Berita Samosir Terkini

SETELAH Dihina Wakapolres Samosir, Pastor Sabat Nababan Tuliskan Buah Permenungannya, Begini Isinya

Peristiwa yang melecehkan imamat yang Engkau anugerahkan kepadaku. Ajarilah aku agar tetap memiliki keluasan hati, dan tidak terbakar oleh sakit hati.

Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Waka Polres Samosir Kompol TM Tobing dan Pastor Sabat Nababan Pastor Paroki St Antonio Claret Desa Tomok Kecamatan Siamnindo Kabupaten Samosir, bercengkerama dan berdamai setelah sempat terjadi kesalah pahaman dan akhirnya berakhir dengan damai di kediaman pastor Sabaty Nababan di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir, Sabtu (18/6/2022). 

Datang juga petugas lain yang ingin mengetahui duduk persoalannya dan setelah mengetahui persoalannya, dia langsung mengambil kunci motorku dari tangan petugas yang telah mencabutnya. Dia dengan ramah berkata, “sudahlah pastor, berangkatlah” dia sambil menyodorkan kunci motor kepadaku. Saya masih mengejar petugas yang mencabut kunci motorku sambil berkata,”apa maksud bapa menyebut saya pastor gadungan? Diapun tidak bisa menjawab, mungkin karena sudah melihat alba yang saya kenakan dan suara banyak orang yang berusaha membela pastornya.

Petugas itu akhirnya memasukkan kunci motor ke tempatnya, dan tetap berkata “sudahlah pastor, berangkatlah”

Tanpa menghiraukan orang-orang di sekeliling, kembaali kutunggangi sepeda motorku, menghidupkannya dan ternyata di sekitar situ melintas seorang pastor yang saya kenal mengenakan kaos oblong. Saya pun mengeraskan suara dengan berkata” ini baru pastor gadungan karena tidak mengenakan pakaian pastor, tetapi dia adalah pastor benaran dari Keuskupan Pangkal Pinang” masih sempat kami berjabat tangan, tapi motorku sudah kupacu lagi melaju menuju tempat umat yang sakit.

Di atas sepeda motor pikiranku bergumul membayangkan peristiwa yang baru berlalu saya tidak menghalangi jalan mereka, malah jalan saya yang mereka halangi karena rombongan orang penting sedang lewat. Apakah saya salah mencicil perjalanan agar semakin cepat sampai ke tujuan sedangkan jalanan masih memungkinkan untuk dijalani? Terngiang doa Bapa Kami yang adalah bacaan Injil hari ini dalam benakku dan saya diperintahkan Tuhan untuk mengampuni orang yang bersalah kepadaku, bahkan menghinaku dengan perkataan “pastor gadungan”.

Sungguh, rasa jengkel, kecewa, marah timbul dalam hatiku. Namun kata “ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami” semakin menguat. Saya harus mengampuni. Maka rasa kecewa, marah bahkan ingin membalaskan ketidak baikan kepadanya dapat saya redakan dan dengan tenang memulai perayaan Ekaristi.

Sesampainya di tempat umat, setelah bertegur sapa seperlunya sambil mempersiapkan peralatan misa, pengalaman di jalan saya ceritakan kepada umat. Dengan berbagai tanggapan mereka sampaikan pada umumnya membela pastornya yang nekat menerobos halangan di jalan untuk melayani umatnya.

Setelah perayaan ekaristi dan perminyakan suci selesai, sudah menanti lagi janji untuk melayankan Sakramen Pengurapan Orang Sakit ke stasi lain. Selesai menimba kekuatan melalui hidangan makan siang yang disediakan oleh keluarga, kembali memacu sepeda motor menuju pelayanan berikut, melintasi jalanan yang penuh bebatuan lepas. Tangan Tuhan sungguh hadir menuntun sehingga jalanan yang rusak terlalui dengan aman sampai di tempat perminyakan suci berikut.

Di rumah umat kusempatkan mengintip HP. Ternyata ada panggilan tak terjawab dari umat yang menyaksikan peristiwa di jalanan. Ketika saya telepon menanyakan keperluannya, ternyata ingin bertemu dan saya janjikan setelah selesai perminyakan dari Stasi Sipinggan Lontung. Setelah acara perminyakan selesai, masih sempat menikmati segelas teh manis dan lappet.

Saya pamitan kepada umat untuk kembali ke paroki. Umat yang menelepon sudah menunggu bersama seorang wartawan. Pembicaraan dimulai untuk confirmasi bagaimana kronologi kejadiannya. Saya jawab dengan sebenarnya dan ingin diberitakan entah dengan seperti apa isi beritanya.

Saya menyampaikan bahwa untuk saya tidak ada persoalan lagi. Namun bagi masyarakat dan umat yang menyaksikan kejadiaan itu pasti menjadi persoalan. Setelah umat itu pamit bersama wartawan, kembali saya beraktivitas bersama beberapa orang OMK yang akan mencacah eceng gondok yang mereka angkat dari pinggiran Danau Toba kompleks pastoran.

Ditengah asiknya mencacah eceng gondok, satu unit mobil petugas mampir di halaman pastoran. Saya tidak terlalu meperdulikan siapa yang dating, saya tetap melanjutkan kegiatan mencacah eceng gondong.

Ternyata dari mobil itu keluat 4 orang dengan pakain dinas dan salah satunya adalah pertugas yang mencabut kunci motorku tadi. Petugas marga purba berkata “pastor, bapak ini ingin bicara pribadi mengenai kejadian tadi” sayapun tidak terlalu antusias menjawabnya, saya malah menawarkan minum kopi dulu.

Kopipun saya siapkan untuk dinikmati bersama. Saya tuangkan ke cangkir dan menyodorkan kepada mereka untuk dinikmati. Pembicaraan mengalir dan cair, namun bapak yang ingin bicara pribadi itu masih kaku dan banyak diam.

Masih mencoba mencairkan situasi dan menenangkan diri, dua orang wartawan dating lagi, katanya disuruh umat untuk menjumpai saya. Kepada mereka juga saya tawarkan minum kopi dulu. Mereka duduk di teras pastoran sambil menikmati kopi rostingan sendiri, dan mereka mengungkapkan aneka kenikmatan yang dirasakan setelah menyeruput kopi.

Bapak yang mencabut kunci motorku makin tidak tenang, melalui marga purba, tetap meminta waktu untuk bicara pribadi. Akhirnya kami menjauh dari teras pastoran, dan mengambil tempat sepi di kantor paroki untuk berbicara. Pak purba memulai pembicaraan, bahwa maksud kedatangan mereka adalah ingin menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa yang terjadi di jalanan.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved