UU MD3 Mulai Berlaku Mahfud MD Nilai Tiga Pasal Perlu Dibatalkan, Ini Rinciannya
Menanggapi pertanyaan netizen itu, Mahfud MD menilai jika 3 pasal dalm UU MD3 itu harus dibatalkan.
2. Revisi yang paling memicu kontroversi
Revisi Pasal 122 k terkait tugas MKD dalam revisi UU MD3 menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal hukum. Pengamat menganggapnya sebagai upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR.
Pasal yang memuat perihal penghinaan terhadap parlemen berisi tambahan peraturan yang memerintahkan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk: "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR"
3. Pasal lain yang direvisi dalam UU MD3
Selain kontroversi soal pasal "antikritik", ada beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3. Berikut ini beberapa pasal lain yang perubahannya menuai kontroversi.
Pasal 73
Undang-undang sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi membantu memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa Polisi wajib memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa.
"Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."
Pasal 84 dan 15 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR
Pasal ini lebih punya kontroversi politik karena kursi pimpinan DPR yang semula satu ketua dan empat wakil, menjadi satu ketua dan lima wakil.
Satu pimpinan tambahan ini akan menjadi jatah pemilik kursi terbanyak yang saat ini dipegang oleh PDI-P. Pada pasal 15, pimpinan MPR tadinya terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua.
Dengan revisi, pimpinan MPR menjadi satu ketua dan tujuh wakil.
MPR terdiri atas 10 fraksi partai politik dan satu fraksi Kelompok DPD.
Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR
Pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana harus ada pertimbangan MKD sebelum DPR memberi izin. Padahal pada tahun 2015 MK sudah memutuskan bahwa pemeriksaan harus dengan seizin presiden, bukan lagi MKD.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)."
(Tidak berlaku untuk anggota yang tertangkap tangan, tindak pidana khusus, dan pidana dengan hukuman mati atau seumur hidup.)
3. Dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap demokrasi