Sumut Terkini
Seluruh Pabrik Pengelola Karet di Sumut Terancam Tutup Permanen, Ini Dampaknya
Karet pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada 1864 oleh Hofland di Kebun Raya Bogor.
Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Seluruh pabrik pengolahan karet di Sumatera Utara (Sumut) terancam tutup permanen jika rencana konversi lahan karet menjadi sawit dilaksanakan.
Ancaman ini disampaikan Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah, yang memperingatkan dampak luas terhadap ekonomi, ketenagakerjaan, hingga posisi strategis Indonesia di pasar karet global.
Karet pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada 1864 oleh Hofland di Kebun Raya Bogor.
Sejak 1902, karet berkembang menjadi komoditas unggulan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Pada 1968, Indonesia mulai mengolah karet lembaran menjadi crumb rubber (karet remah) atas inisiatif Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan saat itu.
"Karet bukan sekadar komoditas perkebunan, tapi bahan baku strategis untuk industri ban, alat kesehatan, dan otomotif. Indonesia pernah menjadi penyumbang devisa terbesar dari sektor ini," kata Edy.
Meski permintaan global meningkat 2,3 persen pada 2024 didorong industri otomotif dan manufaktur pemerintah justru berencana mengonversi 2,7 juta hektare lahan karet menjadi sawit.
Kebijakan ini dinilai mengancam ekosistem karet yang dibangun lebih dari satu abad.
Edy memaparkan enam dampak kritis jika konversi lahan karet direalisasikan. Pasokan Bahan Olah Karet (BOKAR) dari petani dan perkebunan akan menyusut, membuat pabrik crumb rubber tak bisa beroperasi.
"Rantai pasok dari hulu ke hilir terputus, aktivitas ekonomi puluhan tahun berhenti," ujarnya.
Ratusan ribu pekerja mulai dari karyawan pabrik hingga tenaga harian terancam di-PHK. Usaha mikro seperti warung, angkutan, dan logistik lokal juga kolaps. "Daya beli masyarakat turun, kemiskinan struktural meningkat," tegas Edy.
Petani di dataran tinggi atau lahan marginal tidak bisa beralih ke komoditas lain. "Mereka akan tersingkir saat pabrik tutup dan akses pasar hilang," jelasnya.
Indonesia memiliki 14 pabrik ban yang bergantung pada karet remah lokal. Jika pasokan berkurang, industri terpaksa impor biaya produksi melonjak, daya saing melemah.
Sebagai eksportir karet terbesar kedua dunia, Indonesia anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC). "Jika produksi turun, posisi tawar kita di pasar internasional melemah," kata Edy.
Lebih dari 170 ribu petani, puluhan pabrik, dan industri hilir (ban, sarung tangan, alas kaki) akan terdampak. "Ini bukan hanya masalah sektor primer, tapi seluruh ekosistem industri," tegasnya.
Test Urin Bagi Puluhan Driver Event Aquabike 2025, Begini Keterangan AKBP Hendri Barus |
![]() |
---|
Vonis Mati Zulham, Keluarga Histeris di Ruang Sidang PN Kisaran, Sebut-sebut Nama Eks Oknum Petugas |
![]() |
---|
Disnaker Siantar Temui Pekerja Informal di 8 Kecamatan,Serahkan Kartu BPJS Ketenagakerjaan |
![]() |
---|
Target Medali Emas di Porprovsu 2026, Muti Terus Mengasah Kemampuan Diri Sebagai Atlet Petanque |
![]() |
---|
Pengacara Sebut Pandu Minum Obat Resep Tukang Kusuk Sebelum Tewas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.