Bung Karno Dulu Juga Suka Pencitraan, Petinggi Uni Soviet Blak-blakan Tak Menyukainya

Tahun 1960, Nikita Khrushchev dari Sovyet berkunjung ke Indonesia. Rupanya kunjungan itu meninggalkan kesan

Presiden RI pertama Soekarno saat bertemu dengan Presiden Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev 

Ia mengajak saya untuk berpotret bersama dengan memegang sebuah martil balon. Soekarno memang mempunyai kemampuan sebagai pemain teater, tapi justru itulah yang tidak berkenan di mata saya.

Sudah tentu Nehru juga senang pidato dan muncul di hadapan umum, tapi Nehru tidak pernah punya niat untuk membangun sebuah stadion yang memerlukan biaya besar, kalau hanya digunakan untuk mengumpulkan massa dalam jumlah besar.

Setelah kami tiba di Jakarta, ia mengusulkan, "Bagaimana seandainya kalau Anda berkunjung untuk melihat-lihat kehidupan petani kami? Kami akan menyelenggarakan sebuah perayaan di  desa dan mempertunjukkan sebuah kesenian rakyat untuk Anda."

Saya setuju. Beberapa saat kemudian waktunya untuk berangkat sudah tiba, tapi Soekarno belum tampak untuk menjemput saya.

Saya menunggu dan menunggu. Akhirnya Soekarno mendatangi saya dan kami berkeliling kota. Kemudian saya menyadari apa yang menyebabkan keterlambatan.

Rupanya sebelumnya diatur sebagai pencitraan agar sepanjang jalan dari Jakarta sampai di desa dipenuhi petani yang menyambut dan melambai-lambaikan tangan ketika kami lewat. Saya sama sekali tidak menyukainya.

Saya mengakui bahwa dulu pun kami sering melakukan penyambutan semacam itu.

Tapi  kadang-kadang rakyat yang mengambil bagian, sebenarnya tidak menyukainya.

Selama perjalanan, ia tidak memberikan kesempatan pada saya untuk keluar dari mobil, sampai kami tiba di sebuah desa kecil.

Saya dikejutkan oleh keadaan rumah dan orang desa. Rakyat tinggal di dalam gubuk bambu dan tidur di balai-balai.

Lalu kami pergi lebih jauh lagi. Ada sebuah pertunjukan akan disuguhkan kepada kami, yaitu semacam upacara yang menggambarkan kehidupan manusia.

Pertama-tama muncul segerombolan bayi yang baru dilahirkan, kemudian pesta pernikahan dan akhirnya pemakaman.

Pertunjukan ini mengingatkan saya pada buku yang diterbitkan oleh Sytin berjudul Life from Birth to Death.

Orang-orang dalam perayaan itu memakai pakaian yang indah dan tampaknya mereka cukup makmur.

Walaupun demikian, secara umum orang Indonesia dalam pandangan saya, mereka itu miskin. Untungnya mereka tinggal di daerah tropis.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved