TRIBUNWIKI

Aek Sipitu Dai, 7 Pancuran, 7 Rasa, dan 7 Keajaiban di Lereng Pusuk Buhit

Pasogit berujar, sejak lama masyarakat sekitar telah mempercayai keajaiban 7 pancuran mata air Aek Sipitu Dai ini.

Penulis: Arjuna Bakkara | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ARJUNA
Juru Kunci Pasogit Limbong menuntun peziarah menanjatkan doa 

TRIBUN-MEDAN.co, SAMOSIR- Hening dan rasa khusuk melekat dalam diri ketika mulai memasuki Kawasan "Aek Sipitu Dai" di Desa Limbong, Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir, Oktober 2020 lalu.

Aek Sipitu Dai, satu dari sekian cagar budaya peninggalan leluhur Orang Batak.

Kesan berada pada lingkaran dunia leluhur semakin kental terasa saat Pasogit Limbong (42) mempersilahkan penulis masuk ke areal inti Aek Sipitu Dai.

Pasogit Limbong, merupakan satu dari pewaris yang memiliki otoritas baik sebagai pemandu bagi wisatawan maupun insan-insan manusia Batak yang berkebutuhan spiritual dan religi.

Batu Sungai yang diberi lubang
Batu Sungai yang diberi lubang (TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKARA)

Sehari-hari, Pasogit mengemban dua tugas tersebut di Sipitu Dai.

Pada kunjungan penulis pekan pertama Oktober 2020, Pasogit bercerita alasan banyak orang berkunjung ke Sipitu Dai.

Baca juga: PUTUS dengan Amanda Manopo, Billy Syahputra Berani Nikahi Ayu Ting Ting yang Batal dengan Adit Jayus

"Pada intinya Aek Sipitu Dai dikunjungi untuk berziarah sedari dulu, bukan sekadar berwisata seperti belakangan,"kata Pasogit Limbong membuka pembicaraan.

Gerbang inti, yang tak dibuka selain untuk orang-orang yang khusus berziarah kali ini menjadi titik utama yang dipersilahkan Pasogit dikunjungi penulis.

Tempat ini berada  paling pojok sebelah dalam, pada tingkatan paling tinggi letaknya diantara 7 pancuran Aek Sipitu Dai

Area ini sebagai titik lokasi awal yang terlebih dulu harus disinggahi sebelum melangkah ke pancuran air yang dituju.

Masuk ke sudut ini, lembaran daun sirih yang masih segar dan sebagian telah mengering menandakan eksistensi kesakralan dan jejak peziarah ke Aek Sipitu Dai hingga kini masih tetap berlangsung.

Menurut kalangan orang-orang Batak, Aek Sipitu Dai memiliki khasiat dan fungsinya sendiri bagi yang mempercayai.

Dalam pengertiannya, Aek dalam Bahasa Batak berarti Air dan Sipitu Dai berarti tujuh rasa. Bila diterjemahkan berarti Air yang memiliki 7 rasa. 

Pasogit berujar, sejak lama masyarakat sekitar telah mempercayai keajaiban 7 pancuran mata air Aek Sipitu Dai ini.

Apabila mandi pada sumber mata air ini dengan hati yang bersih, diyakini dapat  menambah semangat jiwa dan menghilangkan sakit yang tak bisa diobati secara medis. 

Baca juga: DUA Bomber Gereja Katedral Pria dan Wanita Tewas Berkeping, Mukjizat Sekuriti Gereja hanya Luka

Aek Sipitu Dai ini merupakan salah satu peninggalan Guru Tatea Bulan. Secara silsilah, Guru Tatea Bulan sendiri anak pertama Si Raja Batak. 

Sebelum menjelaskan satu per satu pancuran berdasarkan fungsi dan peruntukkannya, Pasogit meperlihatkan detail tempat utama sebelum melangkah ke pancuran-pancuran air yang disekat.

Terdapat pohon jabi-jabi/jajabi yang akar-akarnya ditenun angin bergelantungan hingga mengikat kuat ke bebatuan sekitar. 

Kata Pasogit pohon jabi-jabi ini memang sengaja dibiarkan tumbuh seiring adanya mata air tersebut. Jabi-jabi juga memiliki filosofis tersendiri dan merupakan pohon yang sakral bagi orang Batak.

Baca juga: Puluhan Makam Hilang di Deliserdang Akibat Tali Air Tergerus

Termasuk pohon yang dianggap baik menahan air. 

"Seperti pada nasihatnya, disebut Martantan ma baringin

Marurat jabi - jabi

Mamora ma hita madingin

Tumpahon ni Ompunta Mulajadi berarti pohon beringin berakar jantung

Pohon jabi - jabi berakar serabut

Semua kita kaya dan sentosa

diberkati Tuhan yang Maha Esa,"tutur Pasogit.

Baca juga: PESINETRON CANTIK INI Akhirnya Putuskan Bercerai Setelah Hampir 10 Tahun Berumah Tangga, Ada Apa?

Pancuran kelima yang diberi nama Pancuran Pangulu Raja
Pancuran kelima yang diberi nama Pancuran Pangulu Raja (TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKARA)

Lalu di areal ini 7 cawan putih berisi jeruk purut diletak di sekitar pohon jabi-jabi tumbuh.

Aek Sipitu Dai yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga ke dirinya, menurut Pasogit air ini bukan hanya memiliki 7 rasa.

Melainkan, memiliki nama masing-masing. 

Media doa-doa yang biasa dibawa peziarah ke sana ada beras, sirih bilangan ganjil, telur ayam kampung. Bagi orang Batak telur dinamai miak-miak sebagai lambang rezeki. 

Setelah melakukan ritual, di areal khusu ini barulah peziarah diperkenankan melangkah ke pancuran selanjutnya.

DUA Bomber Gereja Katedral Pria dan Wanita Tewas Berkeping, Mukjizat Sekuriti Gereja hanya Luka

Berdasarkan Nama dan Fungsi

Pancuran pertama dinamai Pancuran Poso-poso (deskripsikan berdasarkan letak), yang berarti Pancuran untuk bayi.

Apabila ada bayi yang kurang sehat, biasanya setelah dimandikan di Pancuran Poso-poso alhasil bayi dimaksud memperoleh kesembuhan. 

Lalu, Pancuran Nasohaguguan (jelaskan berdasarkan letak).

Pancuran Na Sohaguguan dialamatkan kepada anak gadis yang belum bertemu jodohnya.

Orang tua akan menganjurkan anak gadisnya mandi supaya segera menemukan jodohnya. 

Pancuran ketiga, Pancuran Sait Ladang.

Pancuran ini berarti untuk kelarga yang sudah berumah tangga, namun belum direstui keturunan. 

"Jadi, biar cepat dapat momongan lalu dibawalah ke sini,"sebut Pasogit. 

Kemudian, pancuran keempat dinamai Sibaso Bolon.

Sibaso Bolon dalam pelengertian Batak sendiri, adalah perempuan ahli kesehatan khususnya dalam membantu persalinan ibu hamil.

Kelas sosial Sibaso Bolon, bila disetarakan dengan masa saat ini adalah bidan atau perawat. 

Baca juga: Sindiran Telak Hotman Paris ke Hotma Sitompul, Hai Baby, Makasi Ya Udah Bikinin Kue untuk Papa

Juru Kunci Pasogit Limbong menuntun peziarah menanjatkan doa
Juru Kunci Pasogit Limbong menuntun peziarah menanjatkan doa (TRIBUN MEDAN/ARJUNA)

Adapun korelasi antara ibu hamil dengan Pancuran Sibaso Bolon saat ini, agar persalinannya lancar tanpa kendala.

"Jadi, ini tempat yang selalu dikunjungi ibu berbadan duaa agar sukses "hipasnya" (persalinan lancar),"terang Pasogit Limbong. 

Pasogit kemudian membimbing penulis ke balik tembok sebelah.

Sebelum melangkah, ke pancuran selanjutnya penulis mengamati ada sebongkah batu padas besar yang dilobangi hingga beberapa jumlah. 

Ukurannya, sedalam jari telunjuk orang dewasa dan masing-masing rata-rata berdiameter 3 inci.

Uniknya, tempat itu ternyata dijadikan sebagai wadah jeruk purut untuk shampo para leluhur berkeramas. 

