Ngopi Sore
Pengebom Gereja dan Perburuan Tiket ke Surga
Jihad, bagi umat Islam hukumnya fardhu 'ain. Hukumnya wajib! Lalu kapan saat berjihad itu harus diserukan dan dilaksanakan?
MINGGU siang, saya mendapatkan dua kiriman gambar lewat pesan WhatsApp. Gambar- gambar dari peristiwa peledakan bom jenis molotov di Gereja Oikumene yang terletak di Kelurahan Sengkotek, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Foto pertama merupakan foto rangkaian yang menunjukkan bocah-bocah dalam kondisi terluka. Nyaris di sekujur tubuh mereka. Luka bakar. Bocah-bocah itu menangis, dan di sisi mereka, perempuan dan laki-laki yang barangkali ibu dan bapaknya, tampak mencoba menenangkan. Seperti si bocah, perempuan dan laki-laki itu juga menangis.
Baca: Tokoh Agama Islam dan Kristen Serukan Kesejukan Sikapi Ledakan Bom Lukai 4 Anak-anak
Baca: Jeritan Histeris Ibu dari Balita Korban Ledakan Bom: Ya Tuhan . . . Selamatkan Anak Kami
Foto kedua, seorang laki-laki yang juga dalam kondisi terluka. Di beberapa bagian wajah. Sekujur tubuhnya kuyup. Dia berambut panjang dan mengenakan kaus oblong hitam yang pada bagian depannya bertuliskan 'JIHAD WAY OF LIFE'.

Terduga pelaku peledakan bom di gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11/2016), ditangkap usai melontarkan peledak. (Hand-over/media sosial)
Baca: Inilah Foto-foto Pelaku Peledakan Bom di Gereja Oikumene yang Beredar, Apakah Anda Mengenalinya?
Keterangan yang saya peroleh, foto pertama adalah korban ledakan bom molotov. Selain dia terdapat empat korban bocah lain. Sedangkan foto kedua diduga pelaku peledakan.
Kedua foto ini menghadirkan gejolak perasaan yang kontradiktif. Terus terang, agak sulit bagi saya untuk tidak merasa terharu saat melihat foto bocah dan ibunya yang menangis itu.
Saya bisa membayangkan kesakitannya. Anak saya pernah terkena knalpot dan dia menangis berjam-jam karena merasa sangat sakit. Bagaimana pula sakit akibat luka bakar ledakan bom molotov? Tentu sakit yang teramat pedih.
Namun lebih dari pada itu, hatinya pasti lebih sakit. Apakah salah dan dosanya? Minggu pagi, bocah tersebut barangkali masih beriang-riang belaka, masih tersenyum senyum dan tertawa saat akan berangkat bersama orangtuanya beribadah ke gereja.
Pikirannya yang masih bocah, masih lugu, tentu tak akan sanggup mencerna, betapa prosesi peribadatan, upacara menghadap Tuhan, ternyata juga mengandung bahaya.
Sebenarnya bukan cuma bocah itu. Sebenarnya saya pun begitu. Melihat foto kedua, lelaki gondrong yang mengenakan kaus bertuliskan kalimat sungguh gagah, saya pun tak mengerti, benar-benar tak habis mengerti, kenapa dia bisa sampai pada keputusan untuk melakukan pengeboman seperti ini?
Di manakah letak nalarnya? Di manakah letak perasaannya? Demi apa dia melakukannya? Apakah dia memang menganggap perbuatannya, melemparkan bom molotov ke halaman gereja dan membuat empat orang bocah harus menangis di pelukan orang tua mereka karena merasakan sakit yang teramat pedih, sebagai jihad seperti tertulis di kausnya?