Berita Viral

Polisi Paksa Warga Rempang Telanjang Dada saat Diamankan Usai Demo, Pengamat : Pelecehan!

Polisi paksa warga Rempang telanjang dada saat diamankan usai demo. Padahal tindakan itu menimbulkan traumatis pada demonstran. Kini, aksi polisi melu

KOLASE/TRIBUN MEDAN
Polisi paksa warga Rempang telanjang dada saat diamankan usai demo (kiri) dan Warga Pulau Rempang bernama Sarah (kanan) 

TRIBUN-MEDAN.COM – Polisi paksa warga Rempang telanjang dada saat diamankan usai demo.

Adapun tindakan polisi yang memaksa demonstran yang merupakan warga Rempang ini menjadi sorotan publik.

Dimana tindakan polisi yang memaksa demonstran melepaskan pakaian atau telanjang dada merupakan pelecehan.

Hal ini juga disorot oleh pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel.

Ia mengkritik tindakan polisi yang memaksa demonstran melepaskan pakaian mereka saat diamankan.

Reza menilai tindakan polisi tersebut seolah-olah menjadi kelaziman yang sah-sah saja.

Padahal, tindakan itu menimbulkan traumatis pada demonstran.

“Melucuti baju warga dapat berefek traumatis,” ujarnya, Kamis (21/9/2023).

GERAM! Emak-emak Sekatmat Menteri Bahlil yang Pergi Sebelum Dialog dengan Warga Rempang
GERAM! Emak-emak Sekatmat Menteri Bahlil yang Pergi Sebelum Dialog dengan Warga Rempang (Tribun Medan)

Adapun aksi melucuti pakaian demonstran ini menjadi viral di media sosial saat aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang.

Saat itu, muncul sosok Abang Long yang menolak aparat melucuti pakaiannya.

Reza mengamati video viral tersebut yang memperlihatkan para peserta unjuk rasa di Rempang tidak mengenakan baju.

Hanya Bang Long yang bersikukuh melawan, tidak membiarkan aparat melucuti bajunya.

Kejadian itu, kata Reza, memunculkan tanda tanya, apa sebetulnya yang polisi tuju ketika memaksa warga yang melakukan protes tidak memakai baju.

Baca juga: Berapi-api! Nama Luhut Binsar Panjaitan Disebut Kafir saat Aksi 209 PA 212 Demo Bela Rempang

Baca juga: Jadi Korban Proyek Rempang Eco City, Inilah Rincian Ganti Rugi Pemerintah untuk Warga Pulau Rempang

“Alasan umum yang terjadi, mungkin karena warga diduga menyembunyikan barang berbahaya, membawa senjata atau menyimpan barang bukti kejahatan di balik baju mereka,” ujar Reza.

Namun, lanjut Reza, meski itu yang menjadi alasan, polisi hendaknya paham bahwa sebagaimana praktik di banyak negara, begitu pemeriksaan (strip search) selesai dilakukan, secepat mungkin warga dipersilakan kembali mengenakan bajunya.

Menurut dia, sengaja berlama-lama membiarkan warga tanpa baju, apalagi dilakukan di ruang terbuka dan disaksikan lawan jenis, dapat dipandang sebagai perlakuan yang mempermalukan dan menjatuhkan kehormatan mereka.

“Itu terkategori sebagai bentuk intimidasi atau pun pelecehan terhadap warga,” ucap Reza.

Ia memberi contoh, prosedur di Australia sudah semestinya diterapkan di Rempang, yakni sebelum melakukan strip search, demonstran dapat menanyakan nama personel polisi yang dimaksud, satuan wilayah dan satuan kerjanya.

Mencekam! Panglima Pajaji Datang ke Batam, Satukan Kekuatan dengan Sultan Melayu Bela Rempang
Mencekam! Panglima Pajaji Datang ke Batam, Satukan Kekuatan dengan Sultan Melayu Bela Rempang (Tribun Medan)

Dengan adanya pertanyaan itu, kata Reza, polisi harus memberikan jawaban.

Kalau polisi menolak, warga pun wajar menolak karena strip search menjadi tidak jelas alasan dan tujuannya.

Reza pun menjelaskan melucuti baju warga dapat berefek traumatis karena perlakuan semacam itu bersifat invasif, mempermalukan, dan menyakiti.

“Itu saya sikapi sebagai police misconduct. Bahkan abuse of power (menyalahgunakan wewenang). Polisi yang melakukannya harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Reza.

Terkait kejadian di Pulau Rempang itu, Reza pun menyampaikan, semestinya Polri memiliki transparansi dan akuntabilitas.

Hal itu untuk memastikan strip search benar-benar dilakukan secara terukur dan tidak menjadi perlakuan tidak manusiawi terhadap masyarakat.

Baca juga: Mencekam! Panglima Pajaji Datang ke Batam, Satukan Kekuatan dengan Sultan Melayu Bela Rempang

Baca juga: Diiringi Caci Maki dan Menahan Tangis, Polisi ini Temui Pendemo Rempang Agar Kericuhan Disudahi

Warga Rempang Menangis Pilu Tak Ingin Direlokasi, Sebut Pusaka Nenek Moyang

Tangis warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pecah saat terus dipaksa meninggalkan tanah leluhurnya untuk proyek Rempang Eco City.

Warga Pulau Rempang diharuskan mengosongkan wilayahnya sampai tanggal 28 September 2023.

Seorang warga bernama Sarah pun tak kuasa menahan tangisnya saat meluapkan amarah karena terus didesak meninggalkan rumahnya.

Sarah dan warga Pulau Rempang lainnya bersikukuh enggan meninggalkan tanah leluhurnya.

Tangis pilu warga Pulau Rempang itu terlihat dalam tayangan FAKTA tvOne, Rabu (12/8/2023).

"Kami tidak dikasih tahu mau direlokasi, tiba-tiba disuruh pindah tanggal 28 (September 2024 -red), kami macam anak ayam aja, ayam dipindah aja ada rumahnya," ucap seorang warga.

BELA REMPANG! UMY Tegas Utus Advokat Bebaskan Bang Long Usai Dituding Provokator saat Demo
BELA REMPANG! UMY Tegas Utus Advokat Bebaskan Bang Long Usai Dituding Provokator saat Demo (Tribun Medan)

Menambahi ucapan warga tersebut, Sarah lantas meluapkan kekesalannya terhadap keputusan pemerintah merelokasi warga demi membangun proyek yang digadang-gadang bisa mendatangkan investasi bernilai fantastis.

Sarah mengaku tidak akan pernah meninggalkan Pulau Rempang.

"Saya sedih diusir dari kampung halaman sendiri," ujar Sarah sembari menangis.

"Kami tak mau keluar, walaupun ditembak mati, kami tak mau kau kuasai kampung kami."

"Pak Jokowi, kami tak mau keluar dari kampung kami," imbuhnya.

Sarah dan warga Pulau Rempang lainnya memiliki alasan kuat untuk tidak meninggalkan tanah kelahirannya.

Bukan karena uang, Sarah menyebut akan mempertahankan tanah Pulau Rempang yang menjadi warisan nenek moyangnya.

"Kami diri kami sudah dijatuhkan betul-betul, kami dihina, diinjak," ujar Sarah.

"Ini bukan tanah, ini tanah nenek moyang kami. Kami tidak beli, ini pusaka nenek moyang kami," imbuhnya.

Meski warga menolak keras, pemerintah terus berupaya merelokasi penghuni Pulau Rempang.

Bahkan, pendaftaran relokasi tahap I bagi warga Pulau Rempang dijadwalkan berakhir pada Rabu (20/9/2023).

Namun, banyak warga yang memilih tetap bertahan di Pula Rempang.

“Jangan kami diintervensi. Sampai sekarang kami tak mau daptar, kalau kami daptar ke posko artinya kami menyerah. Kami masih bertahan di kampung kami, kami tak mau direlokasi,” ujar seorang warga Kampung Tua Pasir Panjang, Launidin, dikutip dari TribunBatam.id, Selasa (19/9/2023).

Sementara itu, Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, Ariasuty Sirait mengklaim sudah ada lebih dari 100 kepala keluarga yang mendaftar ke posko relokasi.

Meski begitu, Ariastuty tak menyebutkan secara rinci angka pastinya.

(*/TRIBUN-MEDAN) 

 

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved