Tribun Wiki
Perlukah Panggilan Pak Haji dan Bu Hajjah Bagi Orang yang Pernah Menunaikan Ibadah Haji
Panggilan Pak Haji dan Bu Hajjah sering kali disematkan pada orang yang baru saja menunaikan ibadah haji. Lantas seberapa penting?
Sisi negatifnya, panggilan Haji mungkin akan menjerumuskan muslim dalam sifat yang merugikan, seperti sifat membanggakan diri.
"Akhirnya kesombongan dapat merusak jiwa hajinya yang semestinya orang yang sudah berhaji harus semakin rendah hati dan tidak merasa tinggi hati pada orang lain," tutur Miftahul.
Baca juga: Inilah Daftar Biaya Perjalanan Ibadah Haji Embarkasi Medan dan Tahapan Pelunasannya
Asal-usul gelar Haji, pemberian Belanda sebagai penanda
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri mengungkapkan, penyematan gelar Haji semula hanya ada di Indonesia.
"Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/5/2023).
Gelar Haji kemudian berkembang di daerah Melayu, terutama di Brunei Darussalam dan Malaysia.
Syamsul menerangkan, panggilan Haji dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hindia Belanda mengesahkannya.
Kendati demikian, penyematan gelar ini secara resmi dan formal baru dilakukan pada 1916, dengan dasar aturan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.
"Jadi bedakan gelar formal Haji sekarang pakai H, dengan Haji sebagai panggilan. Kalau panggilan, sejak zaman kuno pun sudah ada," ungkapnya.
Baca juga: 5 Tips Menjaga Kesehatan Bagi Jemaah Haji di Tanah Suci Menurut Epidemiolog
Menurut Syamsul, pemerintah kolonial menyematkan gelar Haji untuk menandai mereka yang kemungkinan terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme.
Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme ini dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.
Paham ini bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat muslim menggelar ibadah haji.
Apalagi, kata Syamsul, orang beribadah haji pada zaman dulu menghabiskan waktu sangat lama hingga bertahun-tahun.
"Karena di sana sambil mengaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," ujarnya.
Seiring menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
"Musuh Belanda dua, komunis dan Pan-Islam, yang membahayakan kolonial. Para Haji dicurigai terkontaminasi pikiran Pan-Islamisme ketika di Mekkah, maka gelar Haji menjadi penting bagi Belanda," paparnya. (*)
(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.