Berita Viral

SOSOK DAN PROFIL Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ, Penjunjung Tinggi Etika dan Pakar Filsafat Politik

Romo Magnis lahir 26 Mei 1936 di Nurnberg, Bavaria, Jerman. Nama lahirnya ialah Maria Franz Ferdinand Graf von Magnis.

Editor: AbdiTumanggor
KOMPAS.com/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA
Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta R.P. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ berpose di Kampus Driyarkara, Kamis(19/1/2023). (KOMPAS.com/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA) 

Romo Magnis menjelaskan lima poin tentang pelanggaran-pelanggaran etika berkaitan dengan Pemilu 2024.

Pada poin keempat, ia menjelaskan tentang pembagian bansos, yang menurutnya bukan milik presiden melainkan Bangsa Indonesia. “Bansos bukan milik presiden melainkan milik bangsa Indonesia, yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian yang bersangkutan dan ada aturan pembagiannya,” kata Romo Magnis.

“Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko.”

Hal semacam itu, menurutnya, merupakan pencurian dan pelanggaran etika. Hal itu juga menjadi tanda bahwa seorang presiden sudah kehilangan wawasan etika dasar tentang jabatannya.

“Yaitu kekuasaan yang ia miliki bukan untuk melayani diri sendiri melainkan untuk melayani seluruh masyarakat,” kata Romo Magnis.

Pada poin pertama, Romo Magnis menilai lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres merupakan pelanggaran etika berat.

“Pendaftaran Gibran sebagai cawapres, oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dinilai pelanggaran etika berat,” jelasnya.

Sebab, Majelis Kehormatan MK menetapkan putusan MK yang memungkinkan Gibran mendaftar sebagai cawapres, sebagai pelanggaran etika yang berat.

“Sudah jelas, mendasarkan diri pada suau keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika berat sendiri,” tutur Romo Magnis.

“Penetapan seseorang sebagai calon wakil presiden yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat.”

Pada poin kedua, ia menyebut presiden boleh saja mengatakan bahwa ia mengharapkan salah satu calon menang.

“Tetapi saat ia memakai kedudukannya, kekuasaannya untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain untuk mendukung salah satu paslon serta menggunakan kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, ia secara berat melanggar tuntutan etika, bahwa ia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara termasuk semua politisi.”

Poin ketiga yang disampaikan Romo Magnis adalah soal nepotisme. Dia menyebut jika seorang presiden memakai kekuasaan untuk menguntungkan keluarganya sendiri, hal itu merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Sebab, kata dia, itu membuktikan bahwa presiden tersebut tidak mempunyai wawasan presiden, di mana seharusnya hidupnya untuk memikirkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri sendiri dan keluarganya.

Dalam poin kelima, Romo Magnis menjelaskan tentang manipulasi dalam proses pemilu. “Yang jelas kalau proses pemilu dimanipulasi, itu merupakan pelanggaran etika berat karena merupakan pembongkaran hakikat demokrasi. Misalnya kalau waktu untuk memilih diubah, atau perhitungan suara dilakukan dengan cara yang tidak semestinya.”

“Praktik semacam itu memungkinkan kecurangan terjadi, yang sama dengan sabotase pemilihan rakyat, jadi suatu pelanggaran etika yang berat,” ucapnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved