Berita Sumut
TANGKAPAN Ikan di Laut Menurun, Harga BBM Naik dan Langka, Ini Jeritan Nelayan di Sergai
Di tengah ketidakpastian pendapat karena berkurangnya hasil tangkapan, nelayan tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai kini dihadapkan pada persoalan
Penulis: Anugrah Nasution |
TRIBUN-MEDAN.com, SERGAI - Di tengah ketidakpastian pendapat karena berkurangnya hasil tangkapan, nelayan tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai kini dihadapkan pada persoalan naiknya harga BBM. Selain naik, nelayan juga kesulitan mendapatkan BBM subsidi jenis solar dan pertalite.
Kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah Indonesia membuat masyarakat dan nelayan makin hidup serba terbatas.
Hal itu disampaikan oleh Damis nelayan tradisional yang ada di Pangkalan Nelayan Pantai Kerembok, Desa Bogak Besar, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai.
"Kami nelayan tradisional ini sangat keberatan, karena saat ya tidak sesuailah, sudah hasil tangkapan berkurang ternyata BBM naik terus," kata Damis kepada Tribun, Rabu (7/9/2022).
Kenaikan harga BBM yang diberlakukan pemerintah beberapa waktu lalu menurut Damis telah dikeluhkan semua nelayan yang ada di sana.
Tak hanya soal harga, nelayan mengaku kesulitan untuk mendapatkan BBM bersubsidi yang harusnya bisa diakses nelayan tradisional seperti mereka.
"Ini BBM sudah naik itu sudah sangat menyulitkan, belum lagi sulit sekali mendapatkan BBM bersubsidi. Solar kami dapatnya payah, bensin apalagi kek gini," sambungnya.
Damis menyebutkan, setiap hari nelayan tradisional sepertinya harus membeli BBM eceran atau non subsidi dengan harga yang lebih mahal.
Sebab untuk mendapat BBM subsidi nelayan harus mengurus surat dari Desa dan Dinas Kelautan dan Perikanan.
"Kalau kita beli ya dari eceran, harganya lebih mahal kalau solar Rp 10 ribu kalau pertalite Rp 12 ribu perliternya. Kalau mau dari SPBU sulit karana harus urus dari Desa dari Dinas lainya," sambung Damis.
Tak jarang beberapa nelayan tradisional pun kemudian mencari profesi lainya seperti menjadi tukang bangunan atau merantau mencari peruntungan lainya.
Rahmat nelayan lainya mengatakan, untuk melaut biasanya dia membutuhkan 3 sampai 4 liter pertalite. Dengan kenaikan harga BBM saat ini dia pun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
"Sekali melaut itu untuk bensin saja butuh 3 sampai 4 liter tidak kemana itu Rp 50 ribu. Belum biaya makan dan rokok. Sementara itu kita dapat hasil laut sekarang kurang paling bisa dapat Rp 70 ribu. Kan sudah rugi kita ini apalagi yang mau ke rumah," tuturnya.
Karenanya, dia pun berharap agar pemerintah membuka mata terhadap nasib nelayan seperti mereka. Dia berharap pemerintah dapat menjamin ketersediaan BBM subsidi untuk para nelayan.
"Kita mau ya pemerintah daerah jangan hanya diam, bantu juga nelayan bagaimana kami dapat BBM tidak kesulitan agar kami tidak rugi terus," ujarnya.
Selain itu banyaknya penggunaan pukat trawl membuat hasil tangkapan nelayan tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai turun drastis.
Padahal penggunaan pukat trawl telah dilarang oleh pemerintah karena membuat ekosistem biota laut rusak.
Damis menyebut, penggunaan pukat banyak dilakukan para nelayan yang datang dari luar Kabupaten Sergai.
"Pukat trawl ini banyak sekali ditemukan di sini. Mereka pakai kapal yang lebih besar dan menebar jaring bersama sama kapal lainya. Itu banyaknya nelayan yang datang dari luar Sergai seperti dari Kecamatan Pagurawan di Kabupaten Batubara," sebut Damis.
(cr17/tribun-medan.com)