Perang Hamas vs Israel
PECAHNYA Perang Hamas Palestina-Israel untuk Memecah Konstentrasi AS terhadap Ukraina hingga Taiwan?
Pecahnya perang antara pejuang Hamas Palestina dengan Israel ini disinyalir untuk memecah konstentrasi Amerika Serikat terhadap Ukraina hingga Taiwan
TRIBUN-MEDAN.COM - Pecahnya perang antara pejuang Hamas Palestina dengan Israel ini disinyalir untuk memecah konstentrasi Amerika Serikat terhadap Ukraina, Taiwan, Laut China Selatan, hingga Afrika Tengah. Pertempuran yang mendadak terjadi pada Sabtu (7/10/2023) pagi itu merupakan perang terhebat dalam kurun waktu 50 tahun terakhir antara Palestina-Israel.
Rentetan serangan roket Hamas hingga 5.000 buah diikuti serangan dari darat membuat Israel kewalahan. Seribuan pejuang Hamas menyerang Israel dari darat, laut, dan udara. Korban tertinggi dialami Israel. Hingga pada Selasa (10/10/2023) pagi, korban tewas dari pihak Israel mencapai 917 orang dan terluka 2.303 orang. Para korban terbanyak di Israel bagian selatan yang banyak dihuni suku Yehuda beserta suku Benyamin, serta korban warga Israel yang berjumlah sedikit di Tepi Barat yang beberapa tahun belakangan ini diduduki.
Sementara, korban dari pihak Palestina di Jalur Gaza mencapai 687 orang tewas dan 3.800 terluka. Maka total sementara korban tewas perang Hamas Palestina-Israel sebanyak 1.604 orang dan luka-luka sebanyak 4.594 orang per Selasa (10/10/2023) pagi, dilansir dari AlJazeera.
Siapa yang terlibat di belakang serangan mendadak Hamas ini?
Pertanyaan tentang keterlibatan Iran musuh bebuyutan Israel mengemuka tak lama setelah serangan mendadak dan mematikan yang dilakukan kelompok Hamas terhadap warga Israel di sekitar Jalur Gaza Palestina. Sebuah laporan yang diterbitkan surat kabar Wall Street Journal mengutip anggota Hamas yang tidak disebutkan namanya dan gerakan gerilya Hizbullah di Lebanon yang mengatakan bahwa Iran memberi lampu hijau pada serangan itu sepekan lalu. Namun seorang pejabat senior bidang pertahanan di Washington, Amerika Serikat (AS) kemudian mengatakan bahwa AS “saat ini tidak memiliki informasi” untuk menguatkan tuduhan spesifik mengenai peran Iran dalam serangan tersebut.
Kekompakan Iran, Rusia, Korea Utara, China serta sejumlah negara Arab lainnya terlihat saat meletusnya perang di Ukraina. Terlepas dari itu, taruhan atas kebenaran keterlibatan Iran dalam serangan itu sangatlah besar. Jika ternyata Iran berada di balik serangan tersebut, hal ini berpotensi memperluas konflik menjadi konfrontasi regional. Konflik Hamas-Israel ini akan memecah konsentrasi Amerika Serikat dan sekutunya di Ukraina dan juga di belahan dunia lainnya, seperti di Asia dan Afrika Tengah yang beberapa tahun belakangan ini kerap memanas.
Meski para pemimpin Iran merayakan dan memuji serangan Hamas tersebut, mereka dengan cepat menyangkal keterlibatannya. “Tuduhan terkait dengan peran Iran… didasarkan pada alasan politik,” kata Kementerian Luar Negeri Iran, dikutip dari BBC, Senin (10/10/2023). "Iran tidak melakukan intervensi "dalam pengambilan keputusan negara lain,"tambahnya.
Namun semua ini tidak berarti Iran tidak terlibat. Ghazi Ahmad, juru bicara Hamas, berkata pada BBC bahwa kelompok itu mendapat dukungan langsung dari Iran – yang berjanji untuk "berdiri bersama pejuang Palestina hingga pembebasan Palestina dan Jerusalem – untuk melakukan serangan. Amerika Serikat menyebut negara itu "belum" mendapat bukti bahwa Iran berada di balik serangan. Akan tetapi, Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken menegaskan bahwa memang "ada hubungan jangka panjang" antara Iran dan Hamas.
Iran adalah salah satu sponsor Hamas
Bukan rahasia lagi, Teheran telah menjadi sponsor utama Hamas selama bertahun-tahun, menyokong kelompok milisi itu dengan dukungan finansial dan persenjataan , termasuk roket, dalam jumlah besar. Selama bertahun-tahun Israel telah mencoba menghalau pasokan Iran ke Gaza, yang melintasi Sudan, Yaman, kapal di Laut Merah dan penyelundup Bedouin di Semenanjung Sinai. Sebagai salah satu musuh bebuyutan Israel, Iran terang-terangan berminat melihat Israel menderita. “Jadi menurut saya, tidak berlebihan jika berasumsi bahwa Iran terlibat,” kata Haim Tomer, mantan perwira senior di badan intelijen luar negeri Israel, Mossad, kepada BBC.
“Ini adalah respons Iran terhadap laporan bahwa perjanjian damai akan terjadi antara Israel dan Arab Saudi,”sambungnya.
Akan tetapi, Tomer menganggap dugaan bahwa Iran sebenarnya memerintahkan serangan hari Sabtu itu "agak rumit".
“Ya, memang benar bahwa Iran adalah penyedia peralatan nomor satu bagi Hamas,” katanya, “dan mereka melatih peralatan tersebut di Suriah dan bahkan, kabarnya, di Iran.”
Israel, kata Tomer, telah mengawasi pergerakan para pemimpin Hamas selama beberapa bulan terakhir.
“Kami melihat orang-orang seperti Saleh al-Arouri (kepala sayap militer organisasi tersebut) dan para pemimpin Hamas lainnya terbang bolak-balik antara Lebanon dan Iran, mengadakan pertemuan, termasuk dengan (Pemimpin Tertinggi Ayatollah) Khamenei sendiri.”
Namun “hubungan intim” ini tidak cukup untuk menjelaskan waktu terjadinya serangan, kata Tomer. "Hamas sangat peka terhadap konflik internal di Israel,” katanya.
“Iran menopang dan mendukung setiap aspek logistik dan militer, namun menurut saya keputusan tersebut setidaknya 75 persen merupakan keputusan independen dari pimpinan Hamas.”
Keputusan untuk menyerang 'diambil oleh Hamas'
Raz Zimmt, pakar Iran di Universitas Tel Aviv sepakat dengan apa yang dikatakan Tomer.
"Ini adalah kisah tentang Palestina," ujarnya dalam unggahan di media sosial.
Menurut Wall Street Journal, Iran memberikan lampu hijau terhadap serangan itu dalam sebuah pertemuan di Beirut pada Senin (2/10/2023).
Sumber Hamas dan Hezbollah yang tidak disebutkan namanya berujar kepada surat kabar itu bahwa pejabat Korps Garda Revolusi Islam Iran telah bekerja bersama Hamas sejak Agustus silam untuk melakukan operasi udara, darat dan laut yang kompleks pada hari Sabtu (7/10/2023).
Rekaman video serangan Hamas menunjukkan tingkat kecanggihan yang jauh melebihi upaya organisasi tersebut di masa lalu untuk menembus pagar keamanan Israel di sekitar Jalur Gaza.
Penggunaan roket, drone, kendaraan, dan pesawat layang bertenaga listrik secara bersamaan menunjukkan bahwa perencana serangan telah mempelajari contoh-contoh perang hibrida terbaru lainnya, mungkin termasuk yang terjadi di Ukraina.
Akan tetapi, keputusan untuk melakukan serangan, menurut Raz, diambil "oleh Hamas, berdasar pada kepentingan mereka, dipicu dari realitas yang dialami warga Palestina".
"Apakah Hamas menggunakan bantuan Iran? Tentu, iya. Apakah Iran memiliki kepentingan dalam aksi ini? Ya. Apakah Hamas memerlukan izin Iran untuk melakukan operasi ini? Tidak."
Hamas telah mengembangkan unit elitnya selama beberapa tahun, kata Haim Tomer, mantan pejabat Mossad. “Tetapi mereka tetap tampil di atas level sebelumnya,” katanya.
Fokus perhatian Israel di utara dan selatan
Para pejabat Israel kini melihat ke arah utara dan selatan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dan apakah keterlibatan Iran bisa menjadi lebih terbuka.
Sekutu Iran di Lebanon, Hezbollah, telah meluncurkan dua serangan skala kecil ke Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Militer Israel berkata mereka telah menggunakan helikopter untuk menggempur sasaran di Lebanon.
“Operasi Hamas adalah peristiwa yang mengubah realitas di Timur Tengah yang mungkin mengharuskan Iran untuk beralih dari fase dukungan dan koordinasi yang sedang berlangsung ke fase keterlibatan yang lebih langsung, terutama jika respons Israel menimbulkan tantangan yang signifikan bagi Hamas,” kata Raz.
Iran tidak mungkin (secara langsung) memulai konflik dengan Israel, tapi proklamasikan bahwa Israel tidak akan ada lagi dalam 25 tahun ke depan.
Laporan BBC Persia Kayvan Hosseini menjelaskan mesin propaganda negara Iran tak henti-hentinya menggambarkan Yerusalem yang telah merdeka (Beit al Moghadas bahasa Persia).
Proklamasi yang berani pada tahun 2015 oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei bahwa "Israel tidak akan ada lagi dalam 25 tahun" menghiasi tembok kota dan spanduk di seluruh Iran. Sistem penghitungan mundur secara simbolis berdiri di alun-alun Palestina di Teheran, yang merujuk pada ramalan kejatuhan Israel berdasarkan prediksi Pemimpin Tertinggi, merupakan bukti akan hal ini.
Meskipun ada pandangan agresif dari pemerintah, kepercayaan lama menyatakan bahwa ancaman-ancaman tersebut hanyalah gertakan belaka. Faktor-faktor seperti penyangga geografis, persepsi akan kehebatan militer Israel, dan dukungan Amerika yang tak tergoyahkan terhadap Israel membuat konflik besar-besaran tampak tidak masuk akal.
Jika konflik semakin intensif, akan sulit bagi pemerintah Iran untuk mengabaikan tantangan internal dan terjun ke dalam konflik yang sangat berbahaya.
Setahun terakhir ini kita menyaksikan semangat revolusioner yang bisa dibilang merupakan ancaman eksistensial paling serius terhadap rezim tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini menggarisbawahi rapuhnya legitimasi rezim dan kekecewaan yang mendalam dan meluas terhadap rezim teokratis tersebut. Kenyataan seperti itu bahkan mungkin membatasi kemampuan rezim dalam mendukung sekutu-sekutu Palestinanya.
Baca juga: KORBAN TEWAS Capai 1.604 Orang dan 4.594 Terluka, Hamas Buka Dialog Kemungkinan Gencatan Senjata
Baca juga: HARI KEEMPAT Perang Hamas Palestina vs Israel, Sebanyak 1.604 Orang Tewas dan 4.594 Terluka
Rusia ungkap kelemahan pertahanan udara Iron Dome Israel
Diketahui, militer Israel memiliki sistem pertahanan udara canggih bernama Iron Dome. Saking canggihnya, sistem itu bahkan dianggap sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Namun kelemahan Iron Dome kini terungkap setelah Israel diserang kelompok militan Hamas, Sabtu (7/10/2023).
