News Video
Eksekusi 26 Rumah di Sigapiton Tak Kunjung Dapat Titik Terang, Ini Cerita Perwakilan Masyarakat Adat
Tekait eksekusi 26 rumah di kawasan tersebut, masyarakat adat yang ada di sana tak menemukan titik terang. Perkara masih terus berkalan di pengadilan.
Penulis: Maurits Pardosi |
TRIBUN-MEDAN.com, BALIGE – Desa Sileangleang terlihat sangat sepi seperti tak berpenghuni. Terlihat tanaman sedang berdiri kokoh di lahan tersebut tidak terurus lagi.
Saat disambangi di lokasi, Ketua Parsadaan Pomparan Ompu Ondol Butarbutar, Mangatas Togi Butarbutar beriksah perihal sengketa yang terjadi di atas tanah tersebut.
Tekait eksekusi 26 rumah di kawasan tersebut, masyarakat adat yang ada di sana tak menemukan titik terang. Perkara masih terus berkalan di pengadilan. Ia menyampaikan bahwa pihaknya merasa terancam yang mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut dan rumah yang berada di atas lahan tersebut.
Ketua Parsadaan Pomparan Ompu Ondol Butarbutar, Mangatas Togi Butarbutar mengisahkan bahwa pihaknya menderita di atas tanah mereka sendiri.
“Dan keberadaan kita di sini adalah perkampungan tua kita, asal-usul kita, identitas kita dari pomparan kami, pomparan Ompu Ondol. Sejak lama, kita sudah terancam di sini, sampai saat ini belum kejelasan. Maka pada tahun 2019, kita meminta untuk dibawa ke ranah hukum. Sebenarnya, kami dari masyarakat tidak mau untuk berpengadilan. Karena adanya tumpang tindih surat HPL di atas lahan tersebut, maka kita gugat di PTUN waktu itu,” ujar Mangatas Togi Butarbutar pada Senin (29/3/2021).
Tidak jauh dari lokasi tersebut, kawasan yang telah dikelola oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba berdiri kokoh. Rumah-rumah yang akan dieksekusi tersebut ditempelkan pengumuman bahwa lahan dan rumah tersebut masih dalam sengketa dan tengah berjalan di pengadilan.
Mangatas Togi Butarbutar menuturkan bahwa pihaknya agar hak-hak mereka dapat diakomodir oleh negara melalui badan hukum. Dengan yakni, ia berharap bagi Pemerintah Kabupaten Toba agar menyajikan keadilan atas hak mereka.
Dari penuturannya, secara terpaksa pihaknya harus menempuh hukum untuk memerjuangkan haknya. Menurutnya, walau pihaknya buta akan hukum, keadaan saat ini membuat mereka harus menjalani sidang demi sidang demi sebuah keadilan.
“Sampai sekarang, kita masih menunggu proses pengadilan hingga ke Mahkamah Agung. Setahu kita, eksekusi itu seluruhnya; rumah dan lahan. Kita disuruh keluar dari sini. Bahkan yang paling ngeri, sekarang kita dianggap penduduk liar,” lanjutnya.
Bahkan, pada tahun 2018, pihaknya sudah bermohon ke PLN juga agar listrik dimasukkan ke lokasi tersebut. Alhasil, hingga kini pihaknya tidak mendapatkan aliran listrik. Ia menyebut pihaknya tertindas, sehingga mereka mencari keadilan melalui proses hukum.
“Kita sangat tertindas, dan bahkan belakangan ini kita dilaporkan ke aparat penegak hukum dan posisi kami sekarang yang paling miris adalah kami sebagai tersangka. Tersangka kami di atas tanah kami sendiri, yang disebut kami menguasai lahan tanpa hak. Itu yang membuat kami sangat miris,” lanjutnya.
Ia hanya berharap kepada para petinggi agar memberikan solusi yang manusiawi.
“Sampai hari ini, proses hukum masih berlanjut karena putusan PTUN kita dari kasasi Mahkamah Agung juga berlum turun. Tapi dengar-dengar dari pihak BPODT sudah ada, tapi sampai saat ini kita tidak ada sampai dan sudah kita tanya juga pengacara kita,” pungkasnya.
(cr3/tribun-medan.com)