Sadis Perlakuan Anak Bupati, Penghuni Kerangkeng Manusia Disetrum Dibikin Cacat, Polda Sumut Lambat?
Adanya tindak kekerasan yang juga diduga turut dilakukan oleh anak dari Terbit Rencana Peranginangin yakni Dewa Peranginangin (DW).
"Pada banyak kasus yang Kontras tangani, ketika kasusnya melibatkan personil TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus itu," kata Adinda.
Dalam kasus ini, dia mendesak Polri transparan dalam mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.
"Jangan sampai itu jadi bahan pertanyaan besar, kenapa akhirnya dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang punya kuasa, dalam hal ini kasus kerangkeng Lahat, proses penetapan tersangkanya sangat lambat," ujar dia.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution juga mempertanyakan mengapa polisi belum menetapkan satu pun tersangka dan menyebut penanganan kasus ini "terkesan lambat".
Bahkan korban dan saksi yang melapor ke LPSK belum satu pun dimintai keterangan oleh polisi.
"Sampai sekarang proses hukum mereka belum jalan, jadi hak-hak [saksi[ belum semua kami penuhi, misalnya kalau mereka dipanggil dan dimintai keterangan kami dampingi mereka sampai persidangan, tapi sampai sekarang belum ada," ujar Maneger.
Seperti apa dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri?
Dalam hasil penyelidikan yang dirilis pada awal Maret lalu, Komnas HAM mengatakan ada beberapa anggota TNI-Polri di antara 19 orang yang diduga turut melakukan kekerasan di kerangkeng itu.
Selain itu, Komnas HAM menemukan "ada anggota Polri yang menyarankan agar warga setempat yang melakukan tindak kriminal ditempatkan di kerangkeng itu alih-alih ditangani oleh kepolisian".
Komnas HAM telah menyampaikan nama serta pangkat dari anggota TNI-Polri yang diduga terlibat itu kepada Polri maupun Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan indikasi keterlibatan mereka juga terlihat dari bagaimana para penegak hukum "jelas-jelas mengabaikan" praktik perbudakan dan kekerasan itu selama belasan tahun.
"Kenapa ada pengabaian, itu antara ikut menikmati, atau takut karena dia tahu ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi itu, jadi mereka cari aman."
"Kan dia (aparat) lihat sendiri kerangkeng itu, bahkan melakukan kekerasan di kerangkeng itu. Bagaimana aparat bisa datang rutin ke situ kalau dia enggak dapat sesuatu, kan enggak mungkin. Sekarang hanya perlu pembuktian lebih jauh," jelas Taufan kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/3).
Kasus perbudakan dan kekerasan ini, lanjut dia, juga menunjukkan adanya "kejahatan bisnis" yang lebih besar dilakukan oleh Bupati Terbit, yang jelas-jelas diketahui oleh aparat penegak hukum namun tak pernah ditindak.
Sebab, Bupati Terbit dia sebut sebagai "aktor oligarki lokal" sekaligus "ninja sawit", istilah lokal untuk mafia sawit, "yang memiliki jaringan kuat dengan aparat TNI-Polri".