Iron Dome dirancang untuk mencegat dan menghancurkan rudal balistik dan peluru artileri yang ditembakkan dari jarak 4 hingga 70 kilometer.
Sistem pertahanan udara ini dikembangkan pada akhir tahun 2000-an oleh Rafael Advanced Defense Systems.
Namun, Israel pertama kali menggunakan Iron Dome untuk melawan serangan roket Hamas pada 2011.
Baterai Iron Dome biasanya terdiri dari beberapa unit peluncur, unit radar, dan unit kontrol. Satu baterai dapat melindungi area sekitar 150 kilometer persegi.
Salah satu ciri khas sistem ini adalah kemampuannya mencegat roket yang diproyeksikan mendarat di area kosong.
Namun, pakar militer Rusia Yuri Knutov menyebut Iron Dome memiliki kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh musuh.
Menurutnya, Iron Dome akan kebobolan jika terjadi serangan yang melibatkan setidaknya 100 roket ke atas.
"Jika terjadi serangan yang lebih intensif, yang melibatkan setidaknya 100 roket, Iron Dome biasanya gagal melakukan tugasnya," kata Knutov, dikutip dari SputnikGlobe, Senin (9/10/2023).
Jika melihat serangan Hamas yang terjadi pada Sabtu (7/10/2023) pagi, Hamas meluncurkan roket secara massal dari berbagai arah.
"Strategi semacam ini bertujuan untuk melumpuhkan pertahanan Iron Dome Israel,"jelasnya.
Rusia disebut manfaatkan perang Hamas-Israel
Di sisi lain, pihak Rusia disebut-sebut memanfaatkan perang antara Hamas Palestina dan Israel yang saat ini terus berkecamuk. Muncul peringatan yang menyebutkan bahwa Rusia akan melemahkan semangat warga Ukraina. Rusia pun turut menyalahkan Barat. Pasalnya, barat dinilai mengabaikan konflik di Timur Tengah, demi mendukung Ukraina.
Kremlin mengklaim, bahwa komunitas internasional akan mengalihkan perhatiannya pada krisis Timur Tengah dan tidak lagi berfokus pada Ukraina.
Propagandis terkemuka Rusia, Sergei Mardan lantas disebut tengah mempengaruhi pendengar mereka. Sergei Mardan disebut tengah melemahkan semangat para pendengar asal Ukraina dengan menyatakan bahwa Rusia akan memperoleh keuntungan dari meningkatnya perang di Israel. Ukraina juga disebut akan kehilangan dukungan internasional.
Selain itu, meyakinkan Rusia hahwa fokus Barat terhadap krisis Israel akan mengalihkan perhatian mereka dari perang di Ukraina. Begitu juga dengan Amerika Serikat dan sekutunya akan fokus utamnya pada konflik Israel dan bukan ke Ukraina lagi.
Rusia Salahkan Amerika Serikat
Saat perayaan ulang tahun ke-71 Presiden Rusia Vladimir Putin di negara bagian Ferderasi Rusia, Republik Chechnya, pada Sabtu (7/10/2023), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menyebut, konflik Palestina dan Israel tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan, melainkan hanya melalui diplomatik.
Ia menegaskan bahwa Rusia tetap mempertahankan posisinya (mendukung perjuangan Hamas) untuk kemerdekaan Palestina.
Moskow hanya ingin Palestina hidup damai berdampingan dengan Israel.
Sementara, mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, menyatakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) patut disalahkan atas eskalasi militer terbaru antara Israel dan Hamas Palestina. Ia mengatakan AS seharusnya menyalurkan energinya untuk memastikan perdamaian abadi di Timur Tengah namun memilih fokus pada Ukraina.
Perdana Menteri Rusia itu mengomentari eskalasi militer Israel dan Hamas Palestina yang dimulai pada Sabtu (7/10/2023) dengan serangan Hamas ke Israel.
Menurutnya, kejadian ini tidak dapat diprediksi. “Inilah yang seharusnya ditangani oleh Washington dan sekutunya,” jelasnya di saluran Telegram-nya, Minggu (8/10/2023).
Dmitry Medvedev menambahkan konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama beberapa dekade dan AS menjadi pemain kunci di sana.
"Alih-alih melakukan hal itu, orang-orang bodoh ini malah terlibat di wilayah kita dan secara aktif membantu neo-Nazi, mengadu domba dua orang dekat satu sama lain,” lanjutnya.
Medvedev mengatakan AS telah memicu berbagai konflik di seluruh dunia, yang bukan wilayah AS.
Ia menyimpulkan, sepertinya hasrat AS tersebut akan padam jika terjadi perang saudara di wilayah AS sendiri.
 
China: Palestina harus merdeka sebagai solusi perdamaian
Sama halnya dengan China turut memberi respons atas ketegangan baru yang terjadi antara Faksi Hamas, Palestina, dengan Israel.
Pejabat kementerian Presiden Xi Jinping itu bahkan meneriakkan pendirian negara Palestina yang merdeka sebagai solusi perdamaian.
"Kami menyerukan pihak-pihak terkait untuk tetap tenang, menahan diri dan segera mengakhiri permusuhan untuk melindungi warga sipil dan menghindari memburuknya situasi," kata Kementerian Luar Negeri China seperti dikutip CNBC International, Senin (9/10/2023).
"Jalan keluar mendasar dari konflik ini terletak pada penerapan solusi dua negara dan pembentukan Negara Palestina yang merdeka," tegasnya lagi.
Pernyataan China itu bukan tanpa dasar. Selama ini, China memang telah memainkan peran dalam meredakan ketegangan Israel-Palestina.
China juga berperan dalam menyatukan negara-negara Arab beberapa tahun belakangan ini.
"Komunitas internasional perlu bertindak dengan urgensi yang lebih besar, meningkatkan masukan terhadap masalah Palestina, memfasilitasi dimulainya kembali perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel, dan menemukan cara untuk mewujudkan perdamaian abadi," pungkas Kementerian Luar Negeri China.
"China akan terus bekerja tanpa henti dengan komunitas internasional untuk mencapai tujuan tersebut," tambah Kemlu.
Sementara itu, perwakilan tetap China untuk PBB, Zhang Jun, mengatakan, China mengutuk semua kekerasan dan serangan terhadap warga sipil.
Peran China di Timur Tengah
Terkait geopolitik, dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan China , yang sama-sama ingin menguasai ekonomi dunia. Ada beberapa titik di dunia yang bisa menjadi eskalasi konflik belakangan ini setelah Rusia-Ukraina. Hal ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi dunia, minyak dan gas, hingga penjualan senjata.
Setelah Rusia-Ukraina, ada Taiwan-Laut China Selatan, Afrika Tengah, dan Timur Tengah. Sekarang mendadak meledak eskalasi konflik besar antara Hamas dengan Israel.
Sebelumnya, Tiongkok berhasil mencairkan hubungan antara negara-negara Arab.
Arab Saudi dan Iran, dua negara penting di kawasan Timur Tengah, memutuskan untuk kembali membuka layanan diplomatik.
Pemulihan hubungan antara Saudi dan Iran sendiri telah menimbulkan gema baru dalam geopolitik Timur Tengah. Pasalnya, Iran merupakan negara yang mendukung sejumlah kelompok bersenjata, seperti Houthi Yaman, rezim Presiden Bashar Al Assad Suriah, Hamas, dan juga Hizbullah di Lebanon.
Terbaru, Qatar dan Bahrain sepakat untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Selain itu, Tunisia juga setuju untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Suriah.
Seluruhnya kemudian berubah pada Maret 2023 ketika China berhasil mendamaikan Riyadh dan Teheran.
Keduanya bahkan telah mengundang pemimpin satu sama lain dan telah membuka layanan diplomatik di dua ibukota.
