DIAM-diam China Ingin Invasi Taiwan, Belajar dari Rusia Invasi Ukraina? Jangan Perang Dunia III

“China sedang mencoba untuk melihat dengan hati-hati pelajaran apa yang harus mereka ambil dari Ukraina tentang ambisi-ambisi mereka serta Taiwan," ka

Editor: Salomo Tarigan
Xinhua
Pasukan Militer China 

TRIBUN-MEDAN.com --Direktur CIA Bill Burns mengatakan, China sedang mempelajari invasi Rusia ke Ukraina.

Hasil dari pelajaran perang di Ukraina tersebut kemungkinan akan disesuaikan dengan rencana jangka panjang Beijing untuk menguasai Taiwan.

“China sedang mencoba untuk melihat dengan hati-hati pelajaran apa yang harus mereka ambil dari Ukraina tentang ambisi-ambisi mereka serta Taiwan," kata Burns dalam konferensi Financial Times, Sabtu (7/5/2022).

Burns menduga, Beijing terkejut oleh kinerja buruk pasukan militer Rusia serta perlawanan keras yang muncul dari seluruh elemen di Ukraina, sebagaimana dilansir AFP.

Baca juga: Rusia Didukung CSTO 6 Negara Siap Melawan NATO, Bagaimana dengan China dan Suriah?

“Saya pikir mereka telah dikejutkan oleh cara aliansi transatlantik bersatu untuk membebankan biaya ekonomi pada Rusia sebagai akibat dari agresi itu,” ujar Burns.

Dia menambahkan, China juga gelisah mengenai fakta yang muncul bahwa apa yang telah dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin justru membuat AS dan Eropa menjadi semakin dekat.

“Kesimpulan apa yang didapat dari semua itu yang masih menjadi tanda tanya,” papar Burns.

Dia menuturkan, Beijing sedang melakukan penilaian yang sangat hati-hati atas invasi Rusia ke Ukraina.

“Pada biaya dan konsekuensi dari setiap upaya untuk menggunakan kekuatan untuk mendapatkan kendali atas Taiwan,” ujar Burns.


Taiwan hidup di bawah ancaman invasi dari Beijing. China selalu menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang akan direbut kembali suatu hari nanti, dengan paksa jika perlu. China juga meningkatkan tekanan pada Taipei sejak Tsai Ing-wen terpilih sebagai Presiden Taiwan pada 2016.

Jangan Perang Dunia III

Bahaya, Pernyataan Rusia terkait risiko Perang Dunia III jadi sorotan.

China yang disebut sekutu Rusia pun langsung merespons dan meberi peringatan.

Baca juga: Terbongkar Rahasia Rossa saat Kediamannya Digerebek| Artis Terseret Kasus Penipuan Investasi DNA Pro

China mengatakan tidak seorang pun ingin melihat perang dunia ketiga, dan berharap pihak terkait dalam krisis Ukraina dapat mencegah konflik meningkat lebih lanjut.  

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin memperingatkan dampak yang lebih mahal di Eropa dan seluruh dunia, dan mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai resolusi damai sesegera mungkin.

“Dalam situasi saat ini, semua pihak harus, pertama dan terutama, mendukung dialog dan negosiasi untuk mencegah perluasan dan perpanjangan konflik,” katanya Wenbin saat berbicara pada konferensi pers regulernya pada Selasa (26/4/2022) dilansir dari Newsweek.

Komentar Kementerian Luar Negeri muncul setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berbicara secara terbuka tentang risiko "serius" Perang Dunia III, dalam sebuah wawancara yang ditayangkan Senin (25/4/2022).

Konflik dalam perang Rusia-Ukraina sejauh ini hanya melibatkan kedua negara, meskipun Ukraina menerima bantuan militer yang cukup besar dari negara lain, termasuk AS. Namun ada kekhawatiran bahwa konflik tersebut dapat meluas dan melibatkan masyarakat internasional.

Sebelumnya Lavrov mengambil bagian dalam sebuah wawancara dengan Channel One Rusia, di mana dia mengemukakan kemungkinan eskalasi perang Rusia-Ukraina menjadi konflik nuklir. Seminggu sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan India Today, dia bersikeras bahwa Rusia akan menggunakan "senjata konvensional saja" dalam konflik Ukraina.

Pernyataan Lavrov tentang konflik nuklir tampaknya muncul dari kemungkinan bahwa perang dapat menyebar ke luar perbatasan Ukraina, dan mengakibatkan kekuatan nuklir besar seperti AS terlibat secara militer.

Lavrov juga mengatakan selama wawancara Channel One bahwa baik Moskwa dan Washington harus berkomitmen lagi pada janji dari mantan pemimpin Rusia dan Amerika Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan bahwa "tidak ada pemenang dalam perang nuklir."

“Risikonya sangat signifikan (untuk perang dunia ketiga). Saya tidak ingin mereka digelembungkan secara artifisial,” kata Lavrov. "Bahayanya serius, nyata. Itu tidak bisa diremehkan."

Rusia bukan satu-satunya pemain kunci dalam konflik Ukraina yang telah berbicara tentang kemungkinan perang dunia ketiga. Di CNN bulan lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memperingatkan bahwa mungkin ada perang dunia ketiga jika pembicaraan damai dengan Rusia tidak berhasil.

Presiden Joe Biden mengatakan dalam sambutannya bulan lalu bahwa AS "tidak akan berperang melawan Rusia di Ukraina" karena konfrontasi langsung antara NATO dan Rusia akan menjadi "Perang Dunia III, sesuatu yang harus kita cegah."

Baca juga: Terbongkar Rahasia Rossa saat Kediamannya Digerebek| Artis Terseret Kasus Penipuan Investasi DNA Pro

 Rusia Debat PBB soal Penggunaan Senjata Nuklir 

Kecamuk konflik antara Rusia dengan Ukraina masih berlangsung.

Invasi Rusia berlangsung sejak 24 Februari lalu.

Rusia pun semakin berani membenarkan tindakan invasinya ke wilayah Ukraina.

Teranyar, Rusia terlibat debat dengan PBB terkait penggunaan senjata nuklir.

Baca juga: BABAK BARU Kasus Mafia Minyak Goreng, Dua Pejabat Kemendag Diperiksa Polisi

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov (financial times)

Sekretaris Jenderal Antonio Guterres melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov di Moskow, Selasa (26/4/2022).

Keduanya membahas mengenai kemungkinan perdamaian antara Rusia dan Ukraina yang berkonflik.

Juga mengenai negosiasi yang terhenti serta ketidakpuasan Rusia kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Adapun, pertemuan itu dilakukan sebelum Guterres nantinya berunding langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Baca juga: Alasan Marko Simic Hengkang dari Persija Jakarta, Singgung Gaji tak Dibayar, Pemain Persib Prihatin

Baca juga: TERBONGKAR Pemicu Gagalnya Rusia Lumat Ukraina dalam Sekejap, Padahal Hanya Satu Faktor

Pertemuan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres  dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow, Rusia, pada Selasa (26/4/2022).
Pertemuan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow, Rusia, pada Selasa (26/4/2022). (AFP/ Maxim Shipenkov)

 

Dilansir Sky News, Lavrov menyatakan invasi ke Ukraina adalah seruan peringatan yang berbahaya bagi PBB.

Ia juga menuduh PBB berusaha mencoret aturan dasar dari piagamnya sendiri.

"Organisasi ini dibuat atas dasar persamaan kedaulatan negara," tambah Lavrov dikutip TribunWow.com, Rabu (27/4/2022).

Guterres menjawab bahwa pihaknya memahami Rusia memiliki sejumlah keluhan mengenai hubungan dengan negara tetangganya.

Namun ia mengingatkan kesalahan Rusia yang jelas-jelas melakukan penyerangan ke Ukraina.

Baca juga: Alasan Marko Simic Hengkang dari Persija Jakarta, Singgung Gaji tak Dibayar, Pemain Persib Prihatin


"Ada satu hal yang benar dan jelas dan tidak ada argumen yang dapat berubah," kata Guterres.

"Tidak ada pasukan Ukraina di wilayah Federasi Rusia, tetapi pasukan Rusia berada di wilayah Ukraina."

Dia juga membantah tuduhan Lavrov tentang pelanggaran piagam PBB.

Sebelumnya, Guterres menekankan prioritasnya adalah meminimalkan krisis kemanusiaan di Ukraina dan menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin.

Selama komentar awal, Guterres mengatakan ada interpretasi berbeda tentang apa yang terjadi di Ukraina.

"Tapi itu tidak membatasi kemungkinan untuk melakukan dialog yang sangat serius untuk meminimalkan penderitaan manusia," tambahnya.

Ia mendesak diadakannya koridor kemanusiaan di Mariupol yang diinisiasi melalui kerjasama PBB dan Komite Internasional Palang Merah, bersama dengan pasukan Rusia dan Ukraina.

Selain itu, PBB menyatakan siap memasok logistik dan sumber daya untuk warga yang terjebak.

Terkat desakan untuk perundingan damai, Lavrov mengatakan Rusia akan mempertimbangkan.

Namun, ia menolak adanya mediator atau upaya mediasi dengan Ukraina.

Pasalnya, Ukraina masih belum memberikan jawaban mengenai proposal yang diajukan oleh Rusia.

"Jika ada memiliki ide-ide menarik kami siap untuk mendengarkan mereka," kata Lavrov dilansir TASS, Selasa (26/4/2022).

"Para perunding Ukraina tidak berbicara tentang mediasi seperti pada tahap pembicaraan sebelumnya. Saya pikir terlalu dini untuk berbicara tentang mediator pada tahap ini."

"Kami ingin mendapatkan jawaban atas versi terakhir dari draf dokumen, yang kami serahkan 10-12 hari yang lalu, dan yang tidak dilaporkan oleh negosiator Ukraina kepada presiden mereka."

Namun, pembicaraan dengan Ukraina tentang mengizinkan warga sipil meninggalkan Mariupol tidak mungkin dilanjutkan.

Lavrov mengatakan itu adalah gerakan teatrikal dari Ukraina yang mungkin menginginkan adegan lain yang menyayat hati seperti halnya di Bucha.

"Jika kita berbicara tentang sikap serius untuk bekerja sebagai bagian dari pembicaraan, mereka lebih baik menjawab proposal kita sesegera mungkin," tegas Lavrov.

"Kami mendukung solusi yang dinegosiasikan. Anda tahu bahwa segera setelah Zelensky mengusulkan pembicaraan pada awal Maret, kami setuju."

"Tetapi cara delegasi Ukraina berperilaku dalam pembicaraan, cara Zelensky sendiri bertingkah, menolak untuk mengkonfirmasi bahwa mereka menerima proposal baru kami seminggu lalu, tentu saja, mengecewakan."

"Mereka tampaknya tidak terlalu tertarik melakukan perundingan (damai)," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang TribunWow.com/ Kompas.com

Baca juga: Syarat Penting Disampaikan Celine Evangelista untuk Marshel Widianto Calon Kekasih Barunya

Baca juga: Rusia Didukung CSTO 6 Negara Siap Melawan NATO, Bagaimana dengan China dan Suriah?

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved