Tribun Wiki
Tradisi Paabingkon pada Masyarakat Batak Simalungun yang Masih Eksis Hingga saat Ini
Masyarakat Batak Simalungun memiliki sebuah tradisi bernama Paabingkon Pahompu. Dimana cucu pertama akan dibawa ke nenek dan kakeknya
TRIBUN-MEDAN.COM,SIMALUNGUN- Masyarakat suku Batak Simalungun dikenal sebagai pribadi yang memegang teguh adat dan tradisi.
Satu diantara banyaknya tradisi yang masih bertahan hingga saat ini adalah Paabingkon Pahompu.
Paabingkon Pahompu merupakan upacara adat resmi masyarakat Batak Simalungun, dimana cucu pertama yang belum memiliki adik akan dibawa kepada kakek dan neneknya.
Baca juga: Tradisi Mangelek Tao, Bentuk Kedekatan Masyarakat Toba Terhadap Alam
Dalam tradisi Paabingkon ini, biasanya diselenggarakan di rumah, dan dihadiri sejumlah keluarga serta kerabat.
Merujuk dari jurnal berjudul A Theological Study of Paabingkon Pahompu in the Tradition of the Simulangun Society, disebutkan bahwa tujuan dari penyelenggaraan Paabingkon ini tidak hanya sebatas membawa cucu pada kakek dan neneknya saja, tapi juga meminta doa, serta biasanya dibarengi dengan pemberian nama.
Sang kakek dari pihak ibu, biasanya akan memberikan nama terbaik kepada cucunya.
Nama tersebut biasanya juga mengandung doa, harapan dan cita-cita.
Baca juga: Tradisi Mangelek Tao Jelang Event Aquabike Jetski World Championship 2023
Sebagai contoh, kakek atau nenek dari pihak wanita akan memberikan nama cucu laki-lakinya dengan nama Hamonangan.
Hamonangan sendiri berarti kemenangan.
Sang kakek berharap, dengan pemberian nama Hamonangon, maka keluarga akan merasakan kemenangan di berbagai aspek kehidupan.
Kemudian, sang cucu kelak bisa meraih cita-cita yang diimpikan.
Tahapan Paabingkon
Dalam jurnal tersebut diuraikan, ada beberapa tahapan prosesi adat Paabingkon ini.
Pertama, kakek dari pihak ibu akan memberikan putri dan cucunya Dayok Nabitur.
Dayok Nabitur adalah masakan khas Simalungun berbahan baku ayam.
Baca juga: Tradisi Ndakan Page Mbaru pada Suku Karo yang Dilakukan Usai Panen
Ayam yang dimasak ini disusun sedemikian rupa, hingga mencerminkan keteraturan dalam hidup.
Bagi masyarakat Simalungun, penggunaan ayam dalam masalakn Dayok Nabitur karena pada masa lalu mereka tidak mengenal babi atau domba.
Mereka lebih mudah mendapatkan ayam.
Filosofi yang terkandung dalam masakan Dayok Nabitur itu adalah tentang pentingnya keseimbangan dan keselarasan dalam segala aspek kehidupan, serta mengajarkan kita untuk menghargai dan menghormati hubungan antar sesama makhluk hidup.
Baca juga: Tradisi Meraleng Tendi pada Suku Pakpak, Ritual Penjemput Semangat
Saat pemberian Dayok Nabitur ini, sang kakek akan mengucapkan kalimat '“Jalo ma nang, dayok na binaturon, sai malas ma uhurmu, sai tumis ma sura-suram, janah taratur ma hagoluham han jon hu atas.”
Artinya: Terima lah putri ku, ini ayam tertib, bergembiralah, semoga keinginan mu terkabul, dan hidup teratur mulai hari ini hingga masa depan).
Setelah pemberian Dayok Nabitur ini, prosesi kedua adalah diikuti dengan pemberian kain panjang untuk menggendong bayi yang diserahkan oleh sang kakek.
Saat menyerahkan kain gendongan itu, sang kakek akan memanjatkan doa dan harapannya.
Baca juga: Tradisi Upacara Mameree Cinta Lao pada Suku Pakpak di Sumut
“Omma parombahmu, kain panjang, janah murah, sai ganjangma umur mu jahah murah mandapothon rejeki".
Artinya: Ini kain panjangnya yang murah, semoga panjang umur dan mudah mendapat rejeki.
Simbol kain panjang ini merupakan sebuah doa dari ompu kepada anak dan cucunya.
Ompu atau kakeknya berharap kepada Tuhan, agar anak dan cucunya itu dilancarkan kemanapun mereka pergi.
Pada prosesi ketiga, orangtua akan menyerahkan anaknya ke ompu atau ompung dengan kata-kata:
"Oh inang, pahoppu ni ham, malas ma uhur ham, ganjang ma homa umur ni ham, sehat-sehat ma ham han jon hu atas ni ham ase
adong pangguruan ni pahompu ni ham on.”
Artinya: Mama, ini cucu mu, diberkatilah hatimu, semoga panjang umur, sehat selalu dari sekarang sampai nanti biar ada orang yang jadi panutan bagi cucu mu).
Baca juga: Tradisi Manafo Suku Nias yang Mirip dengan Beberapa Suku Lain di Sumatra Utara
Ketika orang tua menyerahkan anak laki-lakinya, ini menegaskan hubungan darah antara sang cucu dengan kakek dan neneknya.
Keempat, kakek dan neneknya kemudian membawa sang cucu, lalu memberikannya nama.
Sang kakek akan kembali berdoa, misalnya:
“Ungga hu jalo be ho ucok mulai sadari, goranmu Hamonangon, sai monang ma ho torus I hagoluhanmu jalan monang mandapoton sura-ase boi pamalashon uhur ni orang tua dohot Tuhanta Naibata."
Artinya: Saya telah menerima kamu Ucok (nama panggilan untuk bayi laki-laki). Mulai hari ini nama mu adalah Hamonangon. Semoga hidup mu dipenuhi dengan kemenangan dalam menggapai cita-cita. Sehingga kamu dapat menyenangkan hati orang tuamu dan Tuhan.
Baca juga: Tradisi Berburu Kepala di Nias pada Masa Lampau yang Dijadikan Tumbal Hingga Mas Kawin
Dalam fase ini, sang kakek atau ompu juga kembali akan memanjatkan doa jika cucunya itu belum mempunyai adik.
Sang kakek akan memohon agar cucunya segera diberikan adik, sehingga kelak ada temannya untuk bermain, dan bisa berdiskusi saat beranjak dewasa.
Lalu, pada tahap kelima, ompu atau kakek akan memberikan boras sipir ni tondi kepada cucunya di bagian kepala.
Ini merupakan simbol pemberian berkah atau pemberkatan terhadap sang cucu, agar semua doa yang dipanjatkan segera terkabul.
Terakhir pada tahap keenam, ompu atau sang kakek menyerahkan cucunya lagi kepada ibunya agar bisa pulang ke rumah.
Sebelum cucunya pulang, sang kakek biasanya akan memberikan sebuah cincin emas yang melambangkan cinta dan ikatan batin antara kakek-nenek dan cucunya.(ray/tribun-meda.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.