Pro Kontra Soal Keberadaan TNI AU yang Halangi Jalannya Eksekusi, Begini Komentar Pengamat Hukum

Pengamat hukum Kota Medan memberikan tanggapan soal kehadiran TNI AU di lokasi eksekusi Jalan Patriot, Kecaman Medan Sunggal

Editor: Array A Argus
TRIBUN MEDAN
Sejumlah anggota TNI AU berseragam lengkap menghalangi proses eksekusi rumah dan lahan di Jalan Patriot, Sunggal, Senin (22/3/2021).(TRIBUN MEDAN/M Anil) 

TRIBUN-MEDAN.com,MEDAN-Eksekusi rumah dan lahan di Jalan Patriot, Kelurahan Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal menjadi perhatian publik.

Pasalnya, saat juru sita Pengadilan Negeri (PN) Medan hendak melaksanakan eksekusi, mereka dihalangi petugas TNI Angkatan Udara (AU) berseragam lengkap.

Usut punya usut, ternyata kehadiran petugas TNI AU itu atas perintah Komandan Lanud Soewondo Kolonel (Pnb) JH Ginting.

Kolonel (Pnb) JH Ginting mengerahkan pasukannya lantaran rumah yang akan diseksekusi juru sita PN Medan milik anggota TNI AU.

Baca juga: SOSOK Marsma TNI Palito Sitorus, Ahli Waris Lahan yang Dibentengi TNI AU saat Eksekusi Pengadilan

Tak tanggung-tanggung, anggota TNI AU itu ternyata perwira tinggi.

Dia adalah Marsma Palito Sitorus. 

Palito Sitorus merupakan petinggi di Pangkalan Udara (Lanud) Supadio, Pontianak.

Terkait hal ini, muncul pro kontra di tengah publik.

Ada yang mendukung TNI AU, adapula yang mempertanyakan kenapa pasukan TNI AU bisa menghalangi perintah pengadilan.

Baca juga: Pasukan TNI AU Adang Eksekusi Lahan, Ini Penjelasan Kapentak Lanud Soewondo

Menyangkut masalah ini, Pengamat Hukum Kota Medan Muslim Moeis memberi pandangannya. 

Dia mengatakan, walaupun ada perlawanan yang dilakukan dari pihak lain terhadap putusan pengadilan, hal itu harusnya tidak memberhentikan eksekusi.

Meskipun, kata Muslim, ada pihak yang melakukan PK ataupun gugatan baru.

Kendati demikian, sambung Muslim, munculnya perlawanan yang sedemikian rupa bisa saja karena adanya pihak yang menganggap putusaan pengadilan tidak mencerminkan keadilan.

"Kalau PK dari kacamata hukum tidak menghalangi eksekusi, akan tetapi bisa saja ada orang-orang yang merasa bahwa putusan pengadilan itu juga tidak murni, makanya mereka lakukan perlawanan, boleh saja mengajukan gugatan baru tapi lain pihak lah, alangkah banyaknya itu dilakukan secara hukum," katanya kepada www.tribunmedan.com, Selasa (23/3/2021).

Baca juga: BREAKING NEWS TNI AU Berbaris Adang Proses Eksekusi Lahan, Pihak Pengadilan dan Polisi Mundur

Muslim menilai, gagalnya eksekusi dilakukan oleh PN Medan adalah hal biasa.

"Hal itu biasa terjadi, karena putusan pengadilan itu juga terkadang banyak yang tidak adil. Orang mempertahankan haknya (karena menganggap), pengadilan tidak memberikan keadilan baginya," ucapnya.

Muslim beranggapan, jika masing-masing kedua belah pihak memiliki sertifikat pasti ada mafia tanah yang bermain. 

"Jelaskanlah, (kalau ada) dua sertifikat pasti ada mafia tanah, saya menilai ini secara objektif, sehingga yang dikawatirkan apabila yang menang itu yang mafia, sehingga pasti akan selalu ada pihak yang terus mempertahankan lahan tersebut," ucapnya.

Baca juga: LIMA Hari Berturut TNI AU dan BPPT Buru Awan sebelum jadi Hujan di Jakarta dan Sekitarnya

Selain itu, Muslim juga mengkritisi PN Medan mengapa di tengah pandemi melakukan eksekusi, sehingga menimbulkan kerumunan hingga desak-desakan.

"Kenapa dipaksakan eksekusi di saat pandemi? Dan lagi ini diputus sudah sejak tahun 2018, lalu pemberitahuan putusan nya itu kapan? Sehingga pihak lain sedang mengajukan PK. Namun memang PK itu tidak mengjalangi eksekusi," katanya lagi.

Meski dmeikian, sambung Muslim, sepatutnya pengadilan mempertimbangkan PK, sebelum kembali mengadakan eksekusi.

"Tapi sepatutnya PK itu dipertimbangkan kalau misalnya nanti dia menang PK bagaimana coba? Maka sebaiknya pengadilan menunggu itu, jangan sampai nanti permohonan PK menang, tapi lahan sudah dieksekusi," ucapnya.

Saat ditanya tanggapannya terkait keberadaan TNI AU yang menghalangi eksekusi, Muslim menduga bahwa putusan pengadilan bisa saja dianggap tidak anggap tidak adil.

"Jangan-jangan keputusannya itu tidak mencerminkan keadilan, makanya orang melawan. Sering terjadi seperti itu, bukan menafikan hukum tapi kadang-kadang putusan itu tidak mencerminkan keadilan, makanya orang protes terhadap itu," pungkasnya.

Diketahui, luas tanah yang akan dieksekusi lebih kurang memiliki ukuran 5.375 meter persegi.

Baca juga: DETIK-detik Paskhas TNI AU Tembak Mati KKB Papua yang Ingin Kuasai Landasan Udara

Usut punya usut, ternyata prajurit TNI AU sudah mendapat perintah dari Danlanud Soewondo, Kolonel Pnb JH Ginting.

Surat Perintah Komandan Lanud Soewondo tertuang dalam Nomor Sprint/248/VIII/2020 per tanggal 27 Agustus 2020.

Selain itu, ada surat permohonan bantuan hukum dari salah satu ahli waris yang merupakan perwira bintang satu TNI-AU yakni Marsma Palito Sitorus pada Pangkalan TNI AU Supadio, tanggal 26 Maret 2020.

Dalam surat perintah yang ditandatangani oleh Danlanud Soewondo, Kolonel Pnb JH Ginting serta surat kuasa khusus dari enam orang ahli waris, resmi menunjuk Kapten Sus Helmi Wardoyo SH sebagai kuasa hukum.

Baca juga: Terungkap Sumber Dentuman Keras di Sejumlah Wilayah DKI Jakarta, TNI AU Jelaskan Sejumlah Fakta Baru

"Jadi kami ditunjuk oleh pimpinan sebagai kuasa hukum dari ahli waris, terutama Bapak Marsma TNI Palito Sitorus. Memang sesuai SOP kami bahwa setiap anggota TNI AU dan keluarga yang memiliki kasus hukum dapat meminta bantuan hukum pada bidang hukum. Jadi untuk itu kita hadir di lokasi eksekusi, sebab kasus ini masih berproses di pengadilan baik itu PK maupun kasasi," ujar Helmi Wardoyo.

Helmi Wardoyo menambahkan, berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Indonesia bernomor 3824/14.23-300/X/2011 pada tanggal 12 Oktober 2011 pada point 5 menyatakan bahwa berdasarkan surat direktur Agraria Departemen Nalam Negeri tanggal 15 Oktober 1980 nomor Dph 10/894/10-80 yang intinya hak pakai atas tanah yang diberikan kepada Tan Thai Poh alias Tan Thai King telah berakhir pada tanggal 31 Juli 1968.

Baca juga: Kronologi Pengemudi Fortuner Ngebut Ugal-ugalan Terobos Pos TNI AU hingga Tabrak X-pander

Dengan demikian, sejak tanggal 1 Agustus 1968 telah menjadi tanah negara bebas.

"Bagaimana mungkin hak pakai yang sudah habis bisa dihibahkan atau dipindahkan pada orang lain. Itu ada bukti otentik dari surat Badan Pertanahan Nasional (BPN),” jelas Helmi.(cr21/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved