catatan sepakbola

Ahmad Dhani dan Pemikirannya yang Bodoh dan Berbahaya

Apakah Ahmad Dhani menganggap para pemain atau mantan pemain sepak bola ini serupa ayam aduan hingga bisa dikawinkan begitu rupa?

|
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
capture youtube kompas tv
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Dhani Prasetyo, saat memberikan pendapat pada sidang proses naturalisasi tiga pemain untuk Tim Nasional Indonesia di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025). DPR RI menyetujui naturalisasi ketiga pemain yang diajukan oleh PSSI. 

PSSI menambah tiga pemain berdarah campuran (Indonesia + Belanda dan Indonesia + Italia), dan para anggota DPR RI, lewat sidang Komisi X dan XIII yang digelar pada Rabu, 5 Maret 2025, menyetujuinya dengan suara bulat –dan disahkan lewat sidang papripurna sehari berselang.

Kabar yang tentu saja menggembirakan lantaran dengan keberadaan tiga pemain ini; Joey Mathijs Pelupessy, Dean Ruben James, dan Emil Auderio Mulyadi, kekuatan skuat Indonesia untuk menghadapi dua laga krusial Kualifikasi Piala Dunia 2026 versus Australia dan Bahrain, akan makin mumpuni.

Itu kabar gembiranya. Di lain sisi, ada juga juga kabar miris. Persisnya, kemunculan hal-hal miris yang membuat kabar gembira tadi jadi sedikit tergerus. Seperti sudah mencuat sejak PSSI mengusulkan naturalisasi gelombang pertama; Sandy Walsh dan Jordy Amat Maas, diikuti Ivar Jenner, Rafael Struick, dan Justin Hubner, ada saja anggota DPR RI yang meletupkan pernyataan-pernyataan yang secara terang dan jelas menunjukkan betapa mereka “tidak tahu bola” dan –terlebih-lebih– tidak memahami aturan FIFA.

Namun di antara semua ketidaktahuan dan ketidakpahaman ini sebelumnya, rasa-rasanya memang belum ada yang mendekati level Ahmad Dhani Prasetyo. Ketidaktahuan dan ketidakpahamannya perihal sepak bola, wa bil khusus mekanisme naturalisasi, sungguh di luar “nalar”. Sebab tidak hanya bodoh, rangkaian kalimat yang keluar dari mulut Dhani, yang lolos ke Senayan lewat Partai Gerindra, juga berbahaya.

Kita tengok yang bodoh dulu. Ahmad Dhani, dalam sidang yang dipancarluaskan ke seluruh penjuru Tanah Air lewat saluran YouTube Parlemen, bilang begini: “pemikirannya ini agak out of the box, Pak Erick, tapi bisa dianggarkan untuk 2026 programnya. Jadi pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi dan mungkin yang duda, kita carikan jodoh di Indonesia, Pak.”

Ia kemudian menyinggung pemain dari Arab, Aljazair, sampai Maroko, sebagai sasaran naturalisasi. Alasannya, pemain-pemain [atau mantan pemain] dari negara-negara ini umumnya beragama Islam, hingga –menurut Ahmad Dhani– bisa memiliki istri sampai empat orang.

Dhani bilang: “Kita naturalisasi, carikan istri di sini, lalu anaknya kita bina, Pak.”

Terus terang, saya menonton siaran langsung sidang ini sejak awal tapi langsung memindahkan saluran ketika Ahmad Dhani berbicara. Dia hebat, bahkan boleh dibilang termasuk maestro untuk urusan musik dan lagu. Terdepan di jajaran musisi-musisi jenius negeri ini. Terbaik dari kumpulan terbaik.

Namun untuk perkara-perkara lain, terlebih-lebih yang berkaitpaut politik, sudah sering kali terbukti ucapan-ucapannya sekadar ocehan yang tidak cuma kosong tapi juga nyeleneh menjurus bodoh. Kali ini soal olahraga, soal sepak bola, dan saya memang sebenar-benarnya tidak ingin mendengar ocehan seperti ini di sidang yang serius tersebut.

Ternyata, memang demikian adanya. Segera setelah sidang berakhir, halaman-halaman media sosial, terutama sekali di Instagram dan X (dulunya Twitter), melesat-lesat komentar yang rata-rata menyorot tajam kalimat-kalimat Dhani.

Pemikirannya ini memang out of the box. Bahkan sangat out of the box hingga jatuhnya justru jadi terkesan “kurang waras”. Apakah Ahmad Dhani menganggap para pemain atau mantan pemain sepak bola ini serupa ayam aduan hingga bisa dikawinkan begitu rupa? Apakah ia memandang pemain-pemain dan mantan pemain itu sebagai semacam sapi pejantan, hingga satu orang bisa sodorkan kepada empat perempuan Indonesia? Apakah Ahmad Dhani mengira PSSI merupakan semacam lembaga perjodohan?

Selain bodoh, kalimat ini sekaligus berbahaya lantaran –sadar tak sadar– jadi penghinaan besar kepada perempuan-perempuan Indonesia sendiri. Apakah Ahmad Dhani tidak mempertimbangkan perasaan perempuan sebagai manusia yang memiliki perasaan, kehendak, dan tujuan-tujuan hidup yang lebih kompleks dari sekadar menjadi “ayam petelur”?

Pernah terbetik kisah mengenai Yao Ming, legenda basket China. Yao Ming lahir dari pernikahan Yao Zhiyuan dan Fang Fengdi. Keduanya pemain basket. Yao Zhiyuan memiliki tinggi badan 2,08 meter, sedangkan Fang Fengdi yang dua tahun lebih tua, berpostur 188 meter.

Konon, pelatih yang pernah menangani mereka dalam pemusatan latihan satu klub di Kota Shanghai, menyarankan agar keduanya membuka diri untuk satu hubungan asmara. Sebangsa perjodohan halus. Mereka kemudian menikah, dan pada 12 September 1980, Yao Ming lahir.

Kisah ini disebut-sebut sebagai “true story” meski sampai hari ini belum terbukti kesahihannya. Terlepas dari benar tidaknya, satu titik krusial dalam kisah, adalah betapa hubungan Yao Zhiyuan dan Fang Fengdi berangkat dari cinta juga. Sama sekali berbeda dengan usulan Ahmad Dhani. Apakah ia tidak ingat betapa kita hidup di negeri yang sarat dengan adat budaya?

Belum cukup, Ahmad Dhani, menggeber kalimat berbahaya yang lain. Kalimat yang (lagi-lagi) secara terang dan jelas menyenggol isu sensitif, rasisme. Perhatikan kalimatnya: “Kurangilah pemain yang bule, dalam tanda kutip yang rasnya bule ya, rambut pirang, mata biru karena menurut saya untuk Indonesia itu kurang enak dilihat.”

Lalu dia bilang lagi seperti ini: “(jika pemerintah akan kembali melakukan naturalisasi), kalau bisa dicari yang mungkin rasnya mirip-mirip kita, entah itu dari Korea atau dari Afrika yang mirip-mirip kita. Enggak masalah banyak, yang penting warna kulitnya masih sama seperti kita.”

Pertanyaannya, ‘yang mirip-mirip kita’ itu yang bagaimana? Apaah yang berkulit cokelat sawo matang, bermata dan berambut hitam?

Ahmad Dhani bicara soal ‘colour’, persisnya, perbedaan dan persamaan warna dalam sepak bola. Sesuatu yang justru sedang diperangi. FIFA menegaskan, tidak ada hitam dan putih dalam sepak bola. Tidak ada kulit berwarna. Tidak ada warna biru, hitam, coklat, kehijauan, dan sebagainya dan sebagainya pada mata. Tidak ada rambut blonde lurus atau hitam keriting.

Sebagai mahluk, Tuhan menciptakan manusia dengan perbedaan warna, tapi di lapangan sepak bola, warna dipandang sama. Satu-satunya warna yang berbeda adalah jersey yang dikenakan pemain.

Apakah Ahmad Dhani tidak memahami ini? Saya kurang tahu. Mungkin saja dia tidak paham. Namun pastinya dia memang tak memahami dua perkara lain yang juga penting: regulasi FIFA dan rekam jejak naturalisasi.

Kalimat ‘entah itu dari Korea atau dari Afrika’, pada dasarnya sudah dilakukan PSSI. Ada nama Yu Hyun-koo, Yoo Jae-hoon, dan Lee Yu-jun. Afrika? Jumlah mereka banyak sekali. Empat di antaranya pernah mengenakan kostum Tim Nasional yakni Osas Saha, Bio Paulin, Victor Igbonefo, dan Greg Nwokolo.

Pemain-pemain ini dinaturalisasi lewat mekanisme masa tinggal. Saat dinaturalisasi, Osas, Bio, Victor, dan Greg telah tinggal menetap di wilayah Negara Republik Indonesia selama lima tahun beruntun. Jika tidak beruntun, naturalisasi tetap bisa dilakukan dengan syarat lama tinggal kumulatif minimal 10 tahun.

Jadi, untuk bisa menaturalisasi pemain-pemain yang ‘entah itu dari Korea atau dari Afrika’ ini diperlukan syarat waktu tinggal. Oleh sebab itu, demi percepatan peningkatan kualitas tim nasional, PSSI menempuh jalan lain yang juga terdapat dalam regulasi FIFA.

PSSI mencari pemain-pemain diaspora, yang berada di luar negeri dan memiliki darah Indonesia. Dengan kata lain, pemain-pemain seperti Pelupessy, James, dan Emil, bukan bule-bule asing. Mereka half blood. Dalam diri mereka mengalir darah puak-puak nusantara.

Apakah Ahmad Dhani tidak paham? Sekali lagi saya tidak tahu. Namun satu yang pasti, setidaknya bagi saya, sebagai wakil rakyat yang digaji dengan uang rakyat (terlepas dia mengambilnya atau tidak), sebaiknya ke depan akan lebih baik baginya untuk mewujudkan tipikal wakil rakyat dalam lagu Iwan Fals. Datang, duduk, diam, kalau perlu mengantuk lalu terlelap.

Sungguh, ketimbang mengocehkan hal-hal yang menunjukkan ketidaktahuan dan ketidakpahaman, tidur adalah sebaik-baiknya sikap.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved