Kisah Amin Sarwoko, Melihat Tulang Dadanya Digergaji saat Operasi, Bikin Merinding

Seorang bapak mengalami kejadian aneh.Tiba-tiba ia merasa berada di luar tubuh. Dapat melihat orang lain, tapi tak bisa berkomunikasi.

Editor: Tariden Turnip
intisari
Ilustrasi pasien melihat dirinya dioperasi 

Berhaji dengan syarat

Sejak 1980-an, dalam usia 45, saya terkadang menderita sesak napas. Tidak dianggap serius, karena hanya sebentar dan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Tapi, ia kambuh bila ada pemicu, misal telat makan, panas terik, dingin sekali, atau kelelahan.

Makin lama makin sering kambuh. Tahun 1991, frekuensinya makin sering. Jika dulu hanya lima menit, sekarang setiap kambuh memakan 30 menit.

Dokter yang merawat saya di RS Charitas, Palembang, dan RS Cikini, Jakarta, sama menyarankan agar saya menjalani operasi jantung.  Padahal, kami telah mendaftar pergi haji tahun 1992.

Karena sedang bertugas di Jakarta, saya minta pertimbangan keluarga. Kedua anak saya menyarankan, agar sebelum operasi berobat dulu ke "orang pintar" yang banyak buka praktik di Jakarta.

Sedang teman-teman sekantor usul, pergi haji dulu baru operasi. Istri saya dan para tetangga berpendapat sama dengan teman kantor. Siapa tahu, kalau operasi kurang sukses, niat naik haji telah kesampaian. Tentu yang diharapkan keduanya berjalan sukses.

Tahun 1992, saya dan istri berangkat haji. Memang ada hambatan, soal sesak napas itu. Padahal, sewaktu periksa kesehatan di Palembang, semuanya bagus. Kenyataannya, setiap berjalan 20 menit, harus istirahat.

Dari pintu bandara Halim Perdanakusumah sampai ke pesawat, dua kali saya menggeh-menggeh (terengah-terengah) paling tidak 10 menit.

Memang, ketika diperiksa di asrama haji Pondok Gede, dokter menganjurkan ditunda saja. Tapi istri "berjuang", menghadap ke sana menghadap kemari. Akhirnya berbuah hasil.

Saya disetujui berangkat dengan syarat, saat Tawaf dan Sa'i harus ditandu dan didorong di atas kursi roda. Waktu melempar Jumroh pun kudu mengupah orang.

Alhamdulillah, saya pulang selamat dengan menyelesaikan rukun haji beserta semua fardhunya. Hanya ketika Sa'i dan Tawaf, dua kali saya harus ditandu.

Selebihnya dikerjakan sendiri, dikawal istri. Melontar Jamarat hanya waktu pertama tanggal 10 Dzulhijjah, dan hanya melempar satu Jumrah.

Keluar tubuh

Tibalah saat yang mendebarkan itu. Tanggal 15 Agustus 1993, saya memasuki halaman Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta.

Dengan hanya ditemani istri, karena kedua anak saya tak bisa meninggalkan kantor, saya coba memberanikan diri untuk menjalani operasi bedah jantung.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved