Kisah Whitney dan Pentingnya Sekolah Khusus Penyandang Autisme di Indonesia
Sama dengan kebanyakan anak normal lain, penyandang autisme juga perlu kasih sayang dan perlakuan baik dari lingkungan sekitar.
Memasuki usia enam tahun, Whitney mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Namun, meski sudah bersekolah, ia tetap asyik dengan dirinya sendiri.
Usli pun memutuskan untuk menyekolahkan Whitney di Singapura. Sekolah yang dipilih merupakan tempat khusus untuk anak-anak dengan sindrom autisme.
Pemilihan sekolah di Singapura tersebut dilakukan Usli karena pada saat itu belum ada sekolah khusus penyandang autisme di Medan.
Baca juga: Anak Hasil Bayi Tabung Lebih Berisiko Autisme?
Sejak saat itu, istri Usli memutuskan untuk pindah ke Singapura guna mendampingi Whitney. Begitu pula abang Whitney yang ikut pindah sekolah ke Singapura.
Meski ketiga anggota keluarganya tinggal di Singapura, Usli tetap berada di Medan untuk bekerja. Ia akan pergi ke Singapura sekali dalam seminggu untuk menengok keluarganya.
“Sekarang Whitney sudah berusia 18 tahun. Ia sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Kalau dididik dengan baik dan penuh kasih sayang, anak-anak autis bisa hidup dengan normal,” terang Usli.
Ia pun memberi contoh sosok Albert Einstein, penyandang autisme yang sukses menjadi ilmuwan hebat dunia karena menemukan teori relativitas.
Baca juga: Kenali Tanda Awal Autisme pada Balita
Sampai saat ini, Whitney punya kegemaran mendengarkan musik dan jalan-jalan. Usli berharap suatu saat nanti ada bakat dalam diri putrinya yang bisa dikembangkan.
Mendirikan White Light
Di dunia ini tentu tidak ada satu orangtua pun yang ingin anaknya terlahir dalam kondisi autis. Hingga sekarang, belum diketahui secara pasti mengapa seorang anak bisa terkena sindrom ini.
Menurut Usli, mendidik anak bukanlah perkara mudah. Setiap orangtua butuh kesabaran yang besar untuk mendidik anak. Kondisi ini kadang menyebabkan orangtua memilih untuk menyembunyikan anak-anak autis di rumah.
“Saya merasakan susahnya mendidik anak autis. Tidak mungkin orangtua mendidik anak autis di rumah. Anak autis butuh sekolah,” ungkap Usli.
Baca juga: Deteksi Dini Otak Bayi Kurangi Dampak Autisme
Belajar dari pengalaman mereka, Usli dan istri pun memutuskan untuk mendirikan White Light pada 2017. Ide mendirikan sekolah ini muncul ketika keduanya menyekolahkan Whitney di sekolah untuk para penyandang autisme di Singapura.
Namun, hingga saat ini, Usli merasa bahwa pemerintah belum memberikan perhatian kepada para penyandang autisme. Beberapa masyarakat Indonesia bahkan masih belum bisa menerima anak-anak dengan kondisi autisme. Akhirnya banyak dari orangtua yang memutuskan untuk mengurung anak mereka di dalam rumah.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Singapura yang sangat peduli dengan mereka. Bahkan, sebut dia, pemerintah Singapura mendirikan banyak sekolah khusus penyandang autisme untuk meringankan beban orangtua.
Seperti diketahui, untuk menyekolahkan anak penyandang autisme, orangtua perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Begitu pula dengan masyarakat yang mau menerima keberadaan anak-anak ini.
Baca juga: Peringati Hari Autisme Sedunia, YAI Gelar Jalan Peduli Autisme
