Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Dorong Revisi UU Peradilan Militer
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Pemerintah Indonesia untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Pemerintah Indonesia untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Koalisi juga mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk segera merealisasikan revisi tersebut.
Dimas Bagus Arya dari KontraS mengatakan UU 31/1997 sudah tidak relevan pascalahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan di sisi lain UU 31/1997 juga memiliki permasalahan norma dan penerapannya.
"Wacana revisi ini kembali muncul tatkala TNI mempermasalahkan OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) Letkol Afri Budi Cahyanto," katanya, Senin (7/8/2023).
Atas penetapan tersebut, sambungnya, pihak TNI mengatakan jika KPK telah menyalahi aturan. Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Agung Handoko mengatakan bahwa pihak yang berwenang untuk menetapkan anggota TNI aktif adalah polisi militer, bukan penyidik KPK.
Namun demikian atas tekanan tersebut, KPK justru meminta maaf dan menyerahkan kasus ini kepada Puspom TNI dengan alasan kedua orang tersebut merupakan anggota TNI aktif dan berada di bawah yurisdiksi peradilan militer.
Dalih bahwa anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana berada di bawah yurisdiksi peradilan militer menunjukan adanya eksklusivitas TNI dalam sistem peradilan di Indonesia yang justru cenderung memperkuat sentimen kekebalan hukum di institusi militer.
"Bila ditelisik lebih jauh, pernyataan tersebut merupakan kekeliruan dalam pengimplementasian UU 31/1997. Mengacu pada TAP MPR Nomor VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 3 ayat (4) telah diatur secara jelas bahwa “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum," terangnya.
Ketentuan ini kembali diperkuat dalam Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) UU 34/2004. Pasal tersebut seyogyanya menjadi sebuah landasan dalam melaksanakan prinsip perlakuan yang sama dan setara di depan hukum.
Faktanya, pelaksanaan agar anggota TNI tunduk kepada peradilan umum sangatlah sulit.
Hal tersebut disebabkan oleh ketentuan peralihan dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU 34/2004.
Dalam ketentuan Pasal ini menerangkan bahwa penerapan Pasal 65 baru dapat dilaksanakan jika peraturan mengenai Peradilan Militer yang baru diberlakukan.
Sehingga, sebelum dibentuknya aturan mengenai undang-undang peradilan militer yang baru, semua harus tunduk pada ketentuan UU 31/1997.
"Lebih jauh, kami menilai UU 31/1997 harus segera direvisi mengingat banyaknya inkonsistensi dalam penerapannya. Jika melihat konsideran UU 31/1997 disebutkan beberapa peraturan yang dijadikan dasar UU ini. Namun, peraturan yang dijadikan sebagai dasar pembentukan tersebut sudah tidak berlaku atau telah diubah dengan undang-undang baru," ujarnya.
Sebagai contoh, UUD 1945 sudah diamandemen sebanyak 4 kali, lalu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sudah tidak berlaku digantikan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU 31/1997 juga masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang sudah tidak berlaku dan digantikan oleh UU 34/2004.
Sedangkan Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indonesia menilai bahwa UU 31/1997 ini inkonsisten dengan peraturan perundang-undangan saat ini.
Pasal 25 ayat (4) UU 48/2009, yang mengatakan bahwa “Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Merujuk pada Pasal ini, katanya, peradilan militer seharusnya hanya mengadili tindak pidana yang dilakukan berkaitan dengan kegiatan militer, bukan tindak pidana umum dalam KUHP.
"Lebih jauh bila melihat dari hukum internasional hak asasi manusia, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 2 Kovenan ini mewajibkan setiap negara pihak seperti Indonesia untuk tidak menjalankan suatu peradilan khusus dengan hukum acara tersendiri yang dalam prakteknya membeda-bedakan proses hukum yang dijalani oleh warga sipil dan anggota militer," terangnya.
Selain itu, katanya, dalam praktik di tingkat nasional, peradilan militer kerapkali hanya menjadi panggung sandiwara serta melanggengkan praktik-praktik impunitas dengan proses kasus yang banyak pelakunya tidak dihukum atau divonis ringan.
| Brimob Polda Sumut Gelar Patroli Dialogis Serentak, Perkuat Kepercayaan Masyarakat |
|
|---|
| Bhabinkamtibmas Polres Sibolga Gelar Patroli dan Pembinaan Satkamling di Kelurahan Pancuran Gerobak |
|
|---|
| Dukung Program 3 Juta Rumah, Daerah Diminta Percepat Izin PBG |
|
|---|
| Kadis PMPTSP Sumut akan Sosialisasikan Penghapusan Jasa Konsultan Rumah Subsidi untuk MBR |
|
|---|
| Tokoh Agama Deliserdang Beri Apresiasi terhadap Kinerja Kapolda Sumut Menjaga Sitkamtibmas |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.