TRIBUN-MEDAN-WIKI: Sanusi Pane Sastrawan Asal Tapsel yang Berani Tolak Satya Lencana dari Soekarno
Sanusi Pane merupakan sastrawan Indonesia yang digolongkan angkatan pujangga baru. Ia juga merupakan sastrawan yang fenomenal.
Dalam kehidupannya, ia tidak dapat dipisahkan dengan alam. Hal itu dapat diperhatikan dalam polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana (Pujangga Baru. April 1937) yang mengatakan bahwa di dunia Barat orang harus bekerja keras untuk menaklukkan alam. Orang harus berusaha mempertahankan diri untuk mengusai alam itu. Akibatnya, orang lebih mengutamakan jasmani sehingga timbul materialisme dan individualisme.
Tidak demikian halnya dengan di Timur. Orang tidak usah bersusah payah berupaya untuk menaklukkan alam karena alam di Timur tidak sekeras di Barat. Di Timur manusia sudah merasa satu dengan alam sekelilingnya. Intelektualisme dan individualisme tidak begitu penting.
Orang Timur tidak mementingkan segi jasmani. Namun, hal itu bukan berarti bahwa derajat bangsa yang setinggi-tingginya itu dapat dicapai oleh lapisan yang berpusatkan kenyataan Manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.
Pandangan tersebut mewarnai sikapnya terhadap hal-hal yang bersifat jasmani. Oleh karena itu, ia tidak pernah membanggakan apa yang telah ia perbuat. Ia selalu bersifat merendah meskipun sebenarnya hasil karyanya patut dibanggakan.
Ketika J.U. Nasution ingin menulis buku tentang karya Sanusi Pane, ia tidak berhasil mewawancarainya meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya.
Setelah Nasution bertemu dengan sanusi, Sanusi selalu mengatakan. “Saya bukan apa-apa... ... saya bukan apa-apa... " (Nasution. 1963). Jawaban itu menggambarkan bahwa Sanusi Pane merasa dirinya belum berbuat sesuatu yang patut dihargai.
Menurut istri Sanusi Pane, pada waktu Presiden Soekarno akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, Sanusi Pane menolak. Tentu saja istrinya terkejut.
Sanusi Pane memberikan jawaban sebagai berikut: "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."
Dalam keyakinan agama Hindu, penghargaan semacam itu adalah kebanggaan yang bersifat jasmani yang justru harus dihindari dalam upaya mencapai manusia tingkat tinggi. Dengan kata lain, jika manusia tidak mampu melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan yang sejati dalam alam baka nanti.
Penolakan Sanusi Pane atas pemberian Satya Lencana itu menunjukan bahwa ajaran keyakinan agama Hindu sudah merasuk ke dalam sanubarinya. Meskipun dia dilahirkan dari keluarga yang beragama Islam, bahkan adiknya, Prof Drs Lafran Pane, adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ketika Sanusi Pane akan meninggal, dia berpesan agar jenazahnya diperabukan sebagai pujangga Hindu yang telah terdahulu. Permintaan itu tidak dikabulkan oleh keluarganya karena menyalahi ajaran agama Islam.
Selama kurang lebih dua tahun Sanusi Pane menemukan jalan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ia mengalami sendiri kehidupan tanah asal agama Hindu. Ia hidup di tanah “mulia". Menurut Sanusi Pane, di tanah itu dia penuh kedamaian sehingga ajaran Hindu benar-benar merasuk ke dalam hatinya.
Tidak heran kalau ia pernah pantang makan daging karena agama Hindu mengajarkan untuk menyayangi sesama makhluk, termasuk binatang.
Kisah di Balik Karya Sanusi Pane
Sanusi Pane adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang atau masa Angkatan Pujangga Baru. Selain penulis drama, Sanusi Pane juga dikenal sebagai penulis puisi. Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama.