Kisah Amin Sarwoko, Melihat Tulang Dadanya Digergaji saat Operasi, Bikin Merinding

Seorang bapak mengalami kejadian aneh.Tiba-tiba ia merasa berada di luar tubuh. Dapat melihat orang lain, tapi tak bisa berkomunikasi.

Editor: Tariden Turnip
intisari
Ilustrasi pasien melihat dirinya dioperasi 

Saya mengalihkan pandangan ke luar ruangan. Rupanya banyak juga orang yang menyaksikan jalannya operasi. Memang bukan hanya saya yang menjalani operasi dalam waktu bersamaan.

Ruangan itu saya lihat sepertinya ramai, tapi dalam diam. Tak ada suara, meski saya melihat orang bicara dan bergerak.

Di salah satu sudut saya melihat kedua anak kami, istri, dan beberapa keponakan yang tinggal di Jakarta, serta beberapa orang yang khusus datang dari Palembang ingin menyaksikan operasi jantung.

Saya tak tahu persis berapa lama operasi berjalan. Saya tersadar ketika ada suara memanggil, "Tuan Amin, angkat tangan kanan, tinggi-tinggi, turunkan ke arah kepala. Angkat lagi, turunkan ke arah samping badan. Terus bergantian tangan kanan dan kiri. Kemudian kaki ke atas, bergantian kanan dan kiri."

Kira-kira 20 menit berlalu. Lalu suara itu terdengar lagi, "Selang yang di perut akan saya cabut." Setelah itu, selang yang di hidung dicabut pula. Kemudian saya disuruh tidur lagi. Sudah tak ada bantuan pernapasan ataupun makanan lewat selang.

Agaknya, itu terjadi keesokan sorenya. Istri saya menyampaikan, salah seorang cucu kami dari keponakan bilang, ketika akan dipindahkan ke ruangan lain sesaat setelah operasi selesai, saya melambaikan tangan ke arahnya.

Saya heran, saya tak merasa melakukan hal itu. Malah saya tak ingat apa pun yang terjadi saat itu. Setelah melakukan senam ringan seperti diperintahkan tadi, saya lalu tertidur lagi.

Kira-kira pukul 20.00, saya sudah berada di lain ruangan. Di atas dada saya ada meja kecil yang biasa digunakan untuk orang sakit.

Di atasnya, di dalam baki ada sepiring bubur yang harus saya makan sambil berbaring. Memang saya belum bisa bangun.

Rapat jantung

Waktu itu, hari Selasa, pukul 15.00, saya sudah berada di ruang perawatan, dan sudah mulai bisa makan. Beberapa dokter datang sekaligus untuk memeriksa saya. Antara lain dr. Kaligis yang merawat saya sehari-hari, dr. Munawar ahli kateterisasi, serta beberapa dokter pelaksana operasi yang lalu.

 Mereka berkumpul memeriksa; sepertinya ada yang kurang memuaskan. Langsung diadakan rapat kilat di hadapan saya.

Ada sedikit silang pendapat. Tapi akhirnya, kesimpulan rapat, saya harus dipasangi alat pacu jantung, karena detak jantung saya sangat lemah. Itu berarti, saya harus dioperasi lagi. Letaknya di dada sebelah kanan atas di bawah kulit.

Tak semua orang harus menjalani operasi Permanent Pace Maker (PPM atau Pacu Jantung Permanen), kecuali yang detak jantungnya lemah seperti saya.

Sungguh, ini suatu pengalaman yang tak dapat diverifikasi: melihat tubuh sendiri sedang dioperasi. Seperti mimpi. Saya benar-benar melihat tulang dada saya digergaji. Lalu dikembalikan pada posisi semula, tulang dada diikat dengan kawat, sehingga tampak seperti sebelum digergaji. Barulah dibungkus kulit kembali, lalu dijahit.

Akibat rokok

Ah, seandainya hidup boleh diulang, ketika mulai sakit sesak napas tahun 1972, peringatan dokter "jangan merokok lagi" pasti akan saya taati.

Mungkin saya tak akan mengalami seperti sekarang ini, harus operasi jantung, Tidak pula harus mengganti salah satu katup jantung. Tidak usah menghindari pintu dengan alat detektor, karena menggunakan PPM di dada.

Dulu, setiap dokter spesialis penyakit jantung yang pernah memeriksa selalu menasihati saya untuk meninggalkan kebiasaan merokok.

Terakhir adalah dr. Aulia Syawal, spesialis jantung dan pembuluh darah dari RS Charitas, Palembang, yang dengan nada agak keras meyakinkan saya, "Kalau lapar pasti mencari makan agar kenyang, orang haus mencari minum agar hilang dahaga, tapi kalau merokok apa yang bisa diperoleh?!"

Berkat nasihat itu, saya langsung berhenti. Tapi sudah terlanjur sakit. Itu terjadi tahun 1992, sudah terlambat 20 tahun.

Sebelumnya, saya memang tak tahu diri, rokok putih saya habiskan tiga bungkus sehari. Bahkan rokok kemenyan pun saya isap, termasuk rokok kretek.

Sampai teman-teman menjuluki saya "ahli merokok". Sayang, semuanya sudah terlambat.   Sampai klep jantung saya rusak, harus diganti dengan biofrotes, yang tinggal hanyalah penyesalan.

Untunglah, istri saya adalah orang terdekat yang terus setia mendampingi, selama menghadapi operasi yang - semoga – takkan pernah saya jalani lagi. la tak pernah mengeluh sedikit pun.

Kalaulah saya harus mendahuluinya memenuhi "janji" pada Sang Pencipta, saya merasa bersyukur mendapatkan jodoh seperti istri saya itu.

Janji istri

Saya tak tahu, apa ada kaitan penyakit jantung dengan penyakit kencing manis (diabetes). Pada kontrol yang kedua kali setelah empat bulan menjalani operasi, ketahuanlah saya mengidap sakit diabetes.

Kadar gula darah mencapai 130 sebelum makan, menyebabkan saya harus meminum dua macam obat, degoksin untuk jantung dan diamicron untuk kencing manis.

Ternyata gula darah terus menaik, pernah mencapai 596, dan terpaksa dirawat di RS Muhammad Husen, Palembang.

Sejak tahun 1995, setahun sekali saya melakukan kontrol di RS Harapan Kita. Selain kontrol ke Jakarta, saya pun minum jejamuan, buatan sendiri atas petunjuk orang-orang tua.

Menurut mereka, untuk melawan kencing manis sebaiknya minum yang pahit-pahit. Seperti rebusan daun pepaya, rebusan batang brotowali, rebusan daun mindi, dan perasan daun sambiloto.

Kalau rajin minum ramuan itu, kata orang diabetes akan bisa berkurang. Siapakah yang rajin meramu jejamuan itu?

Tak lain adalah istri saya, Sunarti. Dia tak pernah mengesampingkan tugas sebagai pendamping suami. Padahai, empat tahun memasuki masa pensiun ia berkuliah lagi mengambil S2 di suatu universitas swasta di Palembang.

Kalau ditanya, ia bilang untuk memotivasi anak dan cucu agar rajin bersekolah. Nah, sore itu, di tengah kesibukannya mempersiapkan ujian tesis dua hari lagi, ia sempatkan mencari batang brotowali untuk ramuan jamu saya.

Memang sudah beberapa hari ini kami kehabisan. la mencari hingga ke kebun sekolah tempatnya mengajar, sekitar 3 km dari rumah. Setelah itu ia rebus, sambil memasak untuk makan malam.

Sekitar pukul 22.00, ia mengerik badannya sendiri. Melihat itu, tanpa diminta, saya lalu  menggosoki badannya dengan minyak angin. Ketika saya pamit tidur, ia minta agar televisi jangan dimatikan, karena masih akan menonton sambil membaca-baca.

Pukul 23.00, ia menyusul ke tempat tidur. Begitu membaringkan diri, dia membangunkan saya, minta diambilkan minum. Ini di luar kebiasaan. Padahal itu bisa dilakukannya sendiri sebelum masuk kamar.

Sambil mengomel, saya bangkit keluar kamar, mengambilkan apa yang dimintanya. Lima menit kemudian saya kembali ke kamar. Ternyata ia sudah tidur. Saya agak kesal.

Saya coba membangunkan agar ia minum, tapi masya Allah, ia tak bereaksi. Saya guncang-guncang, ia tak juga bangun.

Air saya letakkan di bufet, lalu saya menelepon kedua anak kami, memberi tahu keadaan ibunya. Di rumah tak ada orang lain selain kami berdua.

Selesai menelepon, saya masih berusaha mengguncang badannya, dan mendengarkan napasnya. Sepertinya masih terasa denyut nadinya.

Sementara itu, tetangga mulai berdatangan. Setelah anak menantu saya datang, ia langsung membopong ibunya ke mobil dengan bantuan tetangga, secepatnya dilarikan ke RS Pertamina Plaju.

Saya sendiri seperti orang linglung, menerima kedatangan para tetangga masih dalam perasaan tak percaya bahwa istri sudah meninggal dunia.

Menanti janji

Hari-hari berikutnya, saya sendirian di rumah. Ada rasa sesal, berpuluh tahun istri melayani saya tanpa mengeluh, di saat menjelang akhir hidupnya ia minta tolong saya mengambilkan air minum saja, saya sudah mengomel.

Soal "janji" dan hari esok, sungguh kuasa Allah. Saya yang menderita sakit begini, dengan jantung dipasangi alat, justru belum kunjung "dipanggil".

Sedang si bungsu Vierda dan istriku, tanpa sakit sedikit pun, telah tiba pada "janji" mereka.

Ditemani kedua orang anak perempuan kami, beserta suami mereka, dan lima orang cucu, dari hari ke hari, saya menanti "janji" yang telah Allah tetapkan untuk saya.

Kelak, jika tiba, mudah-mudahan saya dipertemukan lagi dengan istri dan anak bungsu saya. Tapi, hari esok, siapa tahu?

K Tatik Wardayati

(Seperti dimuat dalam Majalah Kisah Vol. 1– Intisari )

Berita ini sudah dipublikasikan di intisari.grid.id berjudul: Bapak Ini Mengaku Melihat Tulang Dadanya Digergaji Ketika Operasi, Mungkinkah?

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved