BJ Habibie Merasa Terhina dengan Surat PM Australia John Howard, Picu Pelepasan Timtim dari NKRI
Dalam sidang kabinet Pemerintahan RI pada 27 Januari 1999 di Jakarta, Presiden BJ Habibie mengacungkan sepucuk surat di depan para menterinya.
"Saya tidak punya waktu membaca semua dokumen itu, tapi anggapanmu keliru," katanya.
"Ada catatan panjang tentang komentar Australia atas peristiwa ini.
Kami tidak pernah menentang pasukan penjaga perdamaian dan Anda tampaknya tidak menyadari upaya besar yang kami lakukan pada tahun 1999 untuk menghentikasn di Timor Timur - termasuk pertemuan puncak di Bali dengan Presiden Habibie," ujar Downer kepada ABC.
"Pernyataan Anda itu sangat keliru," tambahnya.
"Dan untuk Amerika, mungkin Anda tidak tahu kesulitan yang kami alami agar Clinton dan Berger ikut membantu setiap saat."
Dalam wawancara dengan Radio ABC pada Februari 1999, Downer menyatakan Pemerintah Australia tidak dapat mengkonfirmasi keterlibatan militer Indonesia mempersenjatai milisi di Timor Leste.
"Militer Indonesia menyangkal hal ini," kata Downer saat itu.
"Jelas sangat sulit bagi kita untuk memverifikasinya."
Pada konferensi pers akhir bulan itu, dia mengaku mendapat jaminan dari Menlu Ali Alatas bahwa Indonesia tidak mendukung milisi.
"Dia menjelaskan kepada saya bahwa mereka tidak memberikan senjata kepada pro-integrasi.
Apa yang mereka lakukan yaitu sama dengan yang mereka lakukan di provinsi lainnya."
"Yaitu, adanya warga sipil yang membantu dalam tugas-tugas kepolisian di daerah tersebut."
Howard ingin Timor Leste tetap jadi bagian Indonesia

Profesor Clinton Fernandes dari University of NSW pada tahun 1999 bekerja sebagai analis intelijen utama untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) Sydney.
Menurut dia, sikap Australia saat itu bisa ditafsirkan sebagai "memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia".
"Howard dan Downer berusaha keras untuk melindungi TNI," kata Prof Fernandes.
"Kabel diplomatik ini mengkonfirmasi bahwa kebijakan Pemerintahan Howard adalah menjaga Timtim tetap jadi bagian Indonesia. Dan pada akhirnya terpaksa mengubah sikap," katanya.
Kabel diplomatik Australia saat itu menyebut adanya banyak bukti pada awal April 1999 bahwa militer Indonesia mempersenjatai milisi, dan itu terkait pucuk pimpinan tentara, yaitu Panglima TNI Jenderal Wiranto.
ABC telah meminta komentar dari Howard yang kabarnya tidak sedang di Australia pekan ini.
Dukungan Australia untuk membentuk Interfet baru diberikan setelah hasil referendum diumumkan ketika AS mengambil langkah untuk menekan Indonesia. Juga setelah terjadi pembantaian lain di Suai.
Laksamana Blair 'tekan' Jenderal Wiranto
Kabel diplomatik tertanggal 9 September 1999 dari Kedutaan AS di Canberra menceritakan pertemuan pribadi selama 40 menit antara Laksamana Dennis Blair, saat itu Panglima Armada Amerika di Pasifik, dengan Jenderal Wiranto.
Catatan dua lembar dari Laksamana Blair menunjukkan tekanan kepada Jenderal Wiranto untuk "menarik diri dari ambang bencana".
"Meskipun ada jaminan bahwa TNI dapat menjaga keamanan di Timor Timur, meski TNI mengirim sejumlah besar pasukan baru ke sana dan mengambil langkah luar biasa dengan memberlakukan darurat militer, Timor Timur berada dalam anarki," tulis Laksamana Blair.
"Terus memburuknya situasi tidak hanya akan menyebabkan hilangnya nyawa, tapi berpotensi merusak hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, termasuk AS."
"Seperti yang Anda ketahui, koalisi negara-negara yang peduli, bersedia mengirim pasukan multinasional ke Timor Timur; pasukan semacam itu bertujuan menstabilkan situasi sampai MPR bersidang mendukung hasil pemilu, maka pengaturan baru akan dibuat bersama PBB."
"Seluruh dunia menyaksikan saat tragedi ini terungkap, dan kecaman internasional terhadap Indonesia semakin menyulitkan. Peluang Indonesia untuk menyelamatkan hubungannya dengan dunia tertutup dengan cepat."
Beberapa hari setelah Laksamana Dennis C Blair menemui Jenderal Wiranto, Indonesia pun mengizinkan pasukan Interfet masuk ke Timtim.
Dokumen Badan Intelijen Pertahanan AS mengungkap upaya terakhir Indonesia untuk mengeluarkan Australia dari pasukan Interfet, tapi gagal.
Pasukan Interfet malah dipimpin Australia dan masuk ke Timor Leste pada 20 September 1999.
Kekerasan milisi telah berkurang saat itu dan tentara Indonesia pun mulai menarik diri. (abc news indonesia)
TAUTAN: Australia Kaget Presiden BJ Habibie Putuskan Dengan Cepat Berikan Referendum ke Timtim