Brigadir J Ditembak Mati

PAKAR: Ahli yang Dihadirkan di Persidangan Ferdy Sambo-Putri Candrawathi Mengaburkan Pasal 340 KUHP

PAKAR: Ahli yang Dihadirkan di Persidangan Ferdy Sambo-Putri Candrawathi Mengaburkan Pasal 340 KUHP untuk Kembali ke Pasal 380 KUHP.

Editor: AbdiTumanggor
kompas tv
Ahli Psikologi Forensik Reni Kusumowardhani mengatakan, Putri Candrawathi diduga keras mengalami kekerasan seksual di Magelang. 

TRIBUN-MEDAN.COM - Ahli Psikologi di Persidangan Benarkan Ferdy Sambo Melakukan Tindak Pidana (Pembunuhan Brigadir J) karena Terkait Harga Diri.

Ahli Psikologi Forensik Reni Kusumowardhani mengatakan, Putri Candrawathi diduga keras mengalami kekerasan seksual.

Hal itu menurut dari keterangan Putri Candrawathi terhadap dirinya dan timnya.

Timnya pun melakukan penelusuran dan penyelidikan mulai dari karakter Yosua hingga Putri Candrawathi.

Menurut Reni, keterangan Putri Candrawathi berkesesuaian, mulai dari Magelang, rumah Saguling dan Duren Tiga.

Makan, dengan kejadian yang dialami Putri Candrawathi tersebut mengakibatkan Ferdy Sambo marah besar.

Reni juga mengatakan, Putri Candrawathi memiliki kepribadian yang bisa mengontrol diri. Hingga di waktu yang tepat Putri bisa menceritakan yang dialami dirinya terhadap pelindungnya, Ferdy Sambo.

Reni pun menilai Ferdy Sambo memiliki potensi melakukan tindak pidana jika hal itu terkait dengan harga diri dan martabat.

Hal tersebut disampaikan Ahli Psikologi Forensik Reni Kusumowardhani dalam keterangannya di dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).

“Kalau potensi melakukan tindak pidana, semuanya ini tergolong di dalam situasi kepribadian yang normal-normal saja sebetulnya,” ucap Reni Kusumowardhani.

“Namun ada potensi melakukan agresi itu pada beberapa, seperti di sini Pak Ferdy Sambo yang memang emosinya mudah sekali naik terutama jika itu menyangkut dengan harga diri, martabat dan sesuatu yang menurut budayanya harus dipertahankan, ini memang menjadi risiko untuk bisa melakukan agresi,” kata Reni Kusumowardhani.

Baca juga: Aktivis Perempuan Ini Sebut Motif Pembunuhan Yosua, Bukan Motif Pelecehan, Tapi Dokumen Rahasia Ini

Selain Ferdy Sambo, Reni Kusumowardhani menambahkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu juga berisiko untuk melakukan tindak pidana karena kepatuhannya.

“Pada Richard Eliezer juga berisiko karena kepatuhannya yang bisa mengakibatkan perilaku yang destruktif, terutama jika dia dihadapkan pada figur otoritas yang lebih tinggi posisinya dari dirinya itu,” ucap Reni Kusumowardhani.

“Kurang dapat memberikan satu perilaku yang asertif, berbeda halnya dengan Pak Ricky. Pak Ricky ini lebih stabil secara emosional,” kata Reni Kusumowardhani.

Sementara untuk Kuat Ma’ruf, sambung Reni Kusumowardhani, masuk dalam kategori orang yang sederhana dan menginginkan hidup tenang.

“Pak Kuat ini orang yang sebetulnya sederhana, orang yang maunya adem ayem, valuenya value Jawa, jadi tipologinya bukan orang yang berpotensi kuat melakukan agresi,” ujar Reni Kusumowardhani.

Bahkan, lanjut Reni Kusumowardhani, pada saat Kuat Maruf dihadapkan dengan sesuatu hal yang harus dipertahankan.

“Tapi pada saat dia harus mempertahankan sesuatu, itu ya semua orang akan bisa ya melakukan agresi, tapi tidak dijumpai kharakteristik khas dari Pak Kuat dan Bu PC ya untuk melakukan suatu tindakan yang agresif,” kata Reni Kusumowardhani.

Soal agresi untuk melakukan tindak pidana, Reni Kusumowardhani menambahkan potensi itu ada pada Ferdy Sambo dan Richard Eliezer karena memang berlatar polisi dan juga ada senjata yang melekat kepada keduanya.

“Karena dia punya alat yang melekat, yang dipegang dan ada keseharian. Nah pada Pak Ferdy Sambo terutama jika memang ada sesuatu yang memicu emosinya,” kata Reni Kusumowardhani.

Dalam kesaksiannya, Reni Kusumowardhani hafal dan lancar menyebut nama-nama para terdakwa.

Reni mengatakan, setelah Putri Candrawathi mengalami pemerkosaan, dia menelepon Ricky sambil menangis. Lalu kesaksian Susi, melihat Putri menangis. Kemudian, keterangan Kuat Maruf, melihat Yosua mengendap-ngendap.

Reni mengaku, dia diperiksa dalam BAP sebagai saksi ahli psikologi oleh Polda Metro Jaya dan diteruskan ke Mabes Polri.

Baca juga: Terungkap Fakta Baru Dugaan Motif Pembunuhan Brigadir Yosua, Aktivis: Membunuh untuk Membungkam

Selengkapnya:

Ahli Psikologi Forensik di Luar Ahli yang Dihadirkan di Persidangan Sebut Diduga Tak Ada Pelecehan Seksual Terhadap Putri

Sementara, Psikolog forensik Reza Indragiri menduga Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo tidak mengalami pelecehan seksual.

Menurutnya, kemungkinan ada tindakan malingering di balik pengakuan Putri sebagai korban.

Hal inilah yang membuat Komnas Ham dan Komnas Perempuan meyakini dugaan kuat pelecehan seksual.

"Sebetulnya saya dan Komnas HAM, Komnas Perempuan, punya kesamaan. Yakni sama-sama berspekulasi, bedanya saya berspekulasi bahwa kejadian pelecehan seksual itu tidak ada," terangnya beberapa waktu lalu.

Menurut Reza, jika Putri benar mengalami pelecehan seksual seharusnya ia lebih terbuka pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) daripada Komnas Perempuan. Sebab, LPSK bisa memberikan perlindungan yang lebih kuat.

"Orang yang mengaku dijahati secara seksual, dan mengalami penderitaan, tentu ingin memperoleh perlindungan. LPSK-lah lembaga perlindungan. Tapi kok Putri Candrawathi malah tidak kooperatif? Ini sakit betulan atau cuma pura-pura sakit?" katanya.

Karena hal tersebut, muncul lah dugaan malingering, istilah yang diartikan saat seseorang berpura-pura sakit atau melebih-lebihkan gejala medis yang dialami, baik pada fisik maupun psikis.

Dikutip dari Medical News Today, ini dilakukan untuk menghindari tanggung jawab, seperti pengadilan hukum.

"Dia juga bisa jadikan pernyataan Komnas sebagai bahan membela diri di persidangan nanti. Termasuk bahkan membela diri dengan harapan bebas murni," klaim dia.

Mengaburkan Pasal 340 

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai hal yang akan dijelaskan oleh ahli adalah laporan hasil pemeriksaan psikologi forensik.

Reza memperkirakan inti dari laporan tersebut tidak secara spesifik mengulas terkait pembunuhan berencana, tapi membahas soal dugaan perkosaan.

Menurutnya dalam sidang nanti akan ada sejumlah pertanyaan yang berbelok dari dakwaan Pasal 340 ke seluk beluk dugaan perkosaan yang dilakukan Brigarid J kepada Putri Candrawathi.

Semisal untuk memastikan pihak yang mengeklaim korban perkosaan sungguh-sungguh mengalami trauma dan guncangan jiwa atau tidak. 

"Atau jangan-jangan pura-pura, ini yang pertama. Andaikan hakim teryakinkan trauma atau guncangan jiwa sungguh-sungguh ada, persoalan kedua yang harus dijawab apakah trauma itu guncangan jiwa itu semata-mata disebabkan kemesraan atau dipengaruhi hal lain," ujar Reza di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (20/12/2022).

Reza menambahkan jika benar ada trauma yang disebabkan oleh perkosaan, maka persoalan lainnya adalah siapa pelakunya.

"Di sini akan ada isu yang sensitif," ujar Reza.

Terkit dengan hasil poligraf Putri Candrawathi yang mengindikasikan ada kebohongan terkait perkosaan, Reza menilai hasil poligraf selayaknya dikesampingkan oleh hakim karena alat tersebut haruslah menakar ada kesenjangan pernyataan dengan kenyataan.

Poligraf tidak menangkap kenyataan, tapi menganalisis reaksi psikologi manusia ketika dihadapkan dengan serangkaian pernyataan. 

"Hasil poligraf itu tidak semata-mata tentang kebohongan, ada kecemasan, kesedihan sedang sakit yang bisa mempengaruhi grafik reaksi psikologi terperiksa," ujar Reza.

(*/tribun-medan.com/kompas tv)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved