Ngopi Sore

Tentang Komik dan Charlie dan Pemikiran Sesat Bahwa Membaca Buku Berat Pertanda Serius dan Pintar

Buku politik, buku tulisan para profesor dari universitas di luar negeri, itulah bacaan seorang pemimpin otoritas politik. Bukan komik.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Twitter
Presiden Jokowi membaca komik 

Seorang pesohor di Twitter yang juga politisi satu partai politik yang mengalami kemunduran yang pesat dalam beberapa tahun terakhir, melontarkan cibiran. Ia mengaitpautkan pimpinan otoritas politik dan bacaan. Yang satu membaca komik dan yang satunya lagi membaca buku ilmu politik.

Dia memang tidak menyebut siapa. Namun tidak perlu menjadi politisi pintar untuk mengetahui bahwa pemimpin otoritas politik yang dimaksudkannya adalah Presiden Joko Widodo dan pembaca buku ilmu politik tiada lain tiada bukan Anies Baswedan.

Menurut dia seorang pemimpin otoritas politik memang mesti membaca buku-buku yang rumit dan memusingkan. Buku-buku teori politik yang serba menjelimet. Atau setidak-tidaknya media berbahasa asing seperti dulu ketika foto almarhum Presiden Ketiga Republik Indonesia Baharoeddin Jusuf Habibie saat membaca Bild, koran Jerman, dipuji setinggi langit.

Buku politik, buku tulisan para profesor dari universitas di luar negeri, atau media berbahasa asing, itulah bacaan seorang pemimpin otoritas politik. Bukan komik, lantaran pembaca komik adalah orang-orang yang tidak serius, tidak pintar, planga-plongo. Pendeknya tolol dan dungu.

Pertanyaannya, benarkah demikian? Saya kira ini justru pemikiran yang sesat. Pun kebalikannya. Bahwa pembaca buku-buku besar dan berat, buku berisi pemikiran rumit melenting melintir-lintir merupakan orang-orang serius dan pintar.

Mari kita bicara soal komik yang memang terkesan sungguh-sungguh sepele. Terkesan ringan dan main-main. Bacaan hiburan sekadar untuk mengisi waktu senggang.

Namun siapa pun yang mau sedikit saja lebih banyak berusaha mencari tahu, pasti akan segera paham bahwa penggeneralisasian komik sebagai bacaan kelas tiga, bacaan-bacaan pinggiran, adalah hal yang keliru.

Anda pernah dengar nama Seno Gumira Ajidarma? Tidak pernah? Sini saya beri tahu. Seno Gumira Ajidarma, atau sering pula disebut hanya dengan inisialnya, SGA, adalah rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia juga penulis berbagai macam genre (fiksi dan nonfiksi) serta pengamat perfiliman yang pernah beberapa kali menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI).

Tahun 2005, SGA maju ke depan meja sidang doktoral Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan desertasi berjudul ‘Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan’.

Anda tahu Panji Tengkorak? Tidak tahu? Tidak pernah dengar? Sini saya beritahu. Panji Tengkorak adalah tokoh utama dalam serial komik yang digambar dan ditulis Hans Jaladara. Terbit pertama kali tahun 1968 dalam lima serial, kemudian digambar dan ditulis ulang, dengan tambahan beberapa serial mulai tahun 1985 sampai 1990. Enam tahun kemudian, Hans Jaladara menggambar ulang serial-serial terakhir ini dengan gaya Manga, gaya dan garis komik khas Jepang.

SGA memotret perubahan-perubahan gaya dan garis gambar, juga redaksi-redaksi teks pada ketiga versi penerbitan ini dan mendekatkannya pada pergeseran budaya yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Temuan lain SGA, gaya dan garis gambar dan teks dalam komik ternyata juga dipengaruhi oleh politik. Mulai dari sosialisme, pancaroba era perang dingin, hingga kapitalisme dan sekularisme di pertengahan 1990-an.

Sampai di sini, apakah Anda mulai percaya bahwa komik bisa serius? Belum? Baik, saya beri contoh yang lain. Pernah dengar ada komik berjudul ‘Persepolis’? Belum? Komik ini digambar dan ditulis Marjane Satpari, perempuan Iran yang juga memegang kewarganegaraan Perancis.

Persepolis’ mengetengahkan memoir yang sungguh-sungguh mengharukan, menggetarkan, sekaligus menjadi sebuah pembelajaran perihal kondisi sejati dari keseharian masyarakat (terutama kaum perempuan) di Iran semasa revolusi Islam.

Ada juga komik berjudul Maus – diterbitkan dalam dua seri yang saling berkaitan, ‘Maus 1’ dan ‘Maus 2’. Digambar dan tulis Itzhak Avraham ben Zeev Spiegelman, atau Art Spiegelman, orang Amerika berdarah Polandia dan Yahudi. ‘Maus’ merekonstruksi kisah-kisah (Art memasukkan unsur fiksi di antara taburan nonfiksi) yang terjadi pada perang dunia II, termasuk dalam hal ini kisah orangtuanya sendiri, Wladyslaw Spiegelman yang bersama 12 orang lainnya lolos dari Holocaust.

Saya masih bisa mengetengahkan beberapa contoh lain, contoh yang bisa menjelaskan betapa komik bukan saja tak pantas digeneralisasikan sebagai bacaan orang-orang malas dan cuma bisa planga-plongo, tetapi lebih jauh juga memberikan inspirasi. Saya beri dua contoh yang masyhur: 'Dora Emon' dan 'Captain Tsubasa'.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved