Mengenang Pendeta PWT Simanjuntak, Ephorus HKBP di Masa Perpecahan, Mantan Anggota DPR-GR/MPRS
Kabar duka kembali berembus dari gereja Protestan terbesar di Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
TRIBUN-MEDAN.com - Kabar duka kembali berembus dari gereja Protestan terbesar di Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Ompui Emeritus Ephorus HKBP Pendeta Dr Parlindungan Wilfritz Togar Simanjuntak atau lebih dikenal dengan sebutan PWT Simanjuntak, meninggal dunia di Rumah Sakit Cikini, Jakarta, Minggu (30/5/2021) pukul 06.03 WIB,.
Pdt PWT Simanjuntak mengembuskan napas terakhir di usia 85 tahun.
Sejarah mencatat, Pendeta PWT Simanjuntak merupakan mantan anggota DPR-GR/MPRS.
Ia pun menjadi salah satu sosok sentral di masa konflik internal HKBP dekade 1990.
Adapun sosok di kubu “seberang” adalah Pendeta SAE Nababan.
Kedua teolog besar yang pernah terlibat konflik internal HKBP tersebut meninggal dalam waktu yang tak berpaut jauh.
SAE Nababan meninggal awal Mei lalu, dan PWT Simanjuntak tutup usia pada hari ini, Minggu 30 Mei 2021.
Baca juga: PWT Simanjuntak Meninggal Dunia, Ini Catatan Belasungkawa Pdt Nekson dan Ephorus Robinson
Pendeta PWT Simanjuntak terpilih menjadi Ephorus HKBP lewat mekanisme Sinode Agung Istimewa (SAI) yang digelar di Hotel Tiara, Kota Medan pada 1993.
Namun, hasil SAI ditolak oleh Ephorus HKBP saat itu Pendeta SAE Nababan.
SAE Nababan menilai SAI tidak sah karena ada campur tangan penguasa saat itu rezim Orde Baru.
Adapun SIA diselenggarakan berdasarkan surat yang dikeluarkan Bakorstanasda.
SAE Nababan melakukan perlawanan dengan menggugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
Alhasil, terjadi dualisme pimpinan HKBP yang memicu terpecahnya warga gereja.
Sebagian menjadi pengikut SAE Nababan dan sebagian lainnya mengakui kepemimpinan PWT Simanjuntak.
Konflik internal HKBP itu diwarnai bentrokan hebat hingga pertumpahan darah.
Jemaat yang mengakui kepemimpinan PWT Simanjuntak konon menguasai gedung gereja HKBP.
Sementara pendukung SAE Nababan akhirnya mengadakan kebaktian terpisah dengan mendirikan tenda-tenda.
Meski begitu, jumlah jemaat pendukung SAE Nababan tak kalah banyak.
Saat itu, muncul dua istilah untuk membedakan jemaat HKBP. Loyalis SAE Nababan disebut SSA atau Setia Sampai Akhir.
Sedangkan jemaat pendukung PWT Simanjuntak dikenal dengan istilah SAI Tiara, yang merujuk kepengurusan HKBP hasil Sinode Agung Istimewa di Hotel Tiara.
Baca juga: KABAR DUKA, Dalam Waktu Berdekatan HKBP Kehilangan Dua Tokoh, Pdt PWT Simanjuntak Meninggal Dunia
Disadur dari buku tulisan Bungaran Antonius Simanjuntak dalam judul 'Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba' Terbitan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, dijelaskan bagaimana konflik perebutan kekuasaan di HKBP terjadi pada era SAE Nababan.
"Terdapat preseden bahwa jabatan sekretaris jenderal (sekjen) merupakan jalur strategis untuk mencapai jabatan puncak Ephorus setelah keberhasilan mantan sekjen Ds T Sihombing dan Ds GHM Siahaan. Karena itu Ds PM Sihombing sebagai sekjen mempersiapkan diri dengan membina para pendeta. Di luar gereja pusat dan daerah,” demikian ditulis Bungaran.
Untuk memenangkan pemilihan ephorus, terjadi negosiasi rahasia tiga tokoh di Hotel Polonia Medan awal 1987 antara Ds PM Sihombing, Rajagukguk SH, dan SAE Nababan.
Diputuskan bahwa Sihombing jadi Ephorus di HKBP, SAE Nababan ketua PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia).
Ternyata SAE Nababan turut dicalonkan dalam pemilihan Ephorus HKBP tahun 1987 dan menang.
Alhasil, Sihombing menuduh Nababan mengkhianati kesepakatan di Hotel Polonia dan melakukan perlawanan melalui kelompok par-retreat.
Pergolakan semakin besar setelah mahasiswa dan dosen simpatisan par-retreat di Universitas HKBP Nommensen melakukan unjuk rasa dan menuntut SAE Nababan turun dari jabatan Ephorus.
Baca juga: Video Ini Viral, Diduga Tabung Oksigen Kosong Sebabkan Pasien Meninggal, Ini Kata Pihak RS Pirngadi
Berbagai kelompok formal dan informal turut mencampuri konflik internal HKBP, antara lain Tim Damai di bawah pimpinan Jenderal (Purn) Maraden Panggabean (Ketua DPA waktu itu), perusahaan PT Inti Indo Rayon yang mendukung mantan sekjen PM Sihombing.
Berbagai forum yang tumbuh dari kalangan warga dan sintua, serta pemerintah melalui Gubernur dan ketua Bakorstanasda/Panglima Kodam I Bukit Barisan.
Konflik yang pada mulanya hanya terjadi di antara pendeta dan pengurus pusat HKBP, menjalar ke kalangan jemaat secara terbuka setelah campur tangan rezim Orde Baru.
Ketua Bakorstanasda Sumbagut Mayjen Pramono mengangkat Pendeta Dr SM Siahaan menjadi penjabat Ephorus, dengan tugas utama mengakhiri kemelut HKBP. Keputusan tersebut dituangkan dalam Skep/3/Stada/XII/1992 tanggal 23-12-1932.
Akibat keputusan itu, ribuan warga HKBP melakukan penolakan dengan demonstrasi ke kantor Gubernur, DPRD, dan markas Kodam I/BB.
Korban dari jemaat HKBP berjatuhan. Tentara melakukan penangkapan.
Bahkan, pelantikan Ephorus terpaksa dipindahkan dari Pearaja ke Sipoholon karena sekitar 5.000 warga HKBP menduduki kantor pusat HKBP, menolak kehadiran Pangdam I/BB dan pelantikan Pdt Dr. Siahaan.
Konflik menjalar ke semua gereja HKBP di Indonesia.
Sebagian besar menolak campur tangan pemerintah.
Baca juga: Air Mata Pendeta Debora Tumpah Ceritakan Perjuangan SAE Nababan untuk Kesetaraan Gender di HKBP
Pada pertengahan Februari 1993 diselenggarakan Sinode Agung Istimewa (SAI) di Hotel Tiara, Kota Medan.
Dalam SAI itu, terpilih Pendeta PWT Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt SM Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal.
Namun, perpecahan HKBP belum berakhir. Jemaat semakin terbelah. Konflik antar jemaat untuk memperebutkan gereja bahkan menimbulkan pertumpahan darah.
Untuk meredakan situasi pemerintah menugaskan Menteri Penertiban Aparatur Negara TB Silalahi mendamaikan kelompok yang berseteru. R
ekonsiliasi ditandatangani kedua ephorus, SAE Nababan dan PWT Simanjuntak. Namun, rekonsiliasi itu tidak berjalan mulus. Konflik terus terjadi antar jemaat dari kedua kubu.
Konflik HKBP baru berakhir setelah ditunjuknya Pdt Dr JR Hutauruk sebagai Penjabat Ephorus HKBP untuk misi khusus rekonsiliasi.
Dalam pelaksanaan Sinode Godang pada 18-20 Desember 1998, terpilih Pdt Dr JR Hutauruk sebagai Ephorus, Pdt WTP Simarmata MA menjadi Sekretaris Jenderal, 22 orang jemaat menjadi Pengurus Pusat dan 18 orang Praeses periode 1998-2004.

Luncurkan Dua Buku
Setelah tak lagi menjabat sebagai Ephorus HKBP, Pendeta PWT Simanjuntak tetap berkarya.
Ia menuliskan sejumlah buku, dua di antaranya “Dari Parau Sorat Ke Mancanegara” dan "Hamba yang tidak Berguna".
Buku "Dari Parau Sorat Ke Mancanegara" berisi sejarah HKBP yang bermula dari kampung bernama Parau Sorat, Sipirok. Lambat laun, HKBP menjadi besar dan tersebar hingga ke luar negeri.
(*)