Peringati 15 Tahun Kematian Munir, KontraS Minta Pemerintah Usut Kasus Sampai Tuntas
Bunga-bunga itu, kemudian dibagikan kepada para pengendara yang melintas di seputaran Tugu Titik Nol Kota Medan tersebut.
Penulis: M.Andimaz Kahfi |
Seperti janji awalnya untuk menuntaskan konflik agraria, justru belakangan konflik agraria menjadi satu persoalan yang sangat penting.
Karena dibeberapa tempat penggusuran justru terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa contoh kita ambil kasus
Tunggurono, Nambiki dan Sunggal. Dimana KontraS ikut mendampingi kasus tersebut.
"Saya kira Sumut ini menjadi salah satu tempat atau wilayah yang menyumbang angka penyiksaan dan kekerasan aparat keamanan paling tinggi. Masih ada problem demokrasi. Bagaimana kebebasan berpendapat dan berekspresi justru mendapatkan represifitas dari aparat keamanan. Semakin berkembang demokrasi, kita tidak mendapatkan kebebasan," tegas Amin.
Kronologis Pembunuhan Munir di kutip dari berbagai sumber.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit.
Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Ia kemudian dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, yang juga berusaha menolongnya pada saat itu.
Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam, di Bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Selanjutnya, pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir.
Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut.
Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.
Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva.