Peringati 15 Tahun Kematian Munir, KontraS Minta Pemerintah Usut Kasus Sampai Tuntas
Bunga-bunga itu, kemudian dibagikan kepada para pengendara yang melintas di seputaran Tugu Titik Nol Kota Medan tersebut.
Penulis: M.Andimaz Kahfi |
Alasan-alasan ini, justru diafirmasi oleh PTUN yang mengabulkan keberatan tersebut dengan menyatakan bahwa dokumen laporan TPF bukan merupakan dokumen publik sehingga karenanya tidak dapat diakses oleh publik.
Pernyataan ini pun diperkuat oleh adanya putusan Kasasi Mahkamah Agung pada tahun 2017, meski hingga saat ini kami masih belum menerima salinan putusan tersebut.
Lambannya pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung ke Suciwati selaku istri dari korban maupun kuasa hukumnya merugikan yang bersangkutan untuk dapat melanjutkan langkah hukum lainnya.
Kami mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan sikap tegas atas komitmennya yang disampaikan dalam forum tahun 2016. Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk :
1. Segera mengumumkan seluruh hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat sebagai bentuk amanat Perpres No. 111 tahun 2004 serta menindaklanjuti rekomendasinya hingga tuntas.
2. Bersikap tegas dan serius dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan terhadap Munir, dengan memanggil Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, maupun pejabat terkait guna menentukan langkah konkrit Pemerintah untuk menyelesaikan kasus Munir.
3. Memerintahkan Jaksa Agung untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang membebaskan mantan Deputi V BIN Muchdi PR dengan memperkuat seluruh bukti-bukti yang ada beserta bukti yang baru agar dapat digunakan dalam upaya PK tersebut;
4. Mendorong amandemen UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dengan memasukkan ketentuan khusus tentang perlindungan pembela HAM agar kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM tidak terulang di kemudian hari.
Diketahui, di awal berdirinya, KontraS identik sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap rezim kepemimpinan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Semua dimulai pada tanggal 12 Mei 1998, ketika aparat keamanan menembak mati empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Kala itu berlangsung demonstrasi damai menentang rezim Orde Baru di depan kampus Trisakti.
Saat itu pula gelombang gerakan reformasi langsung pecah sehingga mengubah konstelasi politik Indonesia.
Alhasil, kondisi itu pun memancing gelombang besar sejumlah demonstrasi massa dan mahasiswa serta perlawanan rakyat terhadap rezim Orde Baru yang dianggap gagal.
Situasi pun sulit dikendalikan saat itu. Akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya saat itu, BJ. Habibie.
Setelah lengsernya Soeharto, rezim Orde Baru kehilangan kekuatan utamanya. Kondisi Indonesia pun berubah drastis.
Keran reformasi mulai dibuka dengan masuknya fase politik yang baru yakni menurunnya legitimasi dan otoritas politik negara atas masyarakat sehingga peran masyarakat sipil semakin kuat.
(mak/tribun-medan.com)