Berita Nasional
Menteri Sri Mulyani Bersikukuh Berlakukan PPN 12 Persen, Berdalih Amanat UU demi APBN Tetap Sehat
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersikukuh menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Sementara penerimaan pajak sektor pertambangan turun signifikan, sebesar 41,4 persen secara netto dan 28,3 persen secara bruto.
Pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen.
"Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang," terang Kholid.
Dampak Kenaikan PPN
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah menetapkan PPN 12 persen akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut dia, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN tentunya akan menambah biaya produksi.
"Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, maka otomatis akan terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024).
Karena kenaikan satu produk ke produk yang lain akan memiliki implikasi terhadap double counting dalam perhitungan PPN. Di mana ketika barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan yang terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.
“Kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Dan dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” beber Tauhid.
Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10 persen ke 11 persen, ada tambahan penerimaan negara di atas Rp 100 triliun.
Akan tetapi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.
Terkait dengan hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah menunda kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi.
Sebab, di banyak negara, PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen.
“Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi agar diperluas bukan kepada kenaikan tarif PPN itu sendiri, namun upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan intensifikasi kenaikan PPN tersebut. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen,” katanya.
PPN 12 persen
Menteri Keuangan
Sri Mulyani
PPN 12 persen mulai Januari 2025
Pajak Pertambahan Nilai
6 Lembaga Bentuk Tim Independen Pencari Fakta Demo Agustus, Telusuri Kekerasan TNI-Polri |
![]() |
---|
Masih Berlanjut, Teror Untuk Keluarga Arya Daru Dikirim Simbol di Makam, Minta Perlindungan LPSK |
![]() |
---|
Kekayaan Dave Laksono, Anggota DPR RI 3 Periode, Viral Lagi Usai Disindir Ferry Irwandi |
![]() |
---|
Kecewa Berat, Sri Mulyani Telepon 2 Sosok Ini Sebelum Rumah Dijarah Tapi Tak Diangkat |
![]() |
---|
Dibongkar KPK, Sumber Uang Korupsi Diterima Lisa Mariana dari Ridwan Kamil, Ternyata Dana Iklan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.