Polda Sumut

Kisah Kepala Desa Parbuluan 6 Dairi Diserang Picu Warga Ngungsi, Mediasi Polisi Akhiri Ketegangan

Sejumlah warga Parbuluan VI—anak-anak, ibu-ibu, hingga para lansia—berdesakan di GOR Sidikalang, membawa tikar

Editor: Arjuna Bakkara
IST
Sejumlah warga Parbuluan VI—anak-anak, ibu-ibu, hingga para lansia—berdesakan di GOR Sidikalang, membawa tikar, selimut, dan tas seadanya setelah meninggalkan rumah mereka pada malam mencekam. Raut lelah dan cemas masih tampak, terutama pada anak-anak yang menggenggam tangan orang tuanya erat. Namun ketegangan itu kini mereda; polisi telah memediasi dua kelompok yang berseteru, dan situasi di desa dilaporkan kembali kondusif. 

TRIBUN-MEDNA.COM, DAIRI-Malam itu, angin Parbuluan VI tak lagi terasa ramah.

Dari balik dinding rumahnya, Kepala Desa Parbuluan VI, Parasian Nadeak, berdiri kaku bersama keluarganya, Jumat (14/11/2025). 

Suara berdebam dari luar terdengar semakin dekat, semakin kasar.

Ia mengintip dari pintu belakang dan seketika tahu malam itu bukan malam biasa.

“Di halaman sudah banyak orang,” ujarnya kemudian, dengan suara yang masih menyimpan getar.

“Dipukulilah rumah ini sambil memanggil-manggil namaku. Keluar kau Parasian, hari ini kau harus mati,"katanya lagi menirukan.

Lemparan mulai berdatangan. Kaca pecah. Seng dan dinding rumah bergetar seperti dipukul palu berat. Parasian mengenali beberapa wajah, namun tidak semua.

Rumah itu seakan menjerit, ketika pintu harmonika akhirnya jebol dipaksa.

Sekitar sepuluh orang menerobos masuk, merusak dinding pemisah garasi dan ruang tamu.

Di dalam kamar, Parasian menggenggam ponselnya eratv satu-satunya harapan malam itu.

“Saya menelepon polisi sambil gemetar,” katanya.

Parasian Nadeak
Kepala Desa Parbuluan VI bersama sejumlah warga Parbuluan VI terdiri dari anak-anak, ibu-ibu, hingga para lansia—berdesakan di GOR Sidikalang, membawa tikar, selimut, dan tas seadanya setelah meninggalkan rumah mereka pada malam mencekam. Raut lelah dan cemas masih tampak, terutama pada anak-anak yang menggenggam tangan orang tuanya erat. Namun ketegangan itu kini mereda; polisi telah memediasi dua kelompok yang berseteru, dan situasi di desa dilaporkan kembali kondusif.

Tak lama, cahaya lampu mobil patroli menerobos pekat malam Parbuluan VI.

Kapolsek datang langsung, menjemput Parasian dan keluarganya ke luar dari rumah yang porak-poranda.

Malam yang mencekam itu akhirnya membawa mereka ke tempat yang tak pernah disangka mengungsi ke Polres Dairi.

“Sampai di Polres, saya bilang ke Kapolres, tolong arahkan dulu saya bagaimana kejadian ini. Kami berlindung di sana agar aman,” kata Parasian.

Keesokan paginya, situasi semakin terasa berat. Wakil Bupati, Ketua DPRD, dan Camat datang menjenguk.

Atas pertimbangan keamanan, Parasin dan ratusan warganya akhirnya direlokasi sementara ke GOR Sidikalang. Desa Parbuluan VI seperti kehilangan napasnya.

Namun di tengah kecemasan itu, Parasian tetap menyimpan satu hal aitu rasa terima kasih.

“Kapolres sudah bertindak cepat menyelamatkan kami. Kami berterima kasih,"ujarnya pelan.

Peristiwa itu bukan datang dari ruang kosong. Warga memahami bahwa ketegangan sosial belakangan ini muncul dari perbedaan pandangan terkait operasional PT Gruti isu yang membelah opini desa.

Di antara kerumunan massa malam itu, warga mengaku mengenali sebagian wajah. Namun ketakutan lebih besar dari kejelasan.

Seorang warga yang ikut mengungsi berkata lirih, “Kami benar-benar merasa terancam. Kalau tidak ke Polres, entah apa yang terjadi.”

Seorang lansia, Ruslan Sagala (62), bahkan nyaris terkena amukan saat rumah tempat ia menjaga cucunya ikut menjadi sasaran.

Kejadian itu mengubah kekhawatiran menjadi kepanikan kolektif.

Di titik itu, warga hanya membutuhkan satu hal jaminan bahwa konflik tidak akan kembali menyala.

 Sabtu (15/11/2025), tepat satu minggu setelah malam yang gaduh itu, Parbuluan VI tersadar pada pagi yang berbeda.

Tidak ada kerumunan marah, tidak ada teriakan. Hanya satu posko sederhana di Dusun V Hite Hoting, tempat langkah-langkah menuju rekonsiliasi disiapkan.

Di sinilah Polres Dairi mengambil peran yang lebih sunyi namun menentukan.

Kasat Binmas, Iptu G Limbong, membuka ruang mediasi. Nada suaranya tegas, namun tidak menggurui.

“Tujuan kita satu,” ia berkata, “mengakhiri konflik sosial yang sudah terlalu lama membebani masyarakat Parbuluan VI.”

Di hadapan polisi, perangkat desa, dan tokoh masyarakat, dua kelompok yang sebelumnya saling berseberangan akhirnya duduk berhadapan.

Suasana awalnya tegang, namun perlahan melebur. Kelompok Tani Pangihutan Sijabat mengulurkan permintaan maaf kepada Parasian Nadeak dan keluarganya.

Langkah yang tak mudah, namun penting.

Parasian menerimanya. Dengan kepala tegak, tanpa dendam yang menetes dari ucapannya.

“Permintaan maaf saya terima,” katanya. Namun ia menambahkan dengan bijak, “Proses hukum tetap berjalan. Agar semua belajar dan kejadian seperti ini tidak terulang,"tambahnya lagi.

Polres menutup mediasi itu dengan satu pesan menjaga damai lebih berat daripada memulainya. Namun hari itu, warga Parbuluan VI terbukti siap.

“Situasi berjalan aman dan khidmat,” ujar Iptu Limbong. “Semoga tidak ada lagi konflik setelah ini,"kata Limbong berharap.

Kini, setelah gelombang kecemasan berlalu, Parbuluan VI mulai berangsur menemukan ritmenya kembali.

Pengungsi di Gor sidikalang
Sejumlah warga Parbuluan VI—anak-anak, ibu-ibu, hingga para lansia—berdesakan di GOR Sidikalang, membawa tikar, selimut, dan tas seadanya setelah meninggalkan rumah mereka pada malam mencekam. Raut lelah dan cemas masih tampak, terutama pada anak-anak yang menggenggam tangan orang tuanya erat. Namun ketegangan itu kini mereda; polisi telah memediasi dua kelompok yang berseteru, dan situasi di desa dilaporkan kembali kondusif.

Rumah-rumah yang sempat kosong kembali dihuni, dan jalan yang seminggu sebelumnya dipenuhi isu kini kembali pada suara ayam dan angin.

Konflik itu meninggalkan pelajaran bahwa ketegangan sekecil apa pun dapat membesar tanpa kendali, dan bahwa kehadiran aparat yang cepat, adil, dan netral dapat menjadi penyangga penting di tengah masyarakat yang terbelah.

Kisah ini pun menyisakan satu pesan dari Parasian Nadeak, kepala desa yang malam itu hampir kehilangan segalanya namun memilih untuk tetap mengembalikan semuanya ke jalan damai.

“Yang penting kini, warga bisa tenang. Damai itu harus dijaga bersama,"ujarnya.(Jun-tribun-medan.com).

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved