Rapidin menatap anak-anak itu dengan mata berkaca-kaca.
Ia memahami bahwa ini bukan hanya soal konflik lahan—ini tentang hak anak-anak untuk merasa aman, untuk bermain tanpa rasa takut, untuk tumbuh dalam lingkungan yang layak.
"Kita tidak boleh membiarkan hal seperti ini terus terjadi," tegasnya.
"Saya tidak mengenal pelaku maupun ayah korban secara pribadi, tapi saya melihat ini sebagai sesama warga negara. Ini soal kemanusiaan,"pungkasnya.
Menjawab Tribun, Rapidin mengatakan knjungan ini bukan sekadar bentuk empati, tetapi juga sinyal bahwa ada harapan bagi keluarga Ambarita.
Rapidin berjanji untuk membawa permasalahan ini ke tingkat yang lebih tinggi, agar keadilan dan keamanan bagi anak-anak ini bisa segera terwujud.
TANGIS PILU RENTINA SIHOTANG
Diberitakan sebelumnya, tangis pilu satu keluarga di tepi Danau Toba, di sekeliling rumahnya dikeruk orang lain yang diduga lebih memiliki kemampuan materi.
Peristiwa di luar kemanusiaan ini terjadi ini Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Senin (21/1/2025).
Bukan hanya rumah mereka yang dikelilingi parit besar hasil pengerukan tanah, tetapi lebih dari itu, anak-anak kecil mereka terperangkap dalam ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka setiap hari.
Rumah itu ditinggali keluarga Darma Ambarita.
Rentina Sihotang, istri Ambarita, menceritakan kejadian ini, matanya dipenuhi rasa cemas.
Namun, yang paling menyentuh tentang kedua putri kecilnya, yang kini hanya bisa merasakan ketakutan yang mendalam akibat kejadian tersebut.
Rumah mereka yang sebelumnya aman dan nyaman, kini bagaikan sebuah pulau kecil yang terkurung dalam parit, seperti sebuah penjara yang tak terlihat, tapi sangat nyata bagi hati anak-anaknya yang rapuh.
"Setiap kali anak-anak saya mendengar suara keras, mereka langsung menangis ketakutan.