Diplomat paling senior China, Wang Yi, mengatakan bahwa Beijing akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar.
"China sebagai mediator yang beritikad baik dan dapat diandalkan, telah memenuhi pekerjaannya sebagai tuan rumah dialog," tuturnya kepada Middle East Monitor.
Pemulihan negara-negara Arab ini akhirnya menciptakan efek domino baru bagi industri energi dunia.
Pasalnya, Timur Tengah merupakan wilayah yang memiliki deposit minyak yang sangat besar.
Saudi dan Iran merupakan anggota dari Organisasi Pengekspor Minyak atau OPEC. Organisasi ini dalam beberapa bulan belakangan menjadi sorotan lantaran memotong produksi minyaknya, sebuah sesuatu yang berseberangan dengan kemauan Amerika Serikat di tengah lonjakan harga energi pasca perang Rusia-Ukraina.
Aemerika Serikat dikabarkan tidak senang dengan ini. Wall Street Journal melaporkan bahwa melalui Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA), Bill Burns, AS mengungkapkan ketidaksenangan Washington pasca rekonsiliasi Arab Saudi dengan Iran.
"Washington merasa frustasi karena tidak dilibatkan dalam perkembangan regional dan akibatnya merasa dikesampingkan," ujar seorang sumber, dilaporkan Middle East Monitor.
China kini penguasa Timur Tengah Melalui Proyek Sabuk dan Jalan
Banyak negara Arab kini memandang China sebagai kiblat yang menerapkan sistem politik diktator, tetapi mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalis. Dunia Arab melihat, dengan sistem itu, China meraih kemajuan luar biasa. Kemajuan ekonomi China cukup membuat silau dunia Arab.
Banyak cendekiawan Arab terakhir ini menulis buku tentang China, khususnya terkait megaproyek konektivitas sabuk dan jalan yang diluncurkan Pemerintah China pada tahun 2013.
Ada beberapa buku tentang China, di antaranya buku berjudul Sabuk dan Jalan, Upaya Hidupkan Kejayaan Masa Lalu atau Menatap Masa Depan.
Buku ini memuat artikel beberapa cendekiawan Arab dan diterbitkan oleh perpustakaan Alexandria, Mesir, dikutip dari artikel Kompas.Id yang tayang 14 Januari 2022.
Ada pula buku berjudul China, Timur Tengah dan Mesir, Upaya Membangun Perdamaian dan Kemitraan Strategis karya pengamat politik Mesir, Sarah Abdel Aziz al-Ashrafi.
Mahmud Ezzat Abdel Hafed, pengamat politik Mesir lainnya, menulis buku Ekspansi China ke Afrika, Pandangan Strategis.
Pengamat politik Arab Saudi, Shereen Jaber, tak mau ketinggalan. Ia pun menulis buku berjudul Dunia Arab dan Proyek Sabuk dan Jalan, Peluang dan Tantangan.
Buku-buku tersebut mengupas tentang kepentingan timbal balik China dan dunia Arab.
Betapa China menggunakan megaproyek Sabuk dan Jalan untuk mewujudkan kepentingannya menguasai pasar dunia Arab saat ini. Sebaliknya, betapa dunia Arab juga memanfaatkan China untuk proyek pembangunan atau reformasi ekonomi di kawasan tersebut.
Hubungan saling menguntungkan kedua pihak tersebut membuat neraca perdagangan China-dunia Arab dan investasi China di kawasan itu cukup fantastis.
Neraca perdagangan China dan dunia Arab pada tahun 2019 mencapai 266,5 miliar dollar AS. Adapun investasi China langsung di dunia Arab kini mencapai 1,4 miliar dollar AS.
Dubes China untuk Mesir yang saat itu Liao Liqiang, pada kata pengantarnya dalam buku "Sabuk dan Jalan, Upaya Hidupkan Kejayaan Masa Lalu Atau Menatap Masa Depan" mengatakan, Sabuk dan Jalan adalah membuka peluang baru bagi kerja sama China-Mesir.
Menurut dia, proyek Sabuk dan Jalan menatap kerja sama ekonomi dan membangun perdamaian.
Proyek itu, lanjut Liao, bukan misi untuk membangun koalisi geopolitik dan militer, serta tidak memandang latar belakang ideologi suatu negara atau bangsa.
Ia menegaskan, filosofi tersebut yang menjadi landasan kerja sama China dengan dunia Arab dan juga bangsa-bangsa lain.
Pengamat politik Mesir, Mustafa Fiki, pada kata pengantar dalam buku itu mengatakan, lahirnya proyek Sabuk dan Jalan semakin mendekatkan hubungan China dan dunia Arab yang sesungguhnya sudah terjalin lama.
Ia menyebut proyek tersebut mengantarkan hubungan China-dunia Arab tidak terbatas ekonomi dan politik, tetapi bisa meluas ke sektor militer dan budaya.
Sementara Shereen al-Jaber dalam buku Dunia Arab dan Proyek Sabuk dan Jalan, Peluang dan Tantangan mengatakan, dunia Arab dipandang vital dalam pandangan diplomasi China saat ini. Sebaliknya dunia Arab juga melihat China sebagai mitra strategisnya dalam semua sektor. Terbitnya banyak buku tentang China di dunia Arab saat ini tentu tidak terlepas dari perkembangan pesat hubungan China-Dunia Arab terakhir ini, khususnya antara China dan negara-negara Arab kaya Teluk.
Dalam konteks kultur dan sistem politik, banyak negara Arab kini memandang China sebagai kiblat yang menerapkan sistem politik diktator, tetapi dalam waktu sama mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalis dan berhasil meraih kemajuan luar biasa.
Kultur dan sistem politik China tersebut dianggap selaras dengan kultur bangsa Arab yang menerapkan sistem politik dalam bentuk monarki mutlak atau rezim militer, tetapi dalam waktu yang sama menerapkan kebijakan ekonomi kapitalis.
Kultur politik seperti itu yang digandrungi dan diterapkan di negara-negara Arab Teluk, Mesir, Jordania, Maroko, Mauritania, dan Aljazair, karena berhasil menciptakan stabilitas dan pembangunan berkesinambungan.
Sebaliknya, negara Arab yang mencoba menerapkan sistem demokrasi, seperti di Irak, Lebanon, dan Tunisia, ternyata gagal menciptakan stabilitas serta selalu dililit krisis politik dan ekonomi.
China pun segera menangkap psikologi bangsa Arab yang kini sangat mengandrunginya itu. China melalui proyek Sabuk dan Jalan terus berusaha mengembangkan hubungan dalam berbagai sektor dengan dunia Arab, baik ekonomi maupun militer.
Stasiun televisi CNN pada akhir Desember lalu merilis laporan bahwa Arab Saudi sedang membangun industri rudal balistik dengan bantuan China.
Iran pun juga berkat bantuan China plus Rusia dan Korea Utara berhasil memiliki armada rudal balistik tangguh dan bahkan terkuat di Timur Tengah.
Arab Saudi tampaknya tidak memiliki jalan lain yang cepat untuk membangun industri rudal balistik, kecuali memilih jalan yang sama dengan Iran, yakni meminta bantuan China.
Dalam perdagangan, dari jumlah 266,5 miliar dollar AS neraca perdagangan China-dunia Arab tahun 2019, 190 miliar dollar AS adalah neraca perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab/UEA, Bahrain, dan Oman) tahun 2019.
China kini merupakan mitra dagang terbesar negara-negara Arab kaya Teluk. Pada masa pandemi tahun 2020, negara perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk mencapai 162 miliar dollar AS. Pada semester pertama tahun 2021, neraca perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk mencapai 103,8 miliar dollar AS.
Di Kesultanan Oman, China diberitakan mengucurkan dana 10 miliar dollar AS untuk pembangunan kilang minyak dan industri petrokimia di kota pantai Duqm, serta proyek infrastruktur lainnya, seperti pembangunan kota industri Dugm. Selama ini 90 persen ekspor minyak Oman menuju China.
China memberi prioritas membangun hubungan kuat dengan negara-negara Arab kaya Teluk karena sebagian besar impor minyak China berasal dari kawasan Arab Teluk. China pun selama ini dengan lapang dada memasok berbagai kebutuhan teknologi negara-negara Arab Teluk dengan imbalan kesinambungan pasokan minyak dari kawasan Arab Teluk ke China.
China juga tercatat menjadi eksportir terbesar ke Mesir saat ini hingga menguasai sekitar 15 persen pangsa pasar Mesir.
Neraca perdagangan China-Mesir mencapai 13.2 miliar dollar AS pada tahun 2019.
Sejauh ini, dunia Arab, khususnya negara-negara Arab kaya Teluk, berhasil membangun hubungan yang imbang antara China dan AS.
Di satu pihak, dunia Arab, khususnya negara-negara Arab kaya Teluk, masih tergantung secara keamanan kepada AS.
Namun di pihak lain, banyak negara Arab semakin kuat menjalin hubungan ekonomi dengan China.
Laju yang kuat hubungan ekonomi China-dunia Arab saat ini sudah sulit dibendung.
Tidak sedikit negara Arab secara ekonomi sekarang sangat tergantung pada bantuan China.
Ini disadari oleh AS dan dunia Barat. Mereka tidak bisa lagi mencegah atau memprotes semakin kuatnya hegemoni China atas pasar dunia Arab.
Baca juga: KORBAN TEWAS Capai 1.604 Orang dan 4.594 Terluka, Hamas Buka Dialog Kemungkinan Gencatan Senjata
(*/tribun-medan.com/bbc)
Baca juga: Israel Terus Bombardir Gaza, Kini Hamas Bicara Kemungkinan Gencatan Senjata, Ancam Eksekusi Sandera
Baca juga: YUK IDENTIFIKASI Warga dan Tentara Israel yang Disandera Hamas, Terungkap Lokasi Para Tawanan
Baca juga: Ucapan Hendropriyono Kenyataan: Intelijen Israel Sama Saja, Tak Jago-jago Amat, Bisa Kecolongan Juga
Baca juga: PUTIN Rayakan Ultah saat Ribuan Roket Hamas Meluncur di Langit Israel, Ini Pesan Pemimpin Chechnya
Baca juga: Perbandingan Harga Roket Hamas dengan Rudal Pertahanan Udara Iron Dome Israel, Bisa Bikin Bangkrut
Baca juga: KENAPA Roket Hamas yang Harganya Murah Bisa Menembus Kota Israel? Ternyata Ini Penyebabnya
Baca juga: Jurnalis Israel Haaretz: Israel Dipermalukan Serangan Hamas, Ungkap Dua Kelengahan Israel Kali Ini
| KENAPA Hamas Minta Jusuf Kalla Jadi Mediator Perang Palestina vs Israel? Ini Sederet Pengalaman JK |   | 
|---|
| Serangan Hizbullah Rudal Fasilitas Militer Israel, Klaim Semua Tentara IDF Tewas di Tempat |   | 
|---|
| Mati Konyol, 2 Tentara Israel Tewas Tertembak Tanknya Sendiri, IDF: Tak Sengaja, Dikira Hamas |   | 
|---|
| Dirilis Militer Israel, Inilah Foto dan Video Terowongan Hamas di Gaza, Diklaim Jadi Tempat Sandera |   | 
|---|
| Baru Ketahuan, 4.000 Tentara Bayaran Israel Warga Prancis, Bukannya Perang Malah Terancam Penjara |   | 
|---|


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.