Berita Sumut

Buruh Minta Kenaikan Upah Minimum 2023 Sebesar 13 Persen, Ini Kata Ekonom Sumut

Kemnaker resmi menaikkan upah minimum (UM) 2023 maksimal 10 persen. Sementara sebelumnya buruh meminta pemerintah UM naik 13 persen.

HO/Tribun Medan
ILUSTRASI. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) resmi menaikkan upah minimum (UM) 2023 maksimal 10 persen. Sementara sebelumnya buruh meminta pemerintah UM naik 13 persen. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) resmi menaikkan upah minimum (UM) 2023 maksimal 10 persen. Sementara sebelumnya buruh meminta pemerintah UM naik 13 persen.

Permintaan buruh itu dikatakan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh Said Iqbal, atas dasar mempertimbangkan kondisi Indonesia, termasuk laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Pemprov Sumut Akan Bahas Kenaikan UMP Tahun 2023, Gubernur: Kemungkinan Naik 2 Persen

Ia memperkirakan inflasi akibat kenaikan harga BBM mencapai 6,5 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 4-5 persen. Perhitungan ini menjadi dasar tuntutan buruh agar upah naik 13 persen.

"Kalau inflasi adalah 6,5 persen ditambah pertumbuhan ekonomi 4 persen, maka totalnya adalah 10,5 persen. Itulah kemudian Partai Buruh dan KSPI membulatkan jadi 13 persen," katanya beberapa waktu lalu, dikutip lagi Senin (21/11/2022).

Kenaikan BBM berimbas pada daya beli buruh sekitar 30 persen. Oleh karena itu, Said Iqbal menilai kenaikan upah minimum tidak bisa pakai PP Nomor 36 Tahun 2021 karena kenaikan upah hanya berkisar 2-4 persen.

Dalam hal ini, menurut Ekonom Sumut Gunawan Benjamin mengatakan upaya kaum buru yang meminta upah dinaikkan dikisaran angka 13 persen, kenaikan tersebut pada dasarnya masuk akal.

Dikatakannya, terlebih jika rumusannya adalah inflasi plus pertumbuhan ekonomi. Karena inflasi itu akan menggerus daya beli jika tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang setidaknya sama besar dengan laju inflasi.

"Kalau inflasi di tanah air saat ini 5.71 persen YoY, maka kenaikan upah buruh sebesar inflasi merupakan angka yang hanya cukup mengkompensasi kenaikan biaya hidup," ujarnya kepada Tribun Medan, Senin (21/11/2022).

Lanjutnya, namun jika ditambah dengan pertumbuhan ekonomi, maka buruh akan mendapatkan uang lebih yang bisa diperuntukan untuk kebutuhan lain termasuk investasi.

Jadi dari sisi buruh tentunya sulit untuk menerima kenaikan upah yang sama dengan inflasi apalagi kalau angkanya lebih kecil dari inflasi.

Terkait hal ini, Gunawan juga melihat dari sisi pelaku usahanya, meskipun kondisi masing masing pelaku usaha berbeda beda tetapi saat mencoba melihat beberapa indikator utama yang seragam, seperti perlambatan ekonomi global yang memicu terjadinya penurunan konsumsi, hingga Inflasi yang menyeret kenaikan biaya input produksi.

Nah untuk inflasi sendiri pemicunya ada banyak, mulai dari kenaikan harga BBM/gas/listrik, biaya jasa, harga pupuk, harga bahan pangan, pelemahan nilai tukar Rupiah, kenaikan BI Rate (bunga pinjaman), gangguan supply chain karena perang hingga kenaikan harga komoditas tertentu.

"Belum berhenti disitu, pelaku usaha juga dihadapkan dengan ancaman resesi tahun depan yang juga diamini oleh banyak bank sentral di dunia, atau Negara lain yang sudah masuk dalam jurang resesi terlebih dahulu. Ada ancaman nyata yang akan menghantam dunia usaha nantinya," kata Gunawan.

"Dan dalam situasi seperti ini, yang saya kuatirkan dari sisi pelaku usaha adalah bersikap pasrah seperti jangankan menaikkan upah, tidak mem-PHK atau merumahkan karyawannya saja sudah bersyukur sekali," ungkapnya.

Sambung Gunawan, banyak industri manufaktur yang kehilangan penjualan (ekspor) dan merumahkan karyawannya. Ia sendiripun juga menemukan fenomena tersebut.

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved