TRIBUN-MEDAN-WIKI: Sanusi Pane Sastrawan Asal Tapsel yang Berani Tolak Satya Lencana dari Soekarno
Sanusi Pane merupakan sastrawan Indonesia yang digolongkan angkatan pujangga baru. Ia juga merupakan sastrawan yang fenomenal.
Di samping itu, dia termasuk salah seorang tokoh pendiri Angkatan Pujangga Baru. Sanusi Pane menjadi pembantu utama.
Pada masa gerakan Pujangga Baru ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya mengenai pandangan orang terhadap kebudayaan Indonesia.
Perbedaan pandangan itu menimbulkan polemik yang cukup seru. Polemik itu melibatkan tokoh kenamaan, seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sanusi Pane.
Karangan yang muncul dalam polemik dari para ahli kebudayaan itu dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja (1977) menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan.
Dalam banyak hal Sanusi Pane bertentangan dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Sutan Takdir yang lebih banyak condong ke Barat mempunyai semboyan bahwa hidup harus selalu berjuang. Hidup harus bekerja keras. Tanpa menyadari dan melaksanakan hal itu orang tidak akan maju, tidak akan bisa menjadi manusia yang modern.
Sanusi Pane lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian. Hal itu oleh Takdir dianggap sebagai hal yang melembekkan. Semboyan tenang dan damai membelenggu orang menjadi tidak maju.
Tampaknya aliran pikiran Hindu menyatu dalam diri Sanusi Pane. Orang Hindu beranggapan bahwa dunia ini adalah maya, kosong belaka. Untuk apa orang harus berlomba menguasai dunia yang sebenarnya hanya semu belaka.
Mereka beranggapan bahwa ruh manusia di dunia ini diciptakan dari ruh dunia, ruh yang universal. Dia akan meresap kembali dengan ruh dunia itu. Di sanalah kebahagiaan itu akan dicapai manusia jika dia berhasil memisahkan diri dengan hal-hal yang bersifat materi.
Semboyan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian itu tampaknya terjelma pada hampir semua hasil karyanya, baik yang berupa puisi maupun drama. Itulah sebabnya dia dikenal sebagai pengarang romantik.
Dia merenungi kejayaan dan kemegahan serta kedamaian masa lampau. Dia merenungi kedamaian yang didendangkan alam sekitar.
Alam tidak hanya sebagai lambang, tetapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam, misalnya, “Sawah, “Teja”, dan “Menumbuk Padi”.
Dalam buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madah Kelana, jiwa keromantikan mewarnainya. Banyak kita jumpai sajak-sajak percintaan yang cukup romantis, “Angin”, “Rindu”, “Bagi kekasih”, ‘Kemuning”, dan “Bercinta”.
Sajak yang terbesar yang terdapat dalam Madah Kelana, yakni “Syiwa Nataraja” adalah sajak yang melukiskan keinginan pengarang untuk bersatu dalam alam. Tampaknya ketika dia menciptakan sajak itu dia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang sebesar itu.
Di samping itu, masih banyak lagi kita jumpai sajak yang senapas dengan itu, misalnya, “Awan”, “Penyanyi”, “Pagi”, “Damai", dan “Bersila”. Hal itu membuktikan keyakinan Sanusi Pane bahwa manusia harus bersatu dengan alam.
Sanusi Pane, di samping sebagai penyair, juga sebagai penulis drama.