Akhirnya, ia sempat bertemu dengan pemilih-pemilih di Madura yang mengatakan agar jangan menghubung-hubungkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) saat berkampanye.
"Akhirnya ketemu sama pemilih-pemilih yang mengatakan, "Pak kalau mau didukung pilegnya jangan bawa-bawa pilpres. Nah, ini kan real yang ada di masyarakat. Terbukti ternyata di hasil pemilunya di setiap kabupaten Ganjar-Mahfud kalah," katanya.
Pembubaran FPI
Awiek menduga kasus perobekan wajah Mahfud MD lantaran adanya warga Madura yang kecewa dengan sosok Mahfud.
Diketahui, warga Madura termasuk salah satu masyarakat yang kuat dalam hal keagamaan.
Mereka akan menjadi garda terdepan membela Islam bila agama tersebut disentuh.
Meskipun, kata Awiek, bukan berarti semua orang Madura taat dalam menjalankan ritual praktik keagamaan.
"Nah, rupanya setelah saya telusuri yang diduga mengganggu itu, orang-orang yg kecewa dengan keputusan pemerintah pembubaran FPI (Front Pembela Islam)," ujarnya.
Mahfud MD kala itu yang mengumumkan pembubaran tersebut.
Padahal, kata Awiek, sejatinya keputusan pembubaran itu bukan ditandatangani oleh Mahfud MD.
"Berkali-kali kami sampaikan bahwa yang tandatangan SK itu adalah Mendagri, Menkominfo, Menteri Agama. Menkominfo waktu itu Johnny G Plate dari Nasdem mengusung Anies," jelasnya.
Kendati sudah diberi penjelasan, orang Madura tetap tidak memercayainya.
"Tapi orang-orang Madura lebih pinter lagi, mereka bilang "kan koordinatornya pak Mahfud", itu yang selalu dijadikan bahan di bawah," pungkasnya.
Profil Mahfud MD
Pemilik nama asli Mohammad Mahfud Mahmodin ini merupakan seorang akademisi, hakim, dan politisi kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur pada 13 Mei 1957.
Ia mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar negeri dan mengikuti pendidikan keagamaan di madrasah ibtidaiyah milik Pondok Pesantren Al-Mardhiyyah. Kemudian, ia pindah ke Pondok Pesantren Somber Lagah.