Putri Atikah Asah Nalar Kritis Dari Ruang Kelas
Saat ini, ia merasa khawatir dengan dunia pendidikan sebab budaya intelektual semakin rendah di lembaga pendidikan
“Adakah hasil penelitian menunjukkan perempuan tidak mampu berpikir rasional seperti laki-laki ? Kalau tidak terbukti itu, maka anggapan itu hanya mitos bukan fakta. Nyatanya banyak ilmuan-ilmuan sukses berjenis kelamin perempuan. Artinya, jenis kelamin tidak dapat menghalangi orang untuk berpikir rasional,” katanya.
Ia berpendapat, kamampuan seseorang tidak datang dari lahir, tapi diasah melalui pengalaman hidup dan lingkungan sosialnya. Sedari kecil, ia kerap dibawa ke toko buku dan dibiarkan memilih sendiri majalah serta buku-buku.
“Apalagi, orangtua saya adalah dosen, jadi orangtua saya, secara tidak langsung mengajarkan berpikir kritis dan logis, sehingga dari kecil, diajarkan untuk tidak mudah percaya pada mitos dan tahayul yang tak jelas kebenarannya. Jadi saat saya dewasa, hal itu tanpa disadari menjadi sebuah kebiasaan untuk berpikir kritis, bertanya, dan mengecek kebenaran informasi,” ujarnya.
Rasa Ingin Tahu Tinggi

Puteri Atikah menyampaikan, dari kecil bukan siswi yang berprestasi serta rajin mengejarkan tugas di rumah. Bahkan, ia lebih banyak bermain di sekolah dan bersosialisasi. Namun sejak kecil, ia punya rasa ingin tahu yang tinggi.
“Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, biasanya saya membaca buku, dan kemudian menonton berita di televisi. Dalam arti, prestasi yang dinilai secara kuantitatif, tidak selamanya mencerminkan kualitas seseorang,”katanya.
Sebagai dosen pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, lanjut dia, saat ini nasionalisme tidak bisa lagi di pandang secara sempit dan tertutup. “Di era globalisasi di mana batas-batas negara secara fisik dan budaya semakin kabur, nasionalis harus dilihat lebih terbuka,”ujarnya.
Menurutnya, nasionalisme saat ini harus dipandang sebagai ajang warga negara berkontribusi secara positif bagi lingkungan sekitarnya. Misalnya, bagaimana membawa manfaat bagi lingkungan terdekat seperti keluarga, tetangga, dan teman.
“Bila setiap orang memiliki kepedulian, dan mau bekontribusi bagi kepentingan bersama, ke depan ini akan membawa kemajuan bagi masyarakat luas. Nasionalisme inilah yang harus kita bangun bukan nasionalisme tertutup yang fasis dan intoleran,” katanya. (tribun-medan.com/nat)