Pada jaman leluhur, jeruk purut bersama kelapa yang sudah disengaja dibusukkan untuk memperkaya kandungan minyaknya lalu ditumbuk di dalam lesung-lesung kecil tadi.

Jadilah  ramuan sederhana untuk shampo keramas para leluhur. 

"Fungsinya untuk menumbuk jeruk purut dan kelapa yang sudah jamuran, makanya banyak lobangnya ramai-ramailah di sana para leluhur kita bikin shampo untuk dipakai keramas,"tutur Pasogit Limbong. 

Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 di Sumut Hari Ini Naik 71 Kasut, Total 27.120, Pasien Sembuh 23.767

Selanjutnya melangkah ke Pancuran kelima atau Passur Pangulu Raja yang ruangannya tersendiri.

Pancuran kelima ini letaknya lebih rendah dibanding pancuran lainnya, yang berarti sworang raja harus bisa mengayomi masyarakatnya. 

"Harus rendah hati, tidak bisa semena-mena walau pun dia seorang raja,"terang Pasogit. 

Pancuran kelima ini dulunya digunakan para Raja-raja Bius untuk mandi.

Orang yang datang ke Pancuran kelima ini bertujuan mengambil jabatan, naik pangkat dan dimudahkan rezekinya. 

Tempat ini dibuat tersendiri, karena bagi seorang raja itu tentu membutuhkan konsentrasi dalam semedinya. 

Selanjutnya Pancuran keenam yang berada di setelahnya dan khusus untuk Guru Tata Bulan (Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan juga Silau Raja).

Passur Guru Tatea Bulan yang disebut Passur Doli ini dikhususkan untuk keturunan Guru Tatea Bulan.

Marga-marga Batak keturunan Guru Tatea Bulan yang datang di sini meminta perolehan kesehatan dan rezeki serta diberkati di perantauan. Tidak hanya itu.

Sedangkan Pancuran ketujuh khusus untuk kelompok marga menantu yang terlahir dari kelompok marga Sumba. Demikian juga dengan Pasur Hela, untuk memehon banyak rezeki dan yang juga mengilhami trans dengan leluhur.

Baca juga: Sindiran Telak Hotman Paris ke Hotma Sitompul, Hai Baby, Makasi Ya Udah Bikinin Kue untuk Papa

Diantara pancuran yang ada, yang paling sering dikunjungi peziarah adalah orang yang sudah lama berumah tangga (Pancuran ke-1).

Namun, belum juga direstui keturunan serta bayi yang kurang sehat (Pancuran ketiga). 

Sesuai cerita yang berkembang saat ini adalah terjadi karena pertemuan Siboru Pareme dan Siraja Lontung. Sebagaimana,  Siboru Pareme dengan Si Raja Lontung menikah dengan anaknya sendiri.

Menurut Versi Pasogit Limbong, Aek Sipitu Dai bukanlah cagar budaya yang divulgar belakangan. Melainkan, titipan leluhur mereka yang dari generasi ke generasi diwarisi serta dirawat dengan baik hingga seperti yang dilakukan Pasogit saat ini.

Pasogit menyebut setiap doa yang disampaikan peziarah semua satu tujuan ke Debata Mulajadi Nabolon melalui leluhur mereka Guru Tatea Buoan.

"Satonggo do sude (semua satu doa) , tu Oppung Guru Tatea Bulan, apapun permintaan dan permohonannya, doanya sama.

Penuturan Pasogit, orang-orang berjiarah ke Aek Sipitu Dai kata Pasogit tidak sedikit yang berulang-ulang.

Kesannya, peziarah semakin merasa diilhami dan bertambah rezekinya dan itulah menjadi alasan dia datang berulang-ulang.

Peziarah berdatangan dari segala penjuru, baik orang Batak yang sudah merantau ke luar negeri.

Mulai dari seorang hidup yang terasa pahit hingga dilimpahkan banyak rezeki semakin rindu untuk kembali. 

Di Sipitu Dai lihat rekam ratusan tahun lalu. Asal Maha karya leluhur si pencipta peradaban dan kebudayaan Pancuran ada berbentuk lesung,  tempat keramas pakai anggir 

Baca juga: Pascabom Bunuh Diri di Makasar, Kapolda Irjen Panca Pastikan Situasi Kamtibmas Sumut Kondusif

Hariara di tenun angin, merajut pada malam berbulan membentengi kampung.

Di balik kilauan purnama, di sekitar kampung telihat rekam ratusan tahun lalu. Asal Maha karya leluhur si pencipta peradaban dan kebudayaan.

Untuk diketahui, Lokasi Sipitu Dai ini berletak di kaki bukit Gunung Pusuk Buhit.

Dapat ditempuh melalui jalur darat kalau datang dari arah Tarutung-Sidikalang, Silangit via Jalur Tele Kemudian singgah di Desa Harian Boho.

Kalau yang dari Kualanamu, Siantar enaknya via Parapat, Ajibata dan menyebrang ke Pulau Samosir kemudian berkendara menuju Pangururan.

Pasogit berujar, kepercayaan masyarakat sekitar, siapa yang mandi di sumber mata air ini maka penyakit yang di deritanya pun akan hilang, tentunya dengan hati yang bersih pula agar terhindar dari malapetaka.

Namun yang terpenting baik peziarah atau wisatawan selama berada di Areal ini harus menjaga sopan santun dan juga kebersihan, baik secara jasmani maupun secara spiritualitas. 

Si Pitu Dai Dari Sisi Geologis dan Spiritual Sama-sama Membawa Manfaat yang Positif.

Baca juga: PUTUS dengan Amanda Manopo, Billy Syahputra Berani Nikahi Ayu Ting Ting yang Batal dengan Adit Jayus

Ahli Geologi Sumatra Utara Gagarin Sembiring berkata, Aek Sipitu Dai masuk dalam Kawasan Komplek Geo Site Pusuk Buhit.

"Itu themanya adalah Gunung Api pasca Super Vulcano. Jadi, Gunung api yang terbentuk setelah terjadi super Vulcano, dan pengangkatan Pulau Samosir,"terang Gagarin. 

Adapun kaitannya dengan Aek Si Pitu Dai kaitannya dengan proses Magmatig sejalan dengan proses magmatik pembentukan Gunung Pusuk Buhit.

Bila di tempat lain endapannya terbentuk dari debu lalu turun ke tanah lewat proses udara, maka Aek Si Pitu Dai berbeda. 

Gunung Pusuk Buhit dan Si Pitu Dai, magma sendiri yang keluar dari perut bumi mengalir ke atas dan membeku pada permukaan bumi jadi batuan beku.

Dalam proses inilah terbentuk batuan dari sisa-sisa panas dengan membawa beberapa mineral. 

Proses tersebut menjadikan adanya mata air Aek Sipitu Dai.

Dan itu semua terjadi setelah proses letusan super vulcano.

"Aek Spitu Dai muncul hampir berbarengan dengan terangkatnya Pulau Samosir, serta terbentuknya Gunung Pusuk Buhit"sebut Gagarin. 

Pembentukan Aek Si Pitu Dai yang secara magmatig ini turut membentuk rasa pada Aek Si Pitu Dai.

Jadi, termasuk wisata Aek Rangat saat ini objek wisata air Panas sekarang berdasarkan larutan magma yang naik pada saat membentuk Gunung Pusuk Buhit

Gagarin mengakui kepintaran leluhur-leluhur Batak di Sekitar Aek Si Pitu Dai. 

Karena memang, para leluhur Batak menjadikan air yang keluar dari Pancuran Si Pitu Dai sebagai "tawar"/obat berdasarkan tingginya komposisi mineral pada bebatuan. 

"Semua itu pasti berkaitan dengan proses geologis. Tapi, yang pasti dari pengalaman masyarakat kita dengan mereka beraktivitas ritual atau apa pun namanya, itu membawa manfaat positif baik itu kesehatan maupun kesegaran jiwanya. Baik secara geologis maupun secara spiritual sama-sama membawa manfaatnya yang positif bagi kita,"kata Gagarin. 

Tentu, Aek Si Pitu Dai dari kedua sisi bagi Gagarin sama-sama membawa nilai yang positif. Tidak berbeda dengan Air Panas Sidebu-debu di Tanah Karo misalnya, atau Aek Sipangolu di Bakkara yang tinggi kandungan mineral dan mampu membuat ketenangan jiwa secara spritual.

(Jun/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved