TRIBUNWIKI

Jejak Kesaktian Datu Parulas Parultop di Pulau Samosir

Termasuk rumah adat Batak dan satu yang mencolok dari bangunan-bangunan tua itu rumah Parsaktian Datu Parulas Parultop.

Penulis: Arjuna Bakkara | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ARJUNA
Pengunjung berada di Datu Parulas Parultop di Pulau Samosir 

Datu Parulas memiliki 14 anak yang saat ini berkembang menjadi marga-marga.

Antara lain, Pusuk, Buatan Mahulae, Simata Tunggal, Gajut, Siboro, Raja Sitalutuk, Toga Sahata, Sabungan Raja, Guru Tinandangan, Toga Dipasir, Tuan Baringin, Raja Tomuan, dan Raja Bonan Dolok. 

Di sebelah kiri dan kanan, terdapat rumah adat Batak lainnya. Juga di depan dengan rumah panggung terlihat antik, menua kecokelatan. 

Baca juga: Dituduh Kirim DM ke Perempuan Lain, Vicky Prasetyo Langsung Gombalin Kalina, Netizen Malah Baper

Sempat Dilupakan

Sebelum bercerita tentang Benda-benda pusaka, Frenki menjelaskan leluhurnya generasi ke-13 gelar "Ama Rerak membuka perkampungan di sekitar desa, bertempat di Lumban Pining.

Lalu ditempati Ama Mahammad anak dari Ama Rerak. Mereka keturunan dari Toga Sahata anak Datu Parulas Parultop

Si Boru Parmulaan Boru Manurung merupakan istri ke empat Datu Parulas. Dan dia adalah ibu Toga Sahata.

Adapun anak sulung dari Si Boru Parmulaan Manurung yakni Sitalutuk, Toga Sahata, Sabungan Raja dan Namboru.

Toga Sahata merupakan leluhur Frenki.

Rumah Batak yang mulai termakan usia, mulai berlubang atapnya. Melalui cepah-celah ijuk, air pun mulai merembes masuk ke dalam rumah.

Ama ni Mahammad pun memilih meninggalkan rumah itu. 

Ama Mahammad ketika itu tak punya biaya memperbaiki rumah peninggalan Datu Parulas Parultop.

Ama Mahammad ketika itu tak punya biaya memperbaiki rumah peninggalan Datu Parulas Parultop

Ama Mahammad pun mendirikan rumah yang juga tidak jauh dari areal dan melupakan Rumah Peninggalan Datu Parulas Parultop Lumban Raja.

Tidak berapa lama, Ama Mahammad jatuh sakit yang tidak dapat disembuhkan.

Ama Mahammad diyakini sakit karena meninggalkan rumah Datu Parulas Parultop Lumban Raja dengan kondisi yang mulai rusak.

Kata Frenki, Ama Mahhamad pada waktu itu dinilai ingkar janji kepada leluhur.

"Namangalaosi poda dohot uhum do imana. Igabusi imana akka sahala. (Sempat tidak diajalannkanya tatanan dan dia ingkar janji kepada leluhur)," kata Frenki. 

Baca juga: Imbau Masyarakat Dukung Pendataan Keluarga, Sekda Darwin: Indonesia Butuh Satu Data

Ama Mahammad pun mencari tau kepada paranormal untuk mencari tahu penyebab dirinya jatuh sakit dan tak bisa diobati.

Dari para ahli spiritual "datu", Ama Mahammad menyadari kesalahan yang ternyata dia lakukan. 

Setelah mendengar petunjuk ahli spiritual, Ama Mahammad menjual rumah yang dia bangun.

Yang disampaikan paranormal benar adanya.

Belum pada tahap memperbaiki rumah Datu Parulas Paryltop bersama para saudaranya, dia sudah sembuh dari sakit yang dia derita.

Perbaikan demi perbaikan pun dilkukan. Keturunan Toga Sahata pun bermusyawarah, dimulai ketika itu disepakatilah tidak boleh lagi dijadikan rumah huni.

Dan fungsinya hanya tempat bertemu para keturunan Datu Parulas Parultop untuk melepas kerinduan. 

Selain itu, rumah ini hanya dipakai untuk menyimpan benda pusaka Datu Parulas Parultop. Lalu ketika nada yang terpanggil melakukan ritual khusus.

Namun, tidak bisa dihuni. Untuk tidur malam hari juga tidak boleh, hanya bisa beristirahat di sana tida lebih dari 3 jam. 

Baca juga: AKHIRNYA Ifan Seventeen Lamar Citra Monica, Cinta Mereka Bersemi ke Pelaminan, Dulu Pernah Digerebek

Ultop

Frenki mulai menjelaskan satu satu persatu benda pusaka peninggalan Datu Parulas. Ada Sahan, Ultop, Raga-raga Nabolak, Hombung, Ogung, dan Piso Sidua Baba.

Sedangkan dibawah rumah, terdapat lesung berukuran besar. 

Perlahan dan hati-hati dia angkat satu peti yang didesain seperti kotak.

Kata Frenki dia tidak berani menggunakan bahan pengawet karena justru takut rusak. 

Pandangannya berfokus ke peti yang dia pegang. Gembok peti dibuka, bambu yang sudah warna kecokelatan diabperlihatkan.

Diangkatnya perlahan, raut wajahnya memerah memegang Ultop.

Frenki menjaga betul warisan leluhurnya, bahkan dia tidak mau ada orang lain memegang benda pusaka leluhurnya.

Sepertinya halnya kepada penulis, yang bukan klan dari Lumban Raja. 

"Ini senjata Oppung Datu Parulas Parultop Lumban Raja, dia cukup dikenal dengan kesaktiannya berperang menggunakan Ultop. Itulah sebabnya dia disebut Datu Parulas Parultop dan menjadi ciri khasnya,"kata Frenki. 

Senjata yang menjadi ciri DarParulas Parultop yang dia tunjukkan, berukuran lanjang kurang lebih 2 meter. Fungsinya dipakai untuk berperang dan berburu. 

"Aku tidak mau memberi bahan pengawet, justru takut rusak. Kalau kotor, aku cukup melapnya dengan kain,"sebut Frenki lagi. 

Baca juga: Kasasi Zuraida Hanum Ditolak, Anak Sulung Hakim Jamaluddin Mengucap Syukur

Bahan peluru yang digunakan Datu Parulas Parultop, diabil dari pohon borta atau aren.

Taruge namanya, keras, tajam serta runcing. Taruge yang lengket diantara ijuk yang mengelilingi pohon aren inilah kata Frenki yang dijadikan Datu Parulas Parultop menghadang musuh.

Selain taruge, ada lagi sejenis tanaman yang biasa tumbuh di hutan dijadikan peluru senjata Datu Parulas Parultop.

Namanya tada-tada, panjang durinya seukuran jari telunjuk orang dewasa dan kalau tertusuk ke tubuh bisa demam serta seperti terbakar.

Termasuk bulu landak, menjadi bagian untuk bahan peluru. "Bulu landak juga dipakai,"terang Frenki. 

Kesaktian Datu Parulas Parultop tersohor karena ketika itu mampu menyasar musuhnya meski di daerah jauh.

Bagi Datu Parulas Parultop, tidak harus di depan mata agar bisa mengenai sasaran musuh. 

Dia cukup meniupkan Ultopnya dari jarak jauh hingga ke Seberang Pulau Samosir.

Tidak hanya berperang, juha ultopnya dipakai Datu Parulas Parultop untuk berburu.

Baca juga: Respons Arahan Bupati Terbit, BPBD Langkat Terus Lakukan Pencarian Korban Tenggelam di Pantai Mantul

Losung/Sipahabang Losung

Lalu ada lesung berukuran besar, dengan berat diperkirakan lebih dari 200 Kg. Terletak di kolong Rumah Parsaktian Datu Parulas Parultop.

Lesung ini terbuat dari sebatang Pohon besar. 

Lesung ini selain fungsi sehari-harinya dipakai menumbuk padi, rupanya digunakan untuk perang.

Datu Parulas katanya pernah menerbangkan lesung hingga ke Seberang Pulau Samosir.

"Maka terkenal juga dengan sebutan sebutan Sipahabang Losung (menerbangkan lesung),"sebut Frenki. 

Podang Sidua Baba

Kotak selanjutnya dibukakan Frenki. Terlihat sebilah pedang. Memiliki dua sisi ketajaman yang sama. Penuturan Franky, namanya "Podang Si Dua Baba" yang juga senjata Datu Parulas Parultop

Fungsinya juga serupa, pedang ini dipakai untuk berperang dan berburu oleh Datu Parulas Parultop. Besinya tampak menghitam kilat. 

Sahan Pardaupan

Datu Parulas Parultop juga selain memiliki kesaktian dalam menaklukkan musuh, ternyata seorang ahli obat-obatan. Frenki memperlihatkan "Sahan Pardaupan".

"Sahan Pardaupan", satu wadah yang terbuat dari tanduk kerbau sebelah kiri untuk meramu obat-obatan. Di ujung tanduk, terdapat lobang untuk mengeluarkan ramuan yang siap dipakai. 

Lalu sebatang kayu diberi 2 tangkai untuk mengaduk ramuan obat. Warnanya juga sudah menua. "Ini masih asli semua peninggalan Oppung itu,"tutur Frenki. 

Pada jamannya, sakit yang asalnya diguna-gunai atau sejenis praktik santet diyakini masih marak.

Karenanya, Datu Parulas terkenal dengam ketabibabnya menyembuhkan orang-orang sakit, terlebih orang yang penyakitnya susah dipecahkan secara medis. 

Pada praktiknya, kata Frenki obat-obatan diramu berampingan dengan mantra atau doa-doa. Lalu, disembur kepada si penderita. 

Sahan Pardaupan menggunakan tanduk kerbau sebelah kiri ternyata juga memiliki alasan.

Karena tangan sebelah kiri lazimnya digunakan untuk membuang yang kotor-kotor.

Demikian tanduk kerbau sebelah kiri yang dipakai untuk meramu obat, dipercayai agar penyakit-penyakit dan sejenis yang kotor terbuang. 

Hombung

Dari berbagai benda pusakan yang diperlihatkan Frenki, ada yang paling besar ukurannya.

Bentuknya unik, terbuat dari Sebatang kayu bulat dan menandakan pada jaman Datu Parulas Parultop ukuran kayu besar-besar. 

Berbentuk kendi, berdiameter kurang lebih 1 meter. Lengkap dengan penutup dengan cara dipalangkan.

Tempat ini dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga, namanya Hombung. 

Ogung

Dulunya, Datu Parulas Parultop sering bepergian dari satu wilayah ke wilayah lain hingga memakan waktu yang cukup lama.

Sementata Si Boru Parmulaan istrinya sering ditinggal-tinggal.

Dalam hal ini, untuk menandakan dirinya rindu terhadap Datu Parulas Parultop Si Boru Parmulaan Manurung pun memukul Gong/Ogung.

Pembunyian ogung oleh istrinya mampu memanggil Datu Parulas Parultop.

Datu Parulas Parultop pun akan pulang dari pengembarannya. 

Raga-raga Nabolak

Datu Parulas Parultop merupakan orang yang memiliki religius tinggi dan mengenal konsep Tuhan.

"Mombang/Raga-raga Nabolak" adalah buktinya dia berserah diri ke Sang Khalik. 

Raga-raga Nabolak merupakan wadah tempat persembahan media doa-doa atau sesajen untuk Debata Mulajadi Nabolon.

Berbentuk persegi empat terbuat dari kayu aren, berpantai bambu, dan dialasi tikar anyaman pandan diisi sesajen.

Lalu digantung di "Bukkulan" penyangga atau rabung Rumah Datu Parulas Parultop

Batu Parmasan

Berada di lokasi berbeda dengan Rumah Parsaktian, makam tua terbuat dari Batu tertata rapi di dekat Pohon Hariara. Namanya, "Batu Parmasan".

Lokasi ini berjarak sekitar 200 meter dari Rumah Parsaktian Datu Parulas. Tidak ada sentuhan moderen, tidak berpagar. 

Di sini keasrian terpancar dengan baik. Adem dan penuh keheningan. Berada di sekitar Pohon Hariara.

Lokasi batu kubur paromasan ini tumbuh pohon hatiara besar.

Cahaya matahari yang seolah mengoyak rimbun dedaunan pohon hariara tembus hingga ke kuburan tua ini semakin menambah aura kesakralannya. 

Batu Parmasan ini merupakan tempat "saring-saring" atau tulang belulang. Hijau berlumut, meski sebagian ada yang sudah retak.

Baca juga: Ingin Ikut Vaksinasi Drive Thru Tapi Terkendala, Berikut Saran Public Relation Halodoc

Ada yang berbentuk kendi dan ada yang berbentuk petak persegi.

Kata Frenki, makam itu makam keturunan Datu Parulas generasi ke-8.

Terdiri dari beberapa makam batu yang memang bentuknya berbeda. Mereka menjaga betul dan membersihkan dedaunan yang jatuh ke makam. 

Frenki mempersilakan penulis melihat langsung tulang belulang yang berada di dalam makam batu itu.

Tengkorak kepala, tulang paha dan bagian kersbgka manusia ratusan tahun ini terlihat jelas.

Menua dimakan usia, tengkorak-tengkorak itu perlahan melapuk. 

Tengkorak kepala tersebut kelihatan volume kepala lebih besar menandakan serta bagian rahang yang kuat.

Meski sudah melapuk, tapi gigi-gigi tersusun rapi tidak tercabut dari posisinya.

Sangat memungkinkan, pada masa hidupnya jasad yang telah menjado kerangka ini memiliki posturntubuh yang besar, kuat dan memiliki tinggi badan lebih dari manusia Batak belakangan.

Dulunya, kata Frenki makam batu ini tidak ujuk-ujuk ketika jasad meninggal lalu dimasukkan ke dalam batu.

Ada proses yang dilalui, yakni pembusukan di tanah kubur lalu dilakukan ritual mangokkal holi/patakkok saring-saring tu batu na pir (Digali dari kuburan lalu dimasuklan ke dalam kubur batu).

Hariara

Disekitar makam batu "Parmasan" masih tumbuh subur Hariara. Hariara ini masih peninggalan Datu Parulas Parultop.

Konon, dulunya di pohon Hariara inilah dijadikan "Partukkoan" (tempat musyawarah). 

Pengertian partukkoan, bukan seperti konteks masa sekarang.

Dulunya, di Partukkoan hanya membicarakan atau musyawarah adat-istiadat Raja-raja.

"Kalau makna sekarang Partukkoan malah berada di Warung. Sudah bergeser,"Ujar Frenki. 

Batu Guru

Ada lagi Batu Guru yang seolah terapung di sekitar Pantai. Konon, Batu Guru ini menurut ceritanya ada karena perkelahian kerbau dan juga batu yang berlaga kemapuan mistis sejumlah dukun.

Akibat perkelahian itu, banyak ladang dan tanaman yang rusak 

Datu Parulas Parultop yang tidak setuju ada pertikaian baik melalui adu ilmu pun, menghentikan.

Dia menempatkan sebongkah batu besar tadi di tepi Danau seolah terapung dan tiga batu di Daratan.

Dinamai Batu Guru, kata Franky ibarat pesan Datu Parulas Parultop agar dijadikan pembelajaran. Pembelajaran dalam arti, tidak baik beradu ilmu hingga mengorbankan yang lain.

Cerita Frenki, Batu Guru berada seolah hanya ditopang 3 batu dari bawahnya. Airnya cukup dingin dan nelayan sering berezeki mendapat ikan-ikan besar dari sana. 

Konon, lesung ini dia diterbangkan membantu Mertuanya melawan serangan musuh di Jangga Dolok, Lumban Julu Kabupaten Toba saat ini.  

Mertua Datu Parulas Parultop merupakan seorang raja gelar Raja Sijambang Manurung, ayah Siboru Parmulaan istrinya.

Baca juga: Respons Arahan Bupati Terbit, BPBD Langkat Terus Lakukan Pencarian Korban Tenggelam di Pantai Mantul

Parmasan

Kepala Pudat Dokumentasibdan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen Manguji Nababan Parmasan lebih tua daripada kuburan batu atau stupa lainnya atau yang biasa disebut Sarkofagus dalam istilah arkeologi.

Sarkofagus yang dipahat biasanya terbuat dari satu batu tempat mayat disemayamkan dan ukuran besar biasanya.

Sarkofagus lebih ringan dan lebuh kecil.

Bentuknya pun berbeda dengan Batu Kubur Batu Sarkofagus.

Dan Parmasan ini jugalah yang menginspirasi orang Batak menyebut "Batu Na Pir".

Batu Na Pir sebenarnya berarti tempat tulang belulang orang Batak yang sudah memiliki anak cucu dan cicit setelah digali dari dalam kubur. 

Dalam hal ini Manguji juga berpikir, belakangan orang Batak berpikir bagaimana membuat praktis serta efisiensi lahan.

Maka dibuatlah tugu berbahan semen seperti saat ini sekaligus konsolidasi sekerabat dengan jumlah banyak. 

"Ada juga perubahan bentuk Parmasan atau Sarkofagus menjadi Batu Na Pir konteks saat ini yakni tugu berbentuk semen,"ujar Manguji Nababan. 

Adapun bentuk Sarkofagus biasanya diatasnya berbentuk lengkukan perahu. Hal ini juga terkait dengan spiritualitas orang Batak sesuai konsep surganya mengendarai perahu. 

Saat ini, di Tanah Batak jarang ditemui Parmasan seperti yang ada di areal Datu Parulas Parultop. Manguji Nababan mencurigai, makam seperti Parmasan ini habis dirusak oleh Zending ketika masuknya Kristen Ke Tanah Batak. 

Baca juga: Respons Arahan Bupati Terbit, BPBD Langkat Terus Lakukan Pencarian Korban Tenggelam di Pantai Mantul

Alasannya, mendirikan Parmasan sangat dekat dengan kegiatan raja-raja Bius yang masing-masing memiliki otonom di daerah kekuasannya.

Raja Bius merupakan persatuan raja-raja di satu kampung yang berdaulat menjaga wilayah dari gangguan apapun.

Biasanya, kata Manguji tulang belulang yang dimasukkan Parmasan adalah tokoh-tokoh tertentu. Bisa raja-raja dan bangsawan lainnya. 

Sejauh ini memang, belum ada pemugaran menjadi cagar budaya oleh pemerintah.

Melihat Danau Toba menjadi prioritas pembangunan, Manguji berpendapat pemerintah bisa memberi perhatian untuk jejak-jejak Datu Parulas Parultop agar dampaknya bisa mengena terhadap Pengelola Rumah Parsaktian Datu Parulas Parultop di sana. 

"Supaya pemanfaatan daya guna baik dari sisi spritual dan pariwisata, khususnya bagi keturunanya di sana,"terang Manguji. 

Apalagi menurut Manguji, Jejak Datu Parulas Parultop merupakan maha karya budaya yang luar biasa. Telah berusia lama, memiliki aspek sejarah dan nilai-nilai. 

Menurut Manguji, Batak sejak lama memiliki peradaban sendiri. Termasuk tata cara pemakaman, sehingga dia menepis adanya istilah Batak lahir dari peradaban hindu. 

Baca juga: Kadis Kesehatan Kota Medan Ungkap Dosis Vaksin yang Diterima Kota Medan Baru 10 Persen

"Tidak bisa cepat-cepat menggeneralisasikan peradaban Batak berasal dari Peradaban Hindu. Tapi, kalau kebudayaan hindu yang menginspirasi budaya Batak bisa masuk akal. Atau, misalkan warna budaya dari luar atau asimilasi sah-sah saja,"sebut Manguji.

Masih berkaitan dengan Datu Parulas Parultop, sesuai keusastraan orang Batak senjata Ultop juga digunakan untuk menembak burung.

Dari perut burung yang ditembak menggunakan ultop, diperolehlah "Boni" atau bibit tanam-tanaman.

Meski begitu, ultop tentu bukanlah senjata pemusnah. Sasaran yang diambil juga adalah hewan atau burung yang dipilih. Ultop dan burung juga adalah media penyebaran benih tanam-tanaman.

Selain Datu Parultop Parulas, kata Manguji ultop juga dipakai masyarakat Batak lainnya karena memang senjata tradisional. Bahkan, ilmu meracik peluru dari mesiu juga sudah diterapkan dulunya. Orang-orang Batak dulunya belajar dari alam. 

Menurut Manguji, banyak nilai yang diambil dari cerita Datu Parulas Parultop.

Sebagaimana dia membantu mertuanya berperang melawan musuh menerbangkan lesung. Artinya, di sana ada contoh nilai yang begitu bagus seorang menantu yang hormat serta setia membela mertuanya.

Kemudian, selain dari sisi mitosnya orang Batak dulunya telah memiliki pengetahuan. Meski mitos dan pengetahuan bagi Batak berjalan berdampingan. 

Bagi Budayawan Batak seperti Manguji Nababan, kalau pun dijadikan objek pariwisata sebaiknya pemerintah memberi otoritas kepada keturunan Datu Parulas Parultop.

Semisal, memberlakukan aturan dan etika kepada pengunjung sehingga nilai dan norma yang dipelihara sejak lama tetap terjaga.

(JUN/tribun-medan.com)

 
 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved