TRIBUN-MEDAN-WIKI: Sanusi Pane Sastrawan Asal Tapsel yang Berani Tolak Satya Lencana dari Soekarno
Sanusi Pane merupakan sastrawan Indonesia yang digolongkan angkatan pujangga baru. Ia juga merupakan sastrawan yang fenomenal.
Laporan Reporter Tribun Medan/Aqmarul Akhyar
TRIBUN-MEDAN-WIKI.com – Sanusi Pane merupakan sastrawan Indonesia yang digolongkan angkatan pujangga baru. Ia juga merupakan sastrawan yang fenomenal.
Sanusi Pane memiliki pemikirannya sendiri mengenai kesadaran nasional dan kebudayaan nasional yang terangkum dalam setiap karya-karya sastra yang dihasilkan.
Sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan pada tanggal 14 November 1905 ini, lewat karya-karya sastranya telah berusaha membangun kesadaran nasional.
Ia mencoba menumbuhkan cinta Tanah Air melalui kenangan kepada sejarah di masa lalu, yang tersirat dalam salah satu puisinya yang berjudul Majapahit.
Dalam salah satu esei yang berjudul Mengembalikan Keboedajaan Kita, Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia berorientasi pada kebudayaan Timur yakni mengutamakan kehidupan rohani, perasaan, gotong royong, dan tolong menolong.
Riwayat Hidup
Sanusi Pane yang merupakan kakak kandung Armijn Pane, mengawali pendidikannya di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan dan Tanjungbalai.
Setelah itu, ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang dan di Jakarta. Ia tamat dari MULO pada tahun 1922.
Selanjutnya, ia belajar di Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) Gunung Sahari, Jakarta sampai tamat, tahun 1925, dan langsung diangkat menjadi guru di sekolah itu sampai tahun 1931.
Pernah pula ia mengikuti kuliah di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Kehakiman) selama satu tahun. Pada tahun 1929--1930 ia melawat ke India untuk memperdalam kebudayaan Hindu (Nasution. 1963).
Pada waktu bekerja di Balai Pustaka, ia menolak untuk diantar jemput. Ia memilih berjalan kaki. Segala tawaran yang diberikan kepadanya dibiarkan begitu saja tanpa jawaban.
Sering ia membiarkan jatah berasnya membusuk di gudang karena tidak diambil. Bahkan, selama bekerja ia tidak pernah mengurus kenaikan pangkatnya sehingga sampai pensiun pangkatnya tetap sama.
Pada suatu ketika, istrinya merasa cemas dengan kehidupan Sanusi Pane yang harus membiayai enam orang anak. Istrinya mencoba menyadarkan Sanusi Pane agar memikirkan nasib anaknya pada masa mendatang.
Sanusi Pane selalu menjawab, “Kita toh belum kelaparan. Kita toh belum jadi gelandangan, kita toh masih bisa berpakaian.”