Diabaikan di Kampung, Edy Suranta Hasilkan Lukisan dari Sampah dan Hasilnya untuk Kemanusiaan

Edy Suranta Ginting hasilkan karya lukis dari sampah. Namun Edy sempat diabaikan di kampung halamannya

Editor: Array A Argus
HO
Edy Suranta Ginting, hasilkan lukisan dari sampah 

TRIBUN-MEDAN.com,MEDAN--Bagi orang kebanyakan, sampah plastik hanya berakhir di tempat sampah.

Kalaupun ada yang ingin berinovasi, mungkin akan dimanfaatkan sebagai ecobrick.

Namun, di tangan pemuda kelahiran Tanahkaro, Edy Suranta Ginting, sampah plastik itu disulap menjadi karya seni yang tinggi bernilai ratusan juta rupiah dan sudah tembus pasar dunia. 

Edy Suranta Ginting memanfaatkan sampah plastik menjadi sebuah lukisan.

Baca juga: Boy Sianipar Jualan Lukisan Agar Bisa Dirikan Perpustakaan Gratis Bagi Anak-anak di Desa Sihailhail

"Awal saya melukis, dulu saya ada sponsor dari Berlin, Jerman dan membawa semua lukisanku ke Eropa. Sudah hampir semua negara Mexico, Kanada, Alabama, Swiss, Australia. Ini karena volunteer lingkungan yang berkegiatan dengan saya rata-rata bule (orang asing) semua. Kalau untuk lukisan termahal itu pernah terjual 10.000 euro atau Rp 170 juta," ungkap Edy, Rabu (31/3/2021).

Tanpa ada pendidikan formal seni, Edy terjun dalam dunia melukis sejak tahun 2016.

Dengan berbekal kreativitas dan bahan sampah plastik yang ada, Edy memiliki dua tipe lukisan, diantaranya lukisan idealis dan lukisan pesanan. 

Terkait lukisan pesanan, Edy mengakui bahwa lukisan wajah paling sering dipesan oleh warga Indonesia dan mengalokasikan hampir sebagian besar dananya demi kemanusiaan. 

"Kalau lukisan pesanan, kan gak perlu pakai ide. Kalau lukisan wajah saya tujukan ketika ada yang mau pesan. Jadi (hasilnya) saya alokasikan ke anak pedalaman untuk atribut sekolah selama saya berkegiatan di daerah," ujarnya.

Baca juga: Terowongan Penghubung Masjid Istiqlal - Gereja Katedral Bakal Dihiasi Lukisan: Bisa Lokasi Dialog

Namun, Edy menuturkan, bahwa gaya lukisan dirinya condong ke jenis Suryalis dengan menampilkan visual ke tema sosial.

"Kalau style saya sebenarnya suryalisme. Itu lebih ke imaginasi, misalnya saya cari judul dulu, kemudian saya pecah menjadi visualisasi. Penyampaian ke arah sosial. Orang bule suka dengan style ini dengan memberikan kreativitas ke pelukisnya. Jadi tak heran jika beli dengan harga ratusan juta itu bukan hal luar biasa," ucapnya.

Edy mengaku tak terlalu sulit melukis dengan menggunakan potongan sampah plastik sebagai paduan warna yang apik, sehingga kini dapat menghasilkan 700an lukisan.

"Dasarnya sama dengan penggunaan cat pada umumnya, tapi yang buat berbeda itu karakter medianya. Cat ada warna merah, plastik juga ada merah. Jadi sebenarnya tak terlalu susah. Kalau memang orang seni rupa, pasti tahu namanya gradasi warna. Jadi bermain dengan insting," kata Edy.

Ratusan lukisan Edy kini begitu diminati oleh pasar dunia lantaran menggunakan media lukis yang unik berasal dari sampah.

Baca juga: Viral Lukisan Botol Aqua Mirip Asli, Hasilnya Nyata Dibuat 5 Jam, Langsung Dihubungi Produsen Aqua

Baginya, karya yang ia hasilkan ini tak lebih untuk meminimalisir sampah yang terbuang ke lingkungan secara sia-sia.

Tak hanya menjadi pelukis dengan bahan limbah plastik, Edy juga aktif menjadi aktivis lingkungan sejak tahun 2000. 

Merantau dari Tanahkaro, Edy berkeliling Indonesia, seperti Mentawai, Lampung, Sumba, Bali, Jember, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Sulawesi Utara, Wamena, Banjarmasin, Katambua, Perbatasan Timor Leste, Maumere, dan lainnya.

Terkait hal ini, Edy mengatakan bahwa alasan utama dirinya itu untuk edukasi pengolahan sampah. 

"Saya keliling karena sampah. Saya cuma mau berbagi pengolahan sampah. Awalnya saya tidak tahu apa-apa mengenai pengolahan dampak sampah. Tidak ada skill, pemahaman karena tidak pernah tidak saya dapatkan dari guru, orangtua. Cuma, ya kita tinggal memikirkan sendiri apa yang bisa dibuat dari puntung rokok atau pembalut. Tinggal kita pikirkan saja," jelasnya.

Memasuki project ke-16, Edy juga bercerita mengenai daerah yang ia tinggali dalam waktu tersingkat dan terlama. 

"Kalau yang tersingkat itu 1,5 tahun di Kecamatan Belopa, Sulawesi Selatan. Nilai-nilai gotong royong mereka sangat kuat. Kalau yang paling lama itu Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah selama tiga tahun. Itu salah satu kabupaten terkotor di Indonesia," tutur Edy.

Aktivitas Edy sehari-hari tidak jauh dari aktivitas lingkungan.

Baca juga: Ada di Indonesia, Inilah Lukisan Tertua di Dunia, Dilukis 45.500 Tahun yang Lalu: Babi Berkutil

Ia turut mengajarkan masyarakat pedalaman untuk memanfaatkan sampah agar dapat menjadi income di daerah tersebut. 

Tak hanya itu, Edy juga turut membuka kelas bahasa Inggris dengan membayar melalui sampah sebagai alat transaksi.

"Kalau mau belajar mereka bayar pakai sampah. Jadi secara tidak langsung, orang tua mereka akan bertanya dan melihat,"

"Akhirnya sejauh project kita berjalan ini tak ada lagi orang yang buang sampah. Karena mereka pakai untuk dijadikan sesuatu yang jadi income mereka,"

Baca juga: Rusak Lukisan Mural Ajakan Prokes, Satgas Covid-19 Kota Medan: Masyarakat Harusnya Menjaga

"Jadi setiap kegiatan kita itu buat home industry untuk PKK, dan ada yang baru terbuka BUMDESnya, mereka bisa manfaatkan kreativitas mereka dan buka home industry tapi bahan yang sudah tidak terpakai lagi. Jadi setelah saya tinggalkan saya tak mau tahu," kata Edy.

Diabaikan di Tanah Kelahiran

Peran Edy Suranta Ginting dalam menangani masalah lingkungan ini turut mendapat apresiasi dari pemerintah.

Tak sedikit beragam prestasi yang sudah ia raih, diantaranya dari Menteri Lingkungan Hidup.

Selain itu, Edy juga mulai tampil ke publik dengan diundang ke berbagai program TV nasional dari lukisan limbah plastik miliknya.

Baca juga: Ada Gambar Lukisan Bajak Laut Ditemukannya Jenazah Wanita HY (31) Bersimbah Darah dan Tak Berbusana

Bahkan, sejak dirinya mulai dikenal khalayak, banyak pihak yang mengklaim rumah kreatif yang dibangun Edy untuk dijadikan destinasi wisata. 

Namun ternyata hal ini berbanding terbalik di tanah kelahirannya Tanahkaro. 

Saat itu, Edy diabaikan. 

Dia pernah meminta izin ke pemerintah setempat untuk membuat kegiatan, tapi tidak direspon.

"Sebelumnya saya sempat kembali ke Tanahkaro. Waktu saya akan keluar kota, saya sempat kabari Kades di Desa Ajijahe, Kecamatan Tiga Panah. Tapi cuma dia read saja, itu tempat saya lahir. Saya sempat sampaikan niatan saya, tapi jujur saya belum pernah berkesempatan buat sesuatu di Sumut, itu yang buat saya sedih. Kampung orang lain saya buat bagus, tapi di kampung sendiri tidak pernah dikasih kesempatan," katanya.(cr13/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved