Sultan HB IX Minta Maaf atas Kasus Pemotongan Salib Makam dan Ingatkan Aparatnya
"Agama dan simbol-simbol keagamaan itu dijamin dalam konstitusi, di sini kita semua kurang tanggap terhadap simbol-simbol itu.''
TRIBUN-MEDAN.com - Gubernur DIY Sri Sultan HB X menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga almarhum Albertus Slamet Sugihardi dan Kevikepan DIY atas peristiwa pemotongan kayu nisan salib di Purbayan, Kotagede.
"Kepada Bu Slamet maupun kepada Vikep, saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dari peristiwa yang ada ini. Biar pun tadi didengar ketidaksengajaan tetapi saya wajib sebagai pembina wilayah menyatakan permohonan maaf," ujar Sri Sultan dalam jumpa pers, Kamis (20/12/2018).
Video pernyataan lengkap Sultan dalam jumpa pers ini diunggah oleh Humas Pemda DIY di akun YouTube Humas Jogja.
Sultan menuturkan, peristiwa di Purbayan, Kotagede, ini harus menjadi pembelajaran bagi seluruh warga di Yogyakarta dalam menjaga toleransi dan harmonisasi kerukunan masyarakat agar tidak terulang kembali.
"Ini bagi kita pembelajaran semua, bagaimana masyarakat Yogya itu tetap menjaga toleransi, menjaga harmoninya sehingga masyarakat tetap rukun, damai, dan merasa aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta," tegasnya.
Sebagai Gubernur, lanjut Sultan, dirinya memiliki kewajiban untuk tetap menjaga Yogyakarta menjadi wilayah yang bertoleransi tinggi sehingga siapa pun yang tinggal di Yogyakarta merasa aman dan nyaman.
"Apa artinya demokratisasi di Yogya paling tinggi kalau terjadi intoleransi yang akhirnya menimbulkan masalah, dampak yang merugikan kebersamaan sebagai masyarakat Yogyakarta," ucapnya.
Sri Sultan menuturkan, sebenarnya, hubungan antara warga di Purbayan, Kotagede, berjalan baik.
Baca: Kronologi Warga Potong Simbol Salib di Makam Penganut Katolik Hingga Gagalnya Prosesi Doa Kematian
Hubungan almarhum Slamet dan keluarga dengan warga sekitar, lanjut dia, terjalin baik selama ini. Keduanya pun aktif terlibat dalam kegiatan di masyarakat.
"Masyarakat melayat, ikut berperan mengantarkan jenazah dan sebagainya tanpa membeda-bedakan asal usul dan agamanya. Proses pemakaman itu, masyarakat dalam kondisi guyub rukun," tutur Sultan.
Menurut Sultan, memang sudah ada kesepakatan antara keluarga dan warga sebelum diputuskan untuk memotong nisan kayu berbentuk salib.
Hanya saja, Sultan menilai ada ketidaktanggapan terhadap simbol-simbol keagamaan yang dijamin konstitusi.
Seharusnya, lanjut Sultan, setiap kesepakatan yang diambil, meski bertujuan untuk menjaga harmoni masyarakat, tak boleh bertentangan dengan konstitusi.
"Agama dan simbol-simbol keagamaan itu dijamin dalam konstitusi, di sini kita semua kurang tanggap terhadap simbol-simbol itu. Hanya mungkin mengambil praktisnya saja sebagai bentuk kompromi," tuturnya.
"Saya mengingatkan kepada pejabat wilayah harus bisa mengingatkan agar memberi tahu untuk tidak keliru dalam penerapan," tegasnya kemudian.
Ini video permintaan maaf Sultan HB IX:
Sepakat dan sudah selesai
Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman juga mengungkapkan bahwa tidak ada paksaan dalam memindahkan ibadah doa arwah.
Warga, lanjut dia, hanya menyarankan agar tidak dilaksanakan di rumah duka dan pihak keluarga setuju untuk memindahkan penyelenggaraannya ke Gereja Pringgolayan.
"Tidak ada paksaan, Itu kan sebenarnya cuma disarankan dari warga. Keluarga sendiri memahami. Kondisi di sini kondusif, tidak seheboh yang ada di media sosial," kata Abdul saat dikonfirmasi, Selasa.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari keluarga maupun warga, lanjut Abdul, polisi melihat bahwa pihak keluarga dan warga setempat sudah mencapai kesepakatan untuk pemakaman almarhum Slamet di pemakaman Purbayan dengan catatan-catatan tertentu.
Pihak keluarga juga tidak keberatan dan mempermasalahkannya.
"Kesepakatan juga dituangkan dalam suatu pernyataan walaupun pernyataan itu baru dituangkan secara resmi sekarang (tanggal 18 Desember), tetapi kemarin itu sudah ada pernyataan secara lisan," ungkapnya.
Foto surat pernyataan atas nama Maria Sutris Winarni, istri almarhum Albertus Slamet Sugiardi, beredar sehari setelah Slamet meninggal dan dimakamkan terkait peristiwa kayu nisan salib dipotong di bagian atasnya.(handout)
Foto surat pernyataan atas nama Maria Sutris Winarni, istri almarhum Slamet, beredar sehari setelah Slamet meninggal dan dimakamkan.
Surat pernyataan itu ditandatangani sang istri di atas materai.
Terdapat pula tanda tangan Bedjo mewakili tokoh masyarakat, Soleh Rahmad Hidayat sebagai Ketua RT 53 dan Riyadi sebagai Ketua RW 13.
"Menyatakan bahwa pemotongan papan nama Albertus Slamet Sugiardi yang ada di makam Jambon untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran dari pengurus makam, tokoh masyakarat dan pengurus kampung, saya dapat menerima dengan ikhlas hati dan tidak ada permasalahan lagi. Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya atas kesadaran dan kesepakatan kami bersama dan apabila terjadi hal di luar kesepakatan ini adalah bukan kehendak kami dan di luar tanggung jawab kami," demikian bunyi isi surat tersebut.
Pihak keluarga, saat dikonfirmasi, memilih tidak berkomentar. Pada Selasa pagi, rumah keluarga almarhum Slamet dalam keadaan sepi dan tertutup.
Sebelumnya, saat sejumlah awak media berupaya mendapatkan konfirmasi, anak dan istri almarhum Slamet enggan berkomentar dan menganggap persoalan ini sudah selesai.
Penelusuran Kevikepan
Pasca-munculnya kabar kejadian ini, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, merilis keterangan tertulis pada 19 Desember 2018.
Kevikepan adalah lembaga yang menjadi pusat koordinasi sejumlah paroki di suatu wilayah. Keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Ketua KKPKC Kevikepan DIY Ag. Sumaryoto ini memuat hasil penelusuran Kevikepan terhadap keterangan dari keluarga korban, pengumpulan data, koordinasi dengan tokoh - tokoh umat paroki Pringgolayan, dan pertemuan dengan berbagai pihak, mulai dari tokoh lintas iman di FPUB, Kapolsek, hingga Danramil hingga pertemuan dengan tim pencari fakta FPUB DIY/Tim Kanwil Depag.
Dalam keterangan ini, Kevikepan menyebutkan bahwa status makam saat terjadi pemakaman merupakan makam umum.
Selain itu, dibenarkan bahwa interaksi warga dengan keluarga selama ini memang sangat baik.
"Tetapi ada sekelompok orang pendatang dengan dukungan luar yang memberi tekanan fisik dan psikis secara langsung maupun tidak langsung melalui sebagian warga," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Pihak Kevikepan juga menyebutkan bahwa surat pernyataan istri almarhum yang beredar awalnya dibawa oleh 7 orang dari pihak kelurahan, polsek, koramil, dan pengurus kampung.
"Surat lalu ditandatangani istri almarhum. Penjelasan yang diberikan kepada istri almarhum adalah untuk mengatasi isu yang berkembang luas di media sosial," demikian isi surat selanjutnya.
Kevikepan DIY pun meminta aparat polisi untuk memberikan perlindungan kepada keluarga korban dari segala bentuk tekanan dan ancaman setelah kejadian ini.
"(Meminta) aparat keamanan menyikapi secara serius adanya ancaman serius terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat dan memperjuangkan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika," demikian bunyi poin terakhir yang tertulis dalam keterangan tersebut.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemotongan Nisan Salib di Kotagede Yogyakarta, Sultan HB X Minta Maaf", "Klarifikasi Lengkap Pemotongan Nisan Salib di Makam Kotagede Yogyakarta", .
Penulis : Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma