Sadis Perlakuan Anak Bupati, Penghuni Kerangkeng Manusia Disetrum Dibikin Cacat, Polda Sumut Lambat?
Adanya tindak kekerasan yang juga diduga turut dilakukan oleh anak dari Terbit Rencana Peranginangin yakni Dewa Peranginangin (DW).
Dalam temuannya itu, LPSK mengungkap adanya praktik perbudakan yang dilakukan oleh Terbit Rencana kepada para anak kereng --sebutan korban yang berada di dalam kerangkeng--.
Bahkan kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, dari hasil perbudakan itu Terbit Rencana Peranginangin disinyalir telah mendapatkan keuntungan besar hingga lebih dari Rp177 Miliar atas penerapan perbudakan modern tersebut.
"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa di gaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000," kata Edwin dalam keterangannya, dikutip Jumat (11/3/2022).
Lebih lanjut, Edwin mengungkapkan, pihaknya menduga keras adanya praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat ini.
Sebab kata Edwin, berdasarkan informasi yang didapati pihaknya saat melakukan investigasi itu, dominan yang dimasukkan ke dalam kerangkeng tersebut merupakan mereka yang pecandu narkoba.
"Telah terjadi praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika," beber Edwin.
Bahkan ada konsekuensi yang akan dialami korban setelah masuk kerangkeng ini. Di mana mereka yang sudah masuk, kata Edwin akan sangat sulit untuk pulang kembali ke rumah.
Terlebih, kata Edwin, Terbit Rencana Peranginangin membentuk tim pemburu yang bertugas untuk mencari dan menjemput paksa para korban yang kabur.
"Tim pemburu terdiri dari anak buah TRP dan anak buah Dewa (anak TRP) serta oknum aparat. Dalam praktiknya, tim pemburu juga mengancam keluarga dari korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng," ucap Edwin.
Mengapa kasus ini dianggap berjalan lambat?
Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumatera Utara mengatakan polisi semestinya sudah memiliki alat bukti yang cukup, berdasarkan temuan di lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Tetapi, hingga hampir dua bulan sejak kerangkeng manusia itu pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka.
Padahal Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan yang menunjukkan bahwa "kekerasan, perbudakan, kerja paksa, hingga praktik perdagangan orang betul terjadi" di kerangkeng itu.
"Alat bukti juga sudah disita juga sama kepolisian, jadi kami merasa sebetulnya kepolisian sudah punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini," kata Adinda.
Kontras mengatakan dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambatnya penanganan kasus ini.