Berita KPK

Tak Ada yang Dipecat, 90 Pegawai KPK Terbukti Terlibat Skandal Pungli di Rutan Sanksinya Minta Maaf

Tak ada yang dipecat, sebanyak 78 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disebut terlibat skandal pungutan liar (pungli) di rumah tahan

Editor: Salomo Tarigan
Tribunnews.com
Gedung KPK 

Eks penyidik dan mantan ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengaku terkejut saat mendengar bahwa 93 pegawai KPK diduga terlibat dalam kasus pungli. Menurut dia, jumlah tersebut sangat banyak dan turut merusak integritas, sistem dan kebersihan KPK.

“Kejadian ini menunjukan bahwa benar teori ikan busuk dari kepala. Setelah sebelumnya ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri juga terbukti melanggar etik berat dan menjadi tersangka kasus korupsi terkait Kementerian Pertanian.

“Kini, 93 pegawainya diseret ke sidang etik juga. Tentu ironis sekali apa yang terjadi di tubuh KPK ini,” kata Yudi kepada BBC News Indonesia, Minggu (14/01).

Lebih lanjut, ia berharap Dewas dan KPK dapat bersikap tegas dan jernih dalam menindak kasus tersebut. Sebab, menurut Yudi seharusnya KPK memiliki “zero tolerance” terhadap praktik korupsi, bukan malah terlibat melakukannya.

“Bagi saya, yang penting ungkap semua. Jangan ditutupi. Yang salah dihukum agar efek jera dan pecat agar tidak meracuni yang lain,” ujar Yudi.

Apa tanggapan pegiat dan pengamat antikorupsi?
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman, mengatakan dugaan 93 pegawai rutan yang melakukan pungli menunjukkan bahwa KPK sudah “hancur dari berbagai sisi”, mulai dari kepimpinan hingga pengawasan yang lemah.

“Dari sisi internal terjadi pengeroposan nilai integritas karena pimpinan KPK itu sendiri yang memberi contoh buruk. Dari sisi dasar hukum, KPK-nya sendiri bukan lembaga negara yang independensinya tinggi berdasarkan UU No. 19 2019, dari revisi Undang-Undang KPK,” kata Zaenur.

Oleh karena itu, menurut Zaenur KPK perlu “di-install ulang” dengan memecat para pegawai dan pimpinan yang terbukti melakukan pelanggaran serta melakukan review terhadap sistem yang ada.

“Kalau dulu KPK terkenal sangat kuat di dalam menjunjung nilai integritas, bahkan air putih saja ditolak kalau itu diberikan oleh pihak-pihak yang ada kaitannya dengan tugas KPK.

“Sekarang jangankan menolak air putih, bahkan keluarga dari tahanan pun dipungli, ini artinya sudah sangat jauh berbeda antara KPK dulu yang dibangun di atas nilai-nilai integritas,” ujarnya.

Ia khawatir bahwa jika terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu akan semakin jatuh. Tanpa adanya kepercayaan publik, KPK akan sulit melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif.

Berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada akhir Desember 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terendah kedua di antara beberapa lembaga negara.

Posisi lembaga antikorupsi ini berada sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan angka 58,8 persen.

“Karena pemberantasan tidak selalu dalam arti penindakan, tapi juga dalam arti pencegahan. Itulah karena tidak ada keteladanan, susah untuk memasarkan nilai-nilai integritas,” lanjut Zaenur.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan bahwa selama periode kepemimpinan Firli Bahuri, telah terjadi setidaknya tujuh pelanggaran, baik di tingkat pimpinan maupun pegawai. Hal ini, menurut Kurnia, menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal KPK sudah sangat lemah.

“Maka periode kepemimpinan komisioner KPK 2019-2024 ini menjadi yang terbanyak dan dulu kalau kita melihat belum ada Dewan Pengawas,” kata Kurnia.

Ia menilai pokok masalah berada pada revisi UU KPK, yakni UU No. 19 tahun 2019, yang sebelumnya mengatakan pengawasan KPK merupakan tugas Deputi Pengawas Internal dan pengaduan masyarakat.

“Bahkan, sudah ada dua instrumen pengawas, justru lebih buruk ketimbang yang dulu. Jadi ini menandakan ada permasalahan yang juga sudah kita sampaikan sebelumnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pimpinan KPK berfokus pada pembenahan internal, yakni perbaikan tata kelola kelembagaan KPK serta merevisi UU KPK dan mengembalikannya seperti semula agar KPK dapat bekerja secara independen.

“Masyarakat tentu tidak akan lagi menaruh kepercayaan pada lembaga KPK khususnya dalam aspek penegakan hukum. Karena dalam periode saat ini justru terjadi jual-beli pengaruh yang sudah ditunjukan secara terang-berderang,” kata Kurnia

Berikut daftar pelanggaran etik nilai integritas berdasarkan hasil riset ICW dalam periode 2020-2023:

Pengawal Tahanan KPK Inisial “TK“: Menerima gratifikasi dari tahanan KPK (2020).

Penyidik KPK Robin Pattuju: Berhubungan dengan pihak berperkara dan menerima suap (2021).

Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar: Berhubungan dengan pihak berperkara dan disinyalir menerima suap atau gratifikasi dari BUMN (2021).

Pegawai KPK Inisial “IGAS“: Mencuri barang sitaan berupa emas seberat 1,9 kilogram (2021).

Pegawai KPK Novel Aslen: Korupsi uang perjalanan dinas KPK (2023).

Pegawai Rutan KPK Mustarsidin: Perbuatan asusila dengan istri tahanan KPK (2023).

Pimpinan KPK Firli Bahuri: Berhubungan dengan pihak berperkara dan diduga menerima suap/gratifikasi serta melakukan pemerasan (2023).

Bagaimana KPK menanggapi skandal pungli di rutannya?

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan Dewan Pengawas akan segera menggelar sidang etik atas dugaan pelanggaran di rutan KPK. Sidang tersebut akan diselenggarakan secara independen

oleh Dewas sesuai tugas dan kewenangannya dalam UU 19 tahun 2019.

Hal ini, sambungnya, merupakan bagian dari komitmen untuk menjaga marwah kelembagaan KPK.

“Penanganan pelanggaran internal melalui penegakan etik, dugaan tindak pidana, penegakan disiplin, serta perbaikan tata kelola merupakan wujud komitmen kelembagaan KPK dalam menerapkan zero tolerance terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi,“ ujar Ali.

Terkait tudingan pimpinan Firli Bahuri yang menjadi salah satu faktor terjadinya pelanggaran tersebut, Ali mengatakan bahwa pungli rutan KPK diduga sudah terjadi sejak 2018.

“Sehingga tidak ada hubungan itu. Sekarang sedang berjalan etik, disiplin dan proses pidana. Tunggu saja prosesnya,“ kata Ali.

Ali mengatakan bahwa sejak awal memang sudah ada diskusi terkait UU KPK Nomor 19 tahun 2019 yang diminta untuk revisi kembali. Namun, ia menyebut KPK hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang tersebut dan tidak memiliki kewenangan mengubahnya.

“Andaikata pun sekarang undang-undang itu diubah, kami ikut dan tunduk pada undang-undang terbaru,“ ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan rumah tahanan (rutan) KPK kewenangannya berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Sehingga Kepala Cabang Rutan pun juga diangkat oleh Menkumham sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2983.

Selama periode 2012-2022, petugas rutan pun, katanya, merupakan pegawai tidak tetap (PTT) KPK. Baru pada 2021, PTT beralih status menjadi ASN KPK.

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

 Sumber: BBC Indonesia/Tribunnews.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved