Ngopi Sore
Air Mata Ahok
Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam persidangannya, Ahok menangis. Dia menghentikan bicaranya dan menghapus air matanya yang menetes.
KANDIDAT Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, akhirnya duduk di kursi pesakitan. Dia dihadapkan ke muka meja hijau atas aduan terkait dugaan penistaan agama yang dilakukannya.
September 2016, Ahok, yang masih menjalankan tugas sebagai gubernur, berbicara di depan warga dalam satu pertemuan di kawasan pelelangan ikan Kepulauan Seribu. Pertemuan yang membahas perihal program keramba apung.
Entah bagaimana, entah lantaran sudah kelewat dongkol atau jengkel terus-menerus memendam perasaan, Ahok melepas omong yang sama sekali tak cerdas. Omong yang kemudian memang benar-benar menjadi blunder besar baginya.
Ahok menyebut Surah Al Maidah ayat 51. Ayat yang mengupas soal pemimpin dan kepemimpinan. Lalu, mengemukakan bahwa tafsir atasnya, dipakai untuk perkara yang tak pantas. Kalimat Ahok: "dibohongi pakai Al Maidah 51".
Dipandang dari sudut manapun, terlepas dari dugaan editing yang dilakukan Buni Yani saat melemparkan kembali rekaman pernyataan Ahok itu ke media sosial (yakni menghilangkan kata 'pakai'), kalimat ini keliru. Dengan kata 'pakai' atau tidak, keberadaan kata 'dibohongi' membuat kalimat Ahok jatuh jadi kesalahan yang fatal.
Tentu, bukan Al Maidah yang bohong. Persisnya, bukan surah atau ayat bohong. Ahok juga tidak mengatakan itu. Akan tetapi, 'dibohongi' bukanlah pilihan kata yang tepat dalam situasi yang menjadikannya tersudut sebagaimana dimaksud Ahok. Sebab sama sekali tidak ada yang berbohong di sini. Tidak surah maupun ayatnya. Tidak juga penyampaiannya. Al Maidah 51 disampaikan sesuai konteksnya.
Bahwa dalam praktiknya penyampaian ini disampaikan secara berulang-ulang, terus-menerus, dan makin dekat pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Jakarta makin gencar dilakukan, itu tetap bukan kebohongan. Ahok semestinya lebih cermat dan berhati-hati dalam memilih kata.
Sebab bagi orang yang punya banyak musuh seperti dirinya, kesalahan besar atau kesalahan kecil akibatnya memang tak akan berbeda. Seperti dialaminya sekarang.
Ahok, kita tahu, sudah mengaku salah. Dia sudah berkali-kali menyatakan penyesalan dan memohon maaf atas ketidakcerdasannya, kelancangannya, yang memunculkan keresahan dan kemarahan. Tapi kita juga sama-sama tahu, betapa maaf ini tak berarti. Ahok tetap diseret ke pengadilan atas tudingan telah melakukan penistaan agama. Dua aksi unjukrasa besar-besaran, plus satu acara zikir dan doa bersama serta salat subuh berjamaah, digelar untuk mendesak penanganan hukum kasusnya.

FOTO udara menunjukan massa Aksi Damai 212 memenuhi kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat (2/12/2016).
Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam persidangannya, Ahok menangis. Dia menghentikan bicaranya dan menghapus air matanya yang menetes. Ahok mengatakan dia gagal menahan emosi, perasaan sedih, yang sekian lama menggumpal di dadanya.