TRIBUN WIKI
Pemena, Agama Pertama Suku Karo yang Mulai Tergerus Zaman
Pemena adalah sistem kepercayaan atau agama pertama yang dianut oleh masyarakat suku Karo di Sumatera Utara.
TRIBUN-MEDAN.COM,- Suku Karo adalah salah satu kelompok etnis Batak yang menetap di Tanah Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Mereka termasuk salah satu suku terbesar di provinsi itu, bahkan nama mereka dijadikan nama kabupaten di Sumatera Utara.
Walau mayoritas warga Karo saat ini memeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, atau Islam, kepercayaan tradisional mereka yang dikenal dengan sebutan Pemena (atau Pamena) masih dijaga dan dipraktikkan.
Baca juga: Sejarah Hamparan Perak, Kampung yang Dibuka Datuk Setia Raja Tahun 1823
Kepercayaan Pemena menghormati roh leluhur dan menjaga keseimbangan dengan alam.
Menurut sejumlah literatur, kepercayaan Pemena memiliki kemiripan dengan agama Hindu, terutama dalam aspek ritual keagamaan.
Terkelin Sembiring, warga Lingga, Kabupaten Karo, menyebut Pemena sebagai “Kiniteken Pemena”, yang artinya agama pertama suku Karo.
Jumlah penganut Pemena tersebar di daerah Karo, Medan, Deliserdang, dan Langkat terus menurun.
Konsentrasi terbesar masih berada di wilayah Kabupaten Karo, seperti Batukarang, Lingga, dan Sukanalu.
Baca juga: Sejarah Bangunan Balai Kota Lama Medan yang Kini Jadi Hotel Grand City Hall Medan

Pemena sebagai Ajaran Asli
Pemena adalah aliran kepercayaan tradisional masyarakat Karo, bisa dikatakan agama asli atau kepercayaan leluhur.
Ia menganut sistem politeisme dan dinanisme, dan berperan serupa dengan kepercayaan Parmalim di Tanah Batak.
Bedanya dengan Parmalim, Pemena tidak terlalu banyak muncul di media; Parmalim lebih vokal dan lebih menuntut pengakuan formalnya.
Meskipun Parmalim mengklaim jumlah pengikutnya sekitar 6.000 di seluruh Indonesia, jumlah pemeluk Pemena jauh lebih kecil diperkirakan sekitar 800 orang.
Baca juga: Sejarah Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang Sudah Berdiri Satu Abad yang Dilaporkan Ambruk
Walau begitu, Pemena masih ada di beberapa wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Deliserdang, dan Kabupaten Langkat. Ada pula pemeluknya yang sudah pindah ke kota seperti Medan, tetapi tetap menjaga kepercayaannya.
Misalnya, di beberapa jambur, balai pertemuan masyarakat Karo di Kota Medan, masih dilakukan ritual pernikahan anak kecil yang disebut Cabur Bulung.
Ritual ini menyerupai pernikahan orang dewasa, tetapi bukan untuk tujuan memiliki keturunan; melainkan sebagai bagian dari pengobatan penyakit atau permohonan maaf.
Baca juga: Sejarah G30S PKI, Kisah Kelam yang Menewaskan Sejumlah Jenderal TNI
Tantangan Politik dan Sosial
Di arena demokrasi, seperti pemilu dan partai politik, masyarakat Pemena terlibat sering kali hanya sebatas janji.
Ada partai‐partai yang menyatakan akan memperjuangkan hak minoritas kepercayaan, namun pengakuan formal dan akses politik nyata masih terbatas.
Bahkan keikutsertaan untuk memperjuangkan pemeluk kepercayaan tradisional sering tidak diizinkan.
Baca juga: Legenda Meriam Puntung: Warisan Sejarah Putri Hijau yang Tersisa di Sumatera Utara
Kepercayaan tradisional seperti Pemena seharusnya tidak membuat pemeluknya diperlakukan berbeda.
Pemimpin masa depan dituntut mampu memastikan bahwa warga pemeluk kepercayaan minoritas mendapat hak yang setara dengan masyarakat lainnya.

Sejarah Singkat dan Proses Perkembangan
Budayawan dan antropolog Karo, Juara R. Ginting, menyebut bahwa Pemena muncul lewat proses sejarah dan politik.
Dahulu ketuanya adalah almarhum Jasa Tarigan.
“Ya memang seperti itu. Dulu ketuanya itu almarhum Jasa Tarigan. Sekarang tidak tahu lagi bagaimana nasib komunitas mereka. Jumlahnya mungkin ada ratusan,” kata pria yang kini sedang menetap di Belanda ini.
Baca juga: 10 Masjid Tertua di Indonesia yang Menjadi Sejarah Perjalanan Islam di Nusantara
Dalam buku Hinduism Modern Indonesia, dijelaskan bagaimana Pemena masuk ke dalam masyarakat Batak Karo dan bagaimana kepercayaan itu berkembang.
Pada awalnya diakui, namun belakangan muncul tarik menarik dan politisasi terhadap ajaran Hindu, sehingga banyak pengikut Pemena menarik diri dan membentuk komunitas sendiri.
Sebagian kecil masyarakat Pemena membentuk organisasi seperti Persatuan Pengobatan Tradisional Karo dan Arisen Perjenujung Deleng Sibayak.
Sebagian besar lainnya memeluk agama-agama yang diakui pemerintah, seperti Kristen Protestan, Katolik, Pantekosta, Advent, dan Islam.
Baca juga: Sejarah Siantar Hotel, Saksi Bisu Kota Siantar Sejak Masa Kolonial
Asal‐usul dan Pengaruh Hindu
Ada pendapat yang menyebut bahwa pengaruh Hindu dari India Selatan sudah hadir sejak awal era Masehi ke masyarakat Karo, termasuk diperkenalkannya aksara Palawa.
Ditemukan inskripsi di batu di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera Utara), yang diterjemahkan di kemudian hari menunjukkan keberadaan pedagang Tamil sejak abad ke‑11, yang datang dengan barang dagang seperti kapur barus.
Baca juga: Sejarah Hari Juang Polri yang Diperingati Tiap 21 Agustus, Tahun Ini Diadakan di Surabaya
Mereka dipercaya membawa serta pegawai dan penjaga gudang, sekitar 1.500 orang.
Karena tekanan dari penyebaran Islam oleh Aceh, Arab, dan Turki, sekitar tahun 1128‑1285 pedagang Tamil berpindah ke pedalaman Alas dan Gayo serta membaur dengan komunitas Proto Karo, membentuk tradisi budaya Pemena. (tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.