TERKAIT BOM BALI: Jika Hambali Membusuk di Guantanamo, Begini Nasib Rekannya Disidang di Jakarta
Tragedi mengenaskan pengeboman di Bali yang terjadi tahun 2002 silam masih menyisakan getir dan duka bagi banyak pihak.
TRIBUN-MEDAN.COM - Tragedi mengenaskan pengeboman di Bali yang terjadi tahun 2002 silam masih menyisakan getir dan duka bagi banyak pihak.
Kini, dalang dari aksi teroris itu sudah mendapatkan vonis hukumannya.
Ialah Aris Sumarsono atau Zulkarnaen, komando militer Jemaah Islamiyah.
Zulkarnaen adalah pemimpin teroris yang memberikan lampu hijau untuk melaksanakan aksi teroris mengerikan itu.
Pengeboman bom Bali 2002 dilaksanakan di klub malam yang membunuh 202 orang.
Lantas, bagaimana hukuman yang didapatkan oleh Zulkarnaen dan apakah ia pantas mendapatkannya?
Melansir Asia Times, Zulkarnaen ternyata dihukum 15 tahun penjara, alih-alih hukuman penjara seumur hidup seperti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Sebagai ketua sayap militer dari kelompok ektrimis Jemaah Islamiyah (JI), veteran perang Afghanistan telah buron selama 15 tahun sebelum ia ditangkap di Sumatera pada akhir 2020 lalu, 18 tahun setelah serangan teroris paling mengerikan kedua pasca serangan 9/11 di Amerika Serikat.
Walaupun Zulkarnaen, mantan mahasiswa biologi berumur 59 tahun adalah sosok terakhir yang terlibat secara langsung dalam plot pengeboman untuk menghadapi pengadilan.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyangkal dakwaan terkait pengeboman itu sendiri, karena batas waktu sudah habis.
Alih-alih walaupun kecurigaan keterlibatannya dalam beberapa serangan, Zulkarnaen dipenjara dengan dakwaan lebih ringan yaitu membantu dan bersekongkol dalam terorisme lewat meminjamkan uang ke sebuah organisasi teroris, memberikan naungan bagi tersangka teroris dan menahan informasi sebagai senjata teror.
Zulkarnaen tidak terlibat dalam merakit bom atau dalam rincian operasional. Namun, sebelumnya ia bertemu dengan Amrozi Nurhasyim, Huda bin Abdul Haq dan Imam Samudra, bidak catur yang ia gunakan menjadi aktor ledakan bom Bali 2002.
Ketiganya dieksekusi mati pada 2008 lalu, dalam penilaian pasca ledakan.
Zulkarnaen tampaknya membagi tanggung jawab untuk menyetujui serangan dengan kepala operasi JI saat itu, Riduan Isamuddin, atau Hambali.
Hambali adalah salah satu dari 39 tahanan teroris yang masih ditahan di Penjara Guantanamo.
Zulkarnaen juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan pendiri kelompok tersebut, Abu Bakar Ba'asyir.
"Ba'asyir didekati dan diberitahu bahwa sesuatu sedang direncanakan," ujar pakar terorisme Sidney Jones, yang telah menelusuri JI dari awal mula.
"Ia mengatakan 'lakukan apa yang harus kamu lakukan,' yang diartikan sebagai tanda persetujuan Ba'asyir."
Ba'asyir yang kini berusia 82 tahun dulunya dipenjara 5 tahun sejak 2005 karena perannya dalam pengeboman tersebut, yang membunuh 88 turis Australia.
Namun pemerintah Australia dan keluarga korban kecewa karena vonis tersebut dibatalkan di tingkat banding.
Tahun 2011, Ba'asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun karena pendanaan pusat pelatihan teroris di provinsi Aceh.
Ia kemudian dilepaskan pada Januari 2020 setelah menerima remisi atas perilaku baik.
Zulkarnaen, yang nama aslinya Aris Sumarsono, juga dicurigai memerankan peran dalam pengeboman bunuh diri Hotel Marriott di tahun 2003 dan 2009 di Jakarta yang membunuh 21 orang, serta pengeboman Bali kedua pada 2005 di Kuta dan Jimbaran yang membunuh 23 orang.

Aris Sumarsono atau Zulkarnaen, dalang Bom Bali I bersama Hambali.
Sumber intelijen saat itu mengatakan mereka memiliki beberapa keraguan jika Zulkarnaen berada di balik serangkaian serangan di Jakarta dan Bali serta membuat aksi keamanan dilakukan di semua hotel dan bangunan-bangunan publik yang masih berlaku sampai saat ini.
Pelaku serangan-serangan tersebut, pembuat bom Malaysia Azahari bin Husin (47) dan Noordin Mohammad Top (41) dengan cepat menjadi target perburuan Densus 88 di sepanjang Pulau Jawa.
Azahari dibunuh di persembunyiannya di gunung dekat Malang, Jawa Timur, pada November 2005.
Sedangkan Noordin M Top dan tiga teroris lain meledakkan diri sendiri setelah dikepung di sebuah desa dekat dengan kota Solo, empat tahun setelah Azahari tewas.
Masih tidak jelas bagaimana Zulkarnaen berhasil lolos dari pengawasan Densus 88 untuk waktu yang sangat lama.
Dibentuk dengan bantuan AS dan Australia setelah ledakan teroris 2002, Densus 88 melanjutkan untuk menangani para militan walaupun pandemi Covid-19 berlangsung.
Zulkarnaen akhirnya ditangkap setelah polisi melacak pria yang menyembunyikannya, sesama buronan Upik Lawanga.
Upik Lawanga buron karena merakit bom bunuh diri yang digunakan untuk membunuh sembilan orang di hotel Marriot dan Ritz-Carlton Juli 2009.
Terus diburu oleh pemerintah, terlebih setelah munculnya Negara Islam (ISIS), Jones mengatakan JI terus bertahan.
Namun bukan menjadi organisasi teroris, melainkan sebagai budaya yang akar keluarganya kembali ke gerakan Darul Islam tahun 1950-an.
Gerakan ini penganut kawin-silang, dan anak-anak mereka pergi ke sekolah yang sama, kemudian kegiatan olahraga dan aktivitas sosial lainnya dilakukan sendiri.
Selama 5 tahun terakhir mereka terlibat dalam demonstrasi politik ketika mereka ingin mendirikan negara Islam.
Negara Islam merupakan tujuan awal JI tapi setelah berhasil menghubungi Osama bin Laden, tujuan mereka berubah untuk membangun khilafah di Asia Tenggara, yang mengumpulkan para ekstrimis di Singapura, Malaysia, serta Filipina.
Hambali Pelaku Bom Bali 2 diadili di Pengadilan Militer Amerika Serikat. (ISTIMEWA)
Sosok Hambali Masih di Guantanamo
Sosok yang disebut sebagai "otak" serangan teror bom di Bali, Oktober 2002, dan beberapa serangan bom lainnya, Hambali, dilaporkan mulai dihadirkan dalam persidangan pertama militer Amerika Serikat, Senin (30/8/2021) lalu.
Pria yang bernama asli Encep Nurjaman itu akan menghadapi dakwaan resmi di depan komisi militer AS di Teluk Guantanamo.
Hambali — salah-seorang pimpinan organisasi teroris Jemaah Islamiyah — ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand, 14 Agustus 2003, ketika dalam pelarian.
Setelah ditahan di beberapa penjara rahasia milik CIA, dia akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006.
Upaya Indonesia untuk membawanya pulang saat itu tidak membuahkan hasil, meskipun tim penyidik kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) belakangan diizinkan untuk memeriksanya di Guantanamo.
Pria kelahiran 1964 asal Cianjur, Jawa Barat, ini diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (JI) dan organisasi teroris Al Qaeda di Asia Tenggara.
Selain disebut sebagai perancang serangan bom Bali 2002, dia dianggap bertanggung jawab dalam serangan serentak beberapa gereja di tujuh kota di Indonesia pada malam Natal, akhir 2020 lalu.
Riduan Isomuddin — nama lainnya saat menetap di Malaysia — dilaporkan ikut mendanai pula aksi serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta, 1 Agustus 2000.
Bom di Atrium Senen, Jakarta, 1 Agustus 2001, juga diduga melibatkan Hambali.
Pelakunya, Dani, warga Malaysia, adalah anak buah Noerdin M Top, yang juga bawahan Hambali di JI.
Selama masa buron, dan setelah tertangkap, proyek pengeboman yang diduga kuat dirancang oleh Hambali dengan Al-Qaeda dilaksanakan tim yang terdiri orang-orang dekatnya.
Selain Bom Bali 2002, menurut As'ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Hambali berada "di belakang" bom Marriot (5 Agustus 2003), bom Kedutaan besar Australia (9 September 2004), bom Bali 2 (1 Oktober 2005) dan terakhir bom Marriot-Ritz Carlton (17 Juli 2009).
"Rangkaian ledakan bom tersebut merupakan proyek Al Qaeda yang dipercayakan pelaksanaannya kepada Hambali," kata As'ad dalam buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014).
Hambali dilaporkan pula terlibat pendanaan untuk pelatihan kepada sukarelawan lokal di Poso dan Ambon saat dua wilayah itu dikoyak konflik agama.
Aparat kemanan AS juga menuduh Hambali merencanakan penyerangan terhadap kedutaan besar Amerika Serikat, Inggris dan Australia di Singapura.
Sekarang, mendekati 15 tahun masa penahanannya di penjara Guantanamo, yang berulangkali dikritik para pegiat HAM terkait "teknik interogasinya", Hambali menunggu sidang pertamanya untuk mendengarkan dakwaan atas dirinya.
Hanya saja persidangannya digelar oleh Mahkamah Militer AS dan bukan peradilan sipil. Hal yang dikritik sejak awal oleh pengacaranya dan pegiat HAM dunia.
Apakah Hambali masih berstatus WNI?
Kementerian Luar Negeri Indonesia, melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, mengaku "belum mendapat informasi atas hal ini (rencana persidangan Hambali di AS)."
Hal itu disampaikan Teuku Faizasyah melalui pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/8/2021) lalu.
Ditanya apakah Hambali masih berstatus warga negara Indonesia (WNI), Faizasyah menulis:
"Sepengetahuan saya saat Hambali ditangkap di Thailand, yang bersangkutan memegang paspor non-Indonesia," katanya. "Jadi status kewarganegarannya merujuk ke paspor tersebut."
Pada Maret 2010 lalu, Hambali mengajukan permohonan pembebasan dari penahanan tanpa tuduhan kepada pengadilan distrik di Washington. Namun permintaannya tidak diluluskan.
Hambali "penghubung" Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda
Hambali, awalnya, terlibat gerakan saat bertemu Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir — dua tokoh Negara Islam Indonesia (NII) — di Malaysia pada 1980-an.
Dua orang ini melarikan diri ke Malaysia karena menjadi buronan pemerintahan Orde Baru, akibat terlibat gerakan pendirian Negara Islam.
Pada 1987, ketika Afghanistan dicaplok Soviet, Hambali dikirim ke sana untuk mengikuti pelatihan militer dan ikut bertempur mendukung kelompok Mujahidin.
Menurut mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, Hambali merupakan "kader paling cerdas", terbukti dia terpilih "sebagai lulusan terbaik angkatan keempat."
"Hambali pernah mendapat pendidikan militer di Afghanistan. Dia angkatan ke-4 dan lulus 1989, dan sempat menjadi instruktur," kata Nasir Abas, bekas pimpinan Jemaah Islamiyah, kepada BBC News Indonesia, Sabtu (28/8/2021) lalu.
Fungsi pelatihan militer itu, ungkap Nasir yang juga pernah mengikuti pelatihan itu, dapat digunakan untuk kepentingan NII.
Dalam perkembangannya, ketika Abdullah Sungkar keluar dari NII dan mendirikan Jemaah Islamiyah pada Juni 1993, di mana Hambali ikut membahas konsep "ideologi" JI, tulis As'ad.
Dan ketika Hambali menjadi salah-seorang pimpinan mantiqi (wilayah) satu JI (meliputi Malaysia, Singapura, Thailand selatan), dia dipercaya mewakili JI ke Afghanistan.
Saat itu kelompok Taliban yang berkuasa dan Osama bin Laden diizinkan membuka kamp pelatihan militer di sana.
Di sanalah, menurut Nasir Abbas, yang pernah menjadi pimpinan JI dan menyatakan keluar, Hambali menjadi penghubung JI dan Al Qaeda serta Taliban
"Hambali kemudian bertemu Osama bin Laden," ungkap Nasir. Pertemuan itu, antara lain, membahas bahwa JI akan mengirim anggotanya untuk berlatih militer di kamp-kamp di Afghanistan.
Dalam amatan Al Chaidar, peneliti tentang terorisme, Hambali kemudian memiliki "hubungan khusus" dengan Al Qaeda dan Taliban.
"Hambali memainkan peranan sebagai penghubung paling utama antara Abdullah Sungkar, Abubakar Baasyir dari JI dengan Al Qaeda dan Taliban," papar Al Chaedar kepada BBC News Indonesia.
Mengapa Hambali yang dipilih, Al Chaidar menganggap karena dia sosok yang paling dipercaya, sudah dikenal, dan memiliki kemampuan berbahasa Arab.
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Ali Said: "Kami berbicara bahasa Sunda dengan Hambali di Guantanamo, dan dia akui semua perbuatannya"
Sejumlah perwira Badan Intelijen Negara (BIN) dan Mabes Polri pernah bertemu Hambali di penjara Guantanamo yang di bawah kendali militer AS.
Di hadapan Hambali, mereka mengonfirmasi hasil penyelidikan tentang dugaan dirinya, Jemaah Islamiyah, serta Al Qaeda dalam serangkaian serangan bom di awal 2000 hingga 2009.
"Hambali bicara apa-adanya, karena tim yang kami kirim pintar bahasa Arab dan juga bahasa Sunda," kata As'ad Said Ali, sambil tergelak, kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/8/2021).
Menurutnya, timnya yang menggunakan "pendekatan budaya", melakukan konfirmasi atas hasil penyelidikan sebelumnya yang mengarah pada dugaan keterlibatannya.
"Dia mengakui semua atas apa yang dilakukannya. Terang-benderang, dia tidak menutup-nutupi, karena sudah no way ya," aku As'ad, yang pernah menulis buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014).
Di hadapan Hambali, tim BIN dan Mabes Polri terutama mengonfirmasi beberapa aksi teror bom yang "tidak diketahui" anggota JI lainnya.
"Misalnya bom Bali, bom Atrium Senen, Kedutaan Australia, bom di depan rumah Dubes Filipina, juga rencana pengeboman di Singapura," kata As'ad.
Hambali juga tidak membantah ketika dia disodorkan bukti bahwa dia adalah "operator serangan teror Al Qaeda di wilayah Asia Tenggara.
Sebagai penghubung antara Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda, Hambali menerima kepercayaan untuk menyebarkan fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden.
Fatwa berbahasa Arab itu dibawa Hambali dan disebarkan kepada para pimpinan JI di Malaysia dan Indonesia. "Termasuk saya," kata Nasir Abas.
Menurut Nasir, Hambali memintanya untuk membacakan fatwa itu ke hadapan pimpinan lainnya. Ini ditolaknya.
"Saya tidak setuju dengan pendapat Osama bin Laden, yang mengatakan boleh membunuh warga sipil di mana saja, karena bertentangan fiqh jihad," aku Nasir Abas kepada BBC News Indonesia.
Hambali menganggap fatwa yang dikeluarkan Osama itu sahih karena dia "dikelilingi" para ulama. "Sehingga ini dibolehkan," kata Hambali, seperti ditirukan Nasir.
Nasir, yang mantan ketua mantiqi tiga Jemaah Islamiyah di Sabah Malaysia, Kaltim, Sulawesi Tengah dan Tenggara, tetap berkukuh menolaknya. "Saya tetap menolak."
Al Chaidar, yang pernah aktif di organisasi Negara Islam Indonesia, NII, atau Darul Islam, juga menolak cara-cara terorisme yang ditempuh Hambali dan kawan-kawan.
Dia menyebut Darul Islam "lebih pasifis dan humanis" sehingga sejak awal dia tidak tertarik "jalan" yang ditempuh Jemaah Islamiyah.
"Dan Hambali mengerti itu dan menghormati posisi saya. Kita sering berbicara secara personal dengan Mukhlas (dihukum mati akibat perannya dalam Bom Bali 2002) dan Hambali."
"Dan mereka tidak mau mengintervensi sekat-sekat organisasional ini antara NII dan JI. Mereka hargai perbedaan itu.
"Sejak awal kita (Darul Islam) sudah menyadari bahwa kita tidak mau dan tidak terlibat terorisme, karena gerakan pembentukan negara berbeda dengan gerakan terorisme," papar Al Chaidar kepada BBC News Indonesia, Sabtu (29/8/2021).
Jejak langkah Hambali dan JI dalam serangkaian teror bom
Namun suara Nasir Abbas dan Al Chaidar ini tenggelam dan ditinggalkan oleh Hambali dan kawan-kawannya. Kerusuhan Ambon dan Poso adalah salah-satu medan jihad pertama Jemaah Islamiyah.
Dalam konflik Ambon, Hambali bahkan pernah datang ke wilayah itu dan berujung kepada pembangunan kamp latihan militer dan bantuan logistik dan pendanaan.
Ada beberapa kasus teror yang digagas oleh Hambali, kata As'ad Ali, di antaranya adalah serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta.
Lainnya? Serangan serentak di sejumlah gereja di berbagai kota pada Desember 2000. Hal ini juga dibenarkan Nasir Abas dan Al Chaidar.
Walaupun tidak menyetujui aksi yang ditempuh Hambali, Nasir Abas tidak memungkiri kemahiran sang operator teror tersebut.
"Lebih dari 30 gereja jadi sasaran pada malam yang sama, dan dilakukan di kota yang berbeda," kata Nasir. "Dan itu semua dikoordinir oleh Hambali."
Bagi Al Chaidar, Hambali memegang peran penting dalam serangan malam Natal itu, tidak hanya sebagai peletak dasar strategi dan perencanaan.
"Tapi juga detail-detailnya dia punya," tambah Al Chaidar. Dia menyaksikan sendiri Hambali melakukan komunikasi yang "begitu detail" meski Hambali tidak menyebutkan isi percakapan itu.
Puncaknya adalah serangan bom di Kuta, Bali, Oktober 2002. Nasir Abbas, As'ad Said Ali, dan Al Chaidar meyakini Hambali adalah otaknya. "Yang begitu terorganisir," kata Nasir.
Ali Fauzi, mantan anggota Jemaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di Mindanao, Filipina Selatan, dan kini aktif mengampanyekan perdamaian, menyuarakan hal serupa.
Ketika membesuk beberapa saudaranya di LP Nusa Kambangan, yang dipidana dalam kasus bom Bali 2002, yaitu Ali Ghufron dan Amrozi, Ali Fauzi mendengar informasi tentang sosok Hambali.
"Memang salah-satu sosok yang punya peran, dan desainernya di bom Bali itu adalah Hambali," kata Ali Fauzi kepada BBC News Indonesia, Kamis (26/8/2021).
Serangan bom berikutnya di Hotel JW Marriot dua tahun kemudian, memang tidak secara langsung melibatkan Hambali, karena dia sudah ditangkap di Thailand.
Namun aksi teror itu diyakini merupakan bagian dari rencananya yang kemudian dilaksanakan orang-orang kepercayaannya, kata As'ad Ali.
"Setelah tertangkap (di Thailand), proyek pengeboman yang dirancang Hambali bersama AlQaeda dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri orang-orang terdekatnya," kata As'ad.
Orang-orang terdekatnya itu antara lain Dr Azhari, Noerdin M Top dan Mukhlas, tambahnya.
Mengapa Nasir Abas dan Ali Fauzi berubah, tapi Hambali "tidak"?
Di akhir wawancara, saya menanyakan kepada mantan narapidana teroris Nasir Abas dan Ali Fauzi, tentang bagaimana mereka bisa berubah dan bertaubat.
Dahulu, ketika masih bergabung dengan Jemaah Islamiyah, Ali Fauzi mengaku ditawari Hambali untuk mengikuti kamp pelatihan militer di Mindanao atau Afghanistan.
"Saya bertanya, mana wilayah yang masih berperang?" Dan ketika dia mengetahui Afghanistan sudah mereda konfliknya, Ali Fauzi memilih berlatih di Mindanao.
Ali Fauzi Manzi adalah adik kandung terpidana mati Bom Bali, Amrozi, dan terpidana seumur hidup Ali Imron.
Pada 2002, Ali Fauzi berangkat ke Mindanao, Filipina, serta mendirikan kamp pelatihan militer MILF bersama tersangka teroris lainnya.
Dua tahun kemudian Ali ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Filipina dan dipulangkan ke Indonesia pada 2006.
Setelah bebas, Ali mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) bersama eks narapidana terorisme lainnya untuk mengampanyekan perdamaian dan deradikalisasi.
"Akar terorisme itu tidak tunggal, sehingga penyembuhannya tidak boleh tunggal," kata Ali Fauzi. Dia mengakui pendekatan lunak dari kepolisian juga membuatnya berubah.
"Dan saya ketemu ratusan korban bom dan keluarganya, dan membuat saya paham apa yang dilakukan kawan-kawan itu keblabalasan dan perlu dihentikan," ujar Ali.
Bagaimana dengan Nasir Abas? Dia menekankan kembali istilah fiq jihad yang diutarakan di awal saat berdebat dengan Hambali tentang fatwa jihad Osama bin Laden.
"Osama mengatakan sekarang ini boleh membalas dengan membunuh wanita dan anak-anak yang warga AS, di situ saya melihat bertentangan dengan fiqh," kata Nasir.
Dia menggarisbawahi, Islam melarang membunuh warga sipil di medan pertempuran.
"Sementara Hambali tidak melihat fiqh, dia melihat sosok Osama bin Laden yang disebutnya mujahid besar yang dianggap tidak mungkin salah.
"Saya melihat sosok Osama bin Laden adalah manusia biasa yang bisa saja salah. Di situlah titik perbedaan saya dan Hambali," kata Nasir Abas.
(*/Tribunmedan/ intisari/ Kompas.com)
Artikel telah tayang di Kompas.com dengan judul: Hambali, Otak Bom Bali 2002, Akan Diadili AS Setelah 15 Tahun Tanpa Dakwaan di Guantanamo dan di Intisari dengan judul:Guantanamo, Begini Nasib Rekan Jemaah Islamiyahnya Pelaku Bom Bali I yang Lain: Pengadilan Negara Jatuhkan Vonis Hukuman Setelah Ia Buron Puluhan Tahun
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/2201_hambali.jpg)