Korupsi Dana PBB Rp 2,8 Miliar Labura, Saksi Sebut Atas Perintah dan Persetujuan Haji Buyung

Dugaan korupsi dana PBB Labuhanbatu Utara ternyata atas persetujuan Kharuddin Syah Sitorus alias Haji Buyung

Editor: Array A Argus
TRIBUN MEDAN/GITA NADIA TARIGAN
Sidang perkara dugaan korupsi dana biaya pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari Sektor Perkebunan di Pemkab Labura sebesar Rp 2,18 miliar lebih, dengan terdakwa Mantan Bupati Labuhan Batu Utara H. Kharuddin Syah alias H. Buyung terus bergulir di Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (26/10/2021).(TRIBUN MEDAN/GITA NADIA TARIGAN) 

TRIBUN-MEDAN.COM,MEDAN- Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemkab Labura, Zahida Hafni mengatakan, bahwa uang Rp 2,18 miliar dari hasil pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari Sektor Perkebunan di Pemkab Labura yang dikorupsi sejumlah pejabat Pemkab Labura ternyata atas persetujuan Kharuddin Syah Sitorus alias Haji Buyung selaku bupati saat itu.. 

"Ada diajukannya draf, dana bagi hasil sektor perkebunan menjadi insentif, berdasarkan Keputusan Bupati," kata Zahida di hadapan hakim ketua Saut Maruli Tua Pasaribu, Selasa (26/10/2021). 

Saksi berdalih tidak tahu bahwa pembagian uang tersebut bertentangan dengan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 menyangkut Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Meski demikian, ia mengaku pernah melakukan eksaminasi.

Baca juga: DEWAS KPK Didesak Proses Dugaan Pelanggaran Kode Etik Lili Pintauli, Perkara Labura

"Pernah eksaminasi, tujuannya untuk memastikan produk hukum yang akan ditandatangani oleh bupati itu sudah sesuai," katanya.

Saat dicecar jaksa penuntut umum (JPU) soal darimana angka pembagian uang tersebut ke masing-masing pejabat, Zahida mengaku tidak tau.

"Persisnya tidak tahu, karena secara teknis saya tidak tahu tata pengelolaannya," ucapnya.

Ia mengaku bahwa berkas dana PBB tersebut sempat menumpuk bersama berkas lainnya di ruangannya, sehingga pencairan dananya sempat terkendala.

"Waktu itu Kasubbag kosong, dan semua menumpuk di meja saya. Lalu Kabid anggaran datang kepada kita mempertanyakan. Terjadilah dialog bahwa katanya sudah dua tahun ini diberikan (uang) tidak pernah ada masalah di BPK.

Ia juga menunjukkan beberapa peraturan ke saya, bahwa ini tidak masalah, sehingga saya percaya," bebernya.

Baca juga: Diduga Korupsi Hingga Rp 2 Miliar Lebih, Napi Koruptor Mantan Bupati Labura H Buyung Disidang Lagi

Ia mengira apa yang dirinya lakukan tidak bertendangan dengan peraturan yang ada, karena bergerak berdasarkan SK Bupati.

"Menurut kami tupoksi kami tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku," katanya.

Usai memeriksa saksi majelis hakim menunda sidang pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.

Dalam dakwaan JPU Hendrik Sipahutar, dalam tiga Tahun Anggaran (TA) berturut-turut Pemkab Labura ada menerima dana pemungutan PBB dari Sektor Perkebunan total Rp 2.510.937.068.

Uang tersebutlah kemudian diduga disalahgunakan Haji Buyung bersama beberapa stafnya.

"TA 2013 Rp 1.065.344.300, Januari-Oktober 2014 Rp 529.678.578 dan November-Desember 2014 Rp 219.188.623. Serta Januari-November 2015 sebesar Rp 487.707.897. Sedangkan November hingga Desember Rp 209.017.897," kata jaksa.

Baca juga: Napi Koruptor Mantan Bupati Labura H Buyung Disidang Lagi, Diduga Korupsi Hingga Rp 2 Miliar Lebih

Namun Haji Buyung yang saat itu menjabat sebagai Bupati Labura bekerja sama dengan sejumlah bawahannya yakni Ahmad Fuad Lubis selaku Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Labura TA 2014 dan 2015.

Armada Pangaloan selaku Kepala Bidang (Kabid) Pendapatan pada dinas tersebut (sudah divonis bersalah) menyusun pembagian biaya pemungutan PBB sektor Perkebunan TA 2013 yang dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Kepala DPPKAD Kabupaten Labura dengan Nomor : 973/1311/DPPKAD-II/2013, tanggal 11 Desember 2013.

Selanjutnya terdakwa pun mengeluarkan SK Nomor : 973/281/DPPKAD-II/2013 tertanggal 9 Desember 2013 tentang Besaran Pembagian Biaya Pemungutan PBB sektor Perkebunan Tahun 2013 yang akan dijadikan dasar hukum untuk pembagian dana pemungutan PBB sektor Perkebunan sebagai uang insentif.  

"Dengan komposisi Bupati mendapatkan 30 persen dari total biaya pemungutan, Wakil Bupati 15 persen,  Sekretaris Daerah Sekda sebesar 5 persen dan DPPKAD 50 persen," ucap jaksa.

Tidak sampai di situ, pada TA 2014 terdakwa bahkan menerbitkan SK Nomor: 821.24/998/BKD/2014, tertanggal 12 Juni 2014, dimana dalam penggunaan biaya pemungutan PBB sektor Perkebunan dari Pemerintah Pusat tersebut, dibagi-bagikan atau disalurkan kepada pihak-pihak tidak berhak.

Baca juga: Kasus 5 Anggora DPRD Labura Pesta Narkoba Sambil Dugem Berlanjut, Jaksa Terima SPDP

"Dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain termasuk untuk diri sendiri terdakwa serta Armada Pangaloan dan H Faizal Irwan Dalimunthe," kata Hendri.

Selanjutnya, kata jaksa, Faizal Irwan Dalimunthe selaku Kepala DPPKAD Labura menerbitkan SK Nomor: 973/1150/DPPKAD-II/2014 tertanggal 3 November 2014 tentang Pembagian Biaya Pemungutan PBB Sektor Perkebunan Tahun 2014 dengan rincian 30 persen, 15 persen, 5 persen untuk Bupati, Wakil Bupati dan Sekda.  

Sedangkan untuk Kepala Dinas (30 persen dari 50 persen dari total biaya pemungutan, Kabid Pendapatan  9 persen dari 50 persen, Kabid Anggaran, Akutansi dan Aset sebanyak 3 orang  masing-masing 7 persen dari 50 persen, Kasi Pajak dan Retribusi 3 persen dari 50 persen, Kasi Pembinaan 3,5 persen dari 50 persen, Kasi pada Bidang Anggaran Akuntansi dan Sekretariat 7 orang masing-masing 5 persen dari 50 persen.

"Unsur staf pada Bidang Pendapatan 9 orang masing-masing 7 persen dari 50 persen,  staf pada bidang anggaran, sekretariat akuntansi dan aset 12 orang masing-masing 6 persen dari 50 persen hingga para tenaga honorer, UPTD dan juru bayar 3 persen dari 50 persen total biaya pemungutan," beber Jaksa.

Baca juga: HIPMI Labura Siap Mendukung Program Ade Jona Prasetyo: Saya Yakin Organisasi Ini Semakin Hebat

Berikutnya, di Tahun 2015 terdakwa juga menerbitkan SK tentang Pembagian Biaya Pemungutan PBB Sektor Perkebunan Nomor: 973/150/DPPKAD-II/2015 tertanggal 22 Juni 2015 juga dialokasikan kepada orang-orang tidak berhak, alias tidak sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dalam  Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Subsidiar, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana," urai Jaksa.(cr21/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved