliun? Ini Penjelasan Ekonom

KABAR baik bagi pekerja nasabah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang saat ini dilanda penurunan nilai investasi ( unrealized loss ) sebesar Rp 43 triliun.

Dugaan tindak pidana korupsi  akibat penurunan nilai investasi ( unrealized loss ) BPJS Ketenagakerjaan ( BPJS-TK ) atau BPJamsostek sebesar Rp 43 triliun, kini disidik Kejaksaan Agung.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merampungkan hasil audit terhadap investasi BPJS Ketenagakerjaan tahun 2017 - 2020.

Hasil pemeriksaan tersebut telah diserahkan kepada penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) Januari lalu.

Secara umum, laporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) ini berisikan transaksi investasi serta operasional BPJS selama empat tahun terakhir.

Namun lembaga ini enggan mengungkapkan apa saja hasil temuannya, dan meminta menanyakan langsung ke penyidik kejaksaan.

Setelah audit rampung, BPK saat ini sedang memproses perhitungan kerugian negara akibat kasus BPJS Ketenagakerjaan.

"Perhitungan kerugian negara masih dalam proses. Kita sudah membuat tim untuk melaksanakan perhitungan tersebut," kata Anggota III BPK Achsanul Qosasi, Senin (8/2/2021).

Banyak netizen yang menyamakan dugaan tindak pidana korupsi di BPJS Ketenagakerjaan dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Kendati demikian, berbagai ekonom menilai unrealized loss sebesar Rp 43 triliun pada BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan kasus Jiwasraya.

Pakar Ekonomi Keuangan Roy Sembel mengatakan, dari sisi strategi alokasi aset kedua institusi berpelat merah tersebut berbeda.

BPJS Ketenagakerjaan hanya menempatkan 17 persen investasinya pada saham.

Dari saham-saham yang menjadi portofolio investasi itu, 98 persen ditempatkan pada saham-saham yang masuk indeks LQ45.

Emiten yang masuk dalam indeks tersebut adalah perusahaan yang sudah terverifikasi dan memiliki fundamental bagus.

"Sementara Jiwasraya itu alokasi asetnya sebagian besar di saham-saham gorengan," ujar Roy dalam webinar Infobank, Selasa (23/2/2021).

Diketahui, Jiwasraya mencatatkan 22,4 persen dari total aset ditempatkan pada saham bervaluasi rendah (undervalue) dan hanya 5 persen di saham LQ45.

Lalu 59,1 persen diinvestasikan pada reksa dana saham yang dikelola oleh manajer investasi berkinerja buruk.

Roy mengatakan, kondisi yang dialami keduanya saat berinvestasi pun sangat berbeda.

BPJS Ketenagakerjaan berinvestasi di tengah kondisi kinerja keuangan yang baik sehingga pemilihan aset dilakukan relatif ketat.

Lain halnya dengan Jiwasraya yang berinvestasi di tengah kondisi keuangan defisit sehingga terdesak untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.

Alhasil perusahaan pun menaruh dananya di saham-saham yang berisiko tinggi, atau istilahnya high risk high return.

"Beda konteksnya, yang satu lagi untung dan satu lagi rugi. Sehingga persyaratan investasi di BPJS Ketenagakerjaan pun relatif ketat, berbeda dengan Jiwasraya yang lebih longgar karena terdesak saat itu," jelas dia.

Terkait dengan unrealized loss yang dialami BPJS Ketenagakerjaan, lanjut Roy, hal itu terjadi dipengaruhi kondisi pasar modal yang memang cenderung mengalami penurunan sepanjang tahun lalu, seiring dengan adanya tekanan pandemi Covid-19.

Menurutnya, kerugian investasi merupakan salah satu risiko pasar yang akan selalu dihadapi oleh investor.

Oleh sebab itu, apa yang dialami BPJS Ketenagakerjaan dinilai hal yang wajar, mengingat investasinya pun dilakukan pada saham perusahaan yang berkinerja baik.

"Naik turunnya market dalam periode-periode terkahir harusnya hal yang wajar, karena kalau lihat dari konteks besarnya investasi hingga strategi aset alokasi, itu tercerminkan tidak ada hal-hal yang aneh. Kalau pun ada kerugiannya, unrealized loss, itu memang karena marketnya bergejolak," pungkasnya.

Pengamat Hukum Pasar Modal, Indra Safitri mengatakan, kerugian investasi adalah salah satu risiko pasar yang akan dihadapi oleh investor. Namun jika kita berbicara unrealized loss, adalah kerugian secara buku bukan faktual.

"Sehingga harus dibuktikan dulu secara hukum apakah ada perbuatan melawan hukum yang menjadi sebab kerugian investasi dengan menggunakan pranata hukum pasar modal," jelasnya.

Jika potensi kerugian, atau kerugian yang belum dibukukan, masuk ranah merugikan negara, maka pasal ini akan menakutkan bagi semua pihak yang mengurus investasi. Padahal, jika rugi akibat risiko bisnis semata, tentu tidak masuk ranah pidana. Untung dan rugi biasa dalam bisnis. Saham naik, dan saham turun juga hal yang jamak di pasar modal.

Menurut data, Agustus-September 2020 BPJS-TK mengalami unrealized loss hingga mencapai Rp 43 triliun.

Lalu, pada akhir Desember 2020 angkanya turun menjadi Rp 22,31 triliun, dan pada posisi Januari 2021 unrealized loss tinggal Rp 14,42 triliun.

Artinya, dapat dipastikan potensi kerugian bisa naik dan bisa turun, tergantung harga saham di pasar modal yang menjadi portofolio BPJS-TK

Di lain sisi, kontribusi pendapatan termasuk dari saham dan reksa dana yang menjadi pilihan investasi BPJS-TK menghasilkan angka yang relatif besar.

Berdasarkan data yang dihimpun, hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp137,2 triliun dan Rp33 triliun (reksa dana dan saham).

Tentu unrealized loss BPJS-TK itu tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BPJS-TK dari saham dan reksa dana itu. Bahwa ada unrealized loss, itu benar, tergantung pasar saham ke mana geraknya, naik atau turun.

"Lazimnya pasar saham, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Jika kondisi baik, ekonomi baik, kemungkinan harga saham juga bergairah. Sebaliknya, kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti di awal-awal pandemi COVID-19, Maret 2020 lalu, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali terbang," tambah Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute.

Hal tersebut lanjut Eko, bisa dilihat dari realisasi unrealized loss yang selalu berubah-ubah, seiring naik dan turunnya harga saham. Penambahan unrealized loss hanya sebesar, Rp 5,8 triliun.

Sedangkan hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp 137,2 triliun dan Rp33 triliun dari reksa dana dan saham.

Oleh sebab itu ujarnya perlu ada investor sebesar BPJS-TK. Dalam periode 2016-2020 dana investasi meningkat Rp 280,3 triliun atau 136%.

"Anggap ada sekitar Rp 120 triliun masuk ke pasar. Seandainya tidak ada BPJS-TK dan asuransi-asuransi lain, akan sangat mempengaruhi," terangnya.

Melihat hal tersebut, sangat disayangkan jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI, hanya karena atas laporan masyarakat ini bisa kontra produktif bagi pengembangan pasar modal.

Pasalnya, salah satu dampak itu akan menebar “ketakutan” tidak hanya bagi BPJS-TK sendiri, tapi ke lembaga lain, terutama kepada direksi yang mengurus investasi. Bagi profesional, jangankan jadi tersangka, diperiksa saja, sudah “panas dingin”.

Dampak serius lainnya, pasar modal menjadi sepi, karena berinvestasi di pasar saham menakutkan, penuh risiko ancaman dikriminalisasi. Dan, direksi akan main aman di instrumen deposito yang sudah tentu yield-nya kecil tidak menarik bagi peserta BPJS-TK. Semua akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah.

"Semoga kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak bergerak liar, merembet ke instansi lain yang mengurus investasi. Kasus Jiwasraya dan Asabri tidak dijadikan preseden bagi semua, harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamakan, meski dari luar sama, harus dilihat proses, dan saham-saham yang dikoleksi BPJS-TK kelas LQ-45, tidak ada saham gorengan. Harus dibedakan kerugian karena risko bisnis dan korupsi, dan dalam hal ini BPJS-TK karena risiko bisnis yang belum direalisasi. masih punya peluang reborn,” tutup Eko.

Meski mengalami unrealized loss, hingga per 31 Desember 2020, daham yang dikelola BP Jamsostek masih membukukan realisasi keuntungan dan ditambah dengan keuntungan instrumen lain berdampak pada dana kelolaan BP Jamsostek per 31 Desember 2020 telah mencapai Rp 486,38 triliun dengan total hasil investasi mencapai Rp 32,30 triliun.

Hasil pengembangan JHT Tahun 2020 juga diatas rata-rata bunga deposito bank pemerintah, yaitu mencapai 5,63%. 

Artikel ini telah tayang di kontan berjudul: Ekonom: Kasus BPJS-TK tidak bisa disamakan dengan kasus Jiwasraya dan Asabri

